Guntur Satria Jati
CONTOH
10 KEBUDAYAAN DAN HUKUMNYA DALAM AJARAN ISLAM
1.
Selamatan kehamilan
Selamatan kehamilan,
seperti 3 bulanan atau 7 bulanan, tidak ada dalam ajaran Islam. Itu termasuk
perkara baru dalam agama, dan semua perkara baru dalam agama adalah bid’ah, dan
semua bid’ah merupakan kesesatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Jauhilah
semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama)
adalah bid’ah, dan semua bid’ah merupakan kesesatan.” (HR Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi, 2676; Ad
Darimi; Ahmad; dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Sariyah)
Kemudian, jika selamatan kehamilan tersebut disertai
dengan keyakinan akan membawa keselamatan dan kebaikan, dan sebaliknya jika
tidak dilakukan akan menyebabkan bencana atau keburukan, maka keyakinan seperti
itu merupakan kemusyrikan. Karena sesungguhnya keselamatan dan bencana itu
hanya di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.
Allah berfirman:
قُلْ أَتَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ مَا لاَ يَمْلِكُ
لَكُمْ ضَرًّا وَلاَ نَفْعًا واللهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَليِمُ
“Katakanlah:
“Mengapa kamu menyembah selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi
mudharat kepadamu dan tidak (pula) memberi manfa’at?” Dan Allah-lah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs.
Al Maidah: 76)
Sudah menjadi kebiasaan umumdi
tengah-tengah masyarakat adanya kecenderungan membesarbesarkan perkara sunat,
atau perkara mubah tapi menelantarkan perkara yang wajib. Kalau
menyelenggarakan selamatan berlomba-lomba secara besar-besaran tapi untuk
menyumbang pembangunan masjid, mushalla pondok pesantren dan sejenisnya bahkan
saling mengundurkan diri. Kita utamakan perkara yang terpenting, baru yang agak
penting dantinggalkan perkara yang mubazdir.[1]
2.
Tumpeng Rosulan
Masyarakat Cilacap, Jawa tengah,mereka mempunyai
budaya “ Tumpeng Rosulan “, yaitu berupa makanan yang dipersembahkan kepada
Rosul Allah dan tumpeng lain yang dipersembahkan kepada Nyai Roro Kidul yang
menurut masyarakat setempat merupakan penguasa Lautan selatan ( Samudra Hindia
).Hal tersebut merupakan sebagian contoh kebudayaan yang bertentangan dengan
ajaran Islam, sehingga umat Islam tidak dibolehkan mengikutinya. Islam
melarangnya, karena kebudayaan seperti itu merupakan kebudayaan yang tidak
mengarah kepada kemajuan adab, dan persatuan, serta tidak mempertinggi derajat
kemanusiaan bangsa Indonesia, sebaliknya justru merupakan kebudayaan yang
menurunkan derajat kemanusiaan.
Karena mengandung ajaran yang menghambur-hamburkan
harta untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menghinakan manusia yang sudah
meninggal dunia.Dalam hal ini al Kamal Ibnu al Himam,
salah satu ulama besar madzhab hanafi mengatakan : “ Sesungguhnya nash-nash
syareat jauh lebih kuat daripada tradisi masyarakat, karena tradisi masyarakat
bisa saja berupa kebatilan yang telah disepakati, seperti apa yang dilakukan
sebagian masyarakat kita hari ini, yang mempunyai tradisi meletakkan lilin dan
lampu-lampu di kuburan khusus pada malam- malam lebaran.[2]
3.
Nyadran dan rasulan
Satu di antara sekian banyak
tradisi yang ada di daerah tanah jawa pada umumnya di daerah gunungkidul
khususnya adalah tradisi rasulan atau nyadran atau juga di sebut dengan bersih
desa.banyak orang yang menganggap bahwa ritual ini adalah suatu keharusan yang
harus mereka lakukan di hari yang sudah mereka tentukan ,hingga mereka peras
keringat,banting tulang, menjual apa yang mereka miliki untuk acara tersebut .
Bahkan tidak sedikit mereka rela
ngutang ngutang ,ada yang sampe terjadi pertikaian antara suami istri gara gara
tidak ada biaya untuk pesta hura hura tersebut.Yang lebih memprihatinkan mereka
yang melakukan adalah saudara saudara kita kaum muslimin,untuk acara yang satu
ini mereka belum tahu kalau acara itu sebetulnya acara yang bertentangan dengan
syariat Islam, bahkan bisa membatalkan keislamannya ,kenapa tidak.Mereka dalam
acara acara itu banyak melakukan ritual-ritual yang berasal bari agama hindu,
yang ini sudah jelas kesyirikannya .
Mereka mendatangi makam-makam
leluhur, wali dan orang soleh yang menurutnya adalah bagian dari tempat mencari
berkah. Bahkan kadang sangat berlebihan dan menjadi suatu keharusan dalam
melakukannya sehingga orang orang datang berbondong-bondong mendatangi
kuburan ,tempat tempat yang di keramatkan seperti pohon besar, gua gua, telaga,
dan anehnya pula mereka membawa makanan tertentu, seperti apem, nasi uduk
dengan ingkungnya, bunga bunga yang di takir dengan daun pisang, bahkan yang
tidak ketinggalan yaitu dupa atau kemenyan turut mereka bawa.kemudian mereka di
tempat tersebut mengadakan doa yang di pimpin mbah kaum atau sesepuh desa, yang
di mulai menyebut danyang-danyang atau dedemit yang menunggu desa itu atau
tempat itu untuk supaya memeberikan syafaat, kesehatan, ketentraman,
keselamatan, panen yang banyak dan sebagainya, sekalipun di sela-sela doa ada
yang di ambil dari islam.Namun yang perlu kita ketahui bahwa semuanya itu tidak
ada asal usulnya dari islam bahkan semuanya bertentangan dengan ajaran islam
yang benar.
Allah berfirman dalam surat Al Maidah ayat 72
Yang artinya:
”Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik
, dan akan mengampuni dosa selainnya (yang di bawah syirik) bagi siapa yang di
kehendaki”.
Imam Malik meriwayatkan dalam kitab Al Muaththa’ Bahwa
rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda:
\
”Ya Allah janganlah
Engkau jadikan kuburanku berhala yang di sembah . Allah sangat murka kepada
orang orang yang menjadikan kuburan Nabi Nabi mereka sebagai tempat ibadah”.
Di riwayatkan dari Abu Hurairah
Radiyallahu ‘ranhu Rasulullah Shalallahu Alaihi wa sallam bersabda:
”janganlah kamu
jadikan rumah rumah kamu sebagai kuburan , dan janganlah kamu jadikan kuburanku
sebagai tempat perayaan , tetapi ucapkanlah shalawat untuku karena sesungguhnya
ucapan shalawatmu sampai kepadaku di manapun kamu berada”.
( HR Abu Dawud dengan
isnat hasan)”
Dengan berdasarkan dalil
dalil di atas dapat di ambil kesimpulan:
a) Rasulullah melarang ziarah kubur dengan cara cara
tertentu, yang tidak sesuai dengan islam
b) Larangan mengadakan acara di kuburan Rasulullah ,
lebih lebih di kuburan selainnya
c) Allah murka terhadap orang yang beribadah di
kuburan(Doa termasuk ibadah)maka tidak boleh di lakukan di kuburan.[3]
Dan Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Ibnu Mas’ud
Yang artinya:
”Sesungguhnya yang termasuk sejelek jeleknya manusia ialah
orang orang yang masih hidup ketika terjadi kiamat dan orang orang yang
menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah”.
Jelaslah dalam hadits di atas
bahwa melakukan ibadah apapun di kuburan hukumnya adalah haram.Dan masih banyak
lagi acara acara yang sangat sangat bertentangan dengan islam diantanya, pentas
wayang kulit yang di yakini bisa mendatangkan keberkahan, pentas Reog, Jatilan
yang mengundang demit atau syaiton . Dan anehnya biaya untuk itu tidak sedikit
bahkan jika ada yang tidak mau membayar di ancam akan di kucilkan di
masyarakat terkadang kata kata seperti ini keluar dari orang orang yang punya
kedudukan di daerah itu , padahal tidak ada undang undang yang mengatur hal
itu.
Umat Islam di negeri ini
mempunyai tradisi yang bermacam-macam. Selain berbagai peringatan hari-hari
besar Islam, mereka juga masih mempunyai tradisi yang sudah ada sejak dulu.
Ritual yang sudah ada sebelum Islam masuk ke Indonesia.yaitu sebagai mana telah
kita sampaikan di atas yaitu Nyadran. Ritual ini biasanya dilakukan oleh
kebanyakan masyarakat jawa menjelang Ramadan atau di luar bulan itu. Meskipun
bentuk acara dan waktu yang tidak sama, namun semua dilaksanakan menjelang
berakhirnya bulan Sya’ban atau orang Jawa menyebutnya dengan istilah ruwahan
Di saat-saat seperti ini juga di
berbagai daerah di Jawa banyak di jumpai ritual sadranan atau nyadran atau
Rasulan, atau juga bersih desa. Tradisi ini mengandung makna dan nuansa
religius dan magis yang senantiasa mewarnai ritual-ritual itu. Biasanya,
tempat-tempat yang dituju dalam kegiatan nyadran ini, adalah makam para
leluhur, tokoh-tokoh besar, alim ulama serta para tokoh yang banyak berjasa
bagi daerah dan syiar agama pada masa lampau.[4]
4.
Tahlilan
Dalam bahasa Arab, Tahlil berarti menyebut
kalimah “syahadah” yaitu “La ilaha illa Allah” (لااله الا الله). Dalam
konteks Indonesia, tahlil menjadi sebuah istilah untuk menyebut suatu rangkaian kegiatan doa yang diselenggarakan dalam
rangka mendoakan keluarga yang sudah meninggal dunia.
Telah kita maklumi bersama bahwa
acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh
keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara
bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat
sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Quran, dzikir-dzikir, dan disertai doa-doa
tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya
terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai
ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah "Tahlilan".
Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai
proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian
terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali
pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap
tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang berbeda antara satu
tempat dengan tempat lainnya. Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama
menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang
selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada
Al Quran dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki
oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu
wataala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah subhanahu wataala telah berfirman
(artinya):
"Maka jika
kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al Quran) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik
akibatnya." (An Nisaa: 59)
Kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara
ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam,
di masa para sahabatnya dan para Tabiin maupun Tabiut tabiin. Bahkan acara
tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam
Malik, Abu Hanifah, Asy Syafii, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan
mereka ataupun sesudah mereka. Awal mula acara tersebut berasal dari upacara
peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya
beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan
mendoakan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu
seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan
berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti
dzikir-dzikir dan doa-doa ala agama lain dengan bacaan dari Al Quran, maupun
dzikir-dzikir dan doa-doa ala Islam menurut mereka.
Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa
sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi
(pembauran) dengan agama lain.Memang benar Allah subhanahu wataala dan
Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Quran, berdzikir dan berdoa. Namun
apakah pelaksanaan membaca Al Quran, dzikir-dzikir, dan doa-doa diatur sesuai
kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang
diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah
shalAllahu alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarkan.
Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat
Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wataala dan
Rasul-Nya. Allah subhanahu wataala berfirman (artinya):
"Pada
hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku
sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama
kalian." (Al Maidah: 3)
Juga Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam bersabda:
مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ
مِنَ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
"Tidak ada
suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan
dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya."
(H.R Ath Thabrani)
Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan
yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi
lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan
semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam.[5]
5.
Peringatan Ulang Tahun (Bancaan Tiron)
Masyarakat Jawa, sejak zaman sebelum kedatangan Islam
yang didakwahkan oleh para wali memiliki budaya bancaan/selamatan. Bancaan yang
mereka laksanakan di samping pada acara tingkepan sebagaimana yang disebutkan
dalam bab yang telah lalu ada lagi bancaan-bancaan yang lain, di antaranya :
a. Bancakan
pada saat bayi baru lahir, disebut brokohan.
b. Bancakan
pada saat bayi lepas pusernya, disebut pupak puser.
c. Bancakan
pada saat bayi berusia 35 hari, disebut selapan bayi.
d. Bancakan
pada saat bayi berusia 90 hari, disebut telung wulane bayi.
e. Bancakan
pada saat bayi berusia 210 hari, disebut pitung wulane bayi.
f. Bancakan
pada saat bayi berusia 13 bulan, disebut pendak tahun.
Ada
juga orang tua yang mengadakan bancakan dalam acara hari ulang anaknya. Mereka
menyebutnya “bancaan tiron”. Sebagian warga kita ada yang ikut-ikutan
mengadakan peringatan ulang tahun dengan acara dan upacara yang dikemas secara
khusus untuk kegiatan itu.
Kaum
Ahlussunnah Wal Jamaah memandang tradisi semacam ini dengan sikap proporsional,
yaitu dengan pendirian bahwa di dalam selamatan itu ada unsur-unsur kebaikan,
di antaranya: menyampaikan tahni’ah/ucapan selamat kepada sesama
muslim, mempererat kerukunan antara keluarga dan tetangga, menjadi sarana
sedekah dan bersyukur kepada Allah, serta mendo’akan si anak semoga menjadi
anak yang shalih dan shalihah. Ini semua tidak ada yang bertentangan dengan
syari’at Islam.
Maka jika ditanyakan,
apakah ada dalil syara’ mengenai peringatan ulang tahun kelahiran? Jawabnya
ada, yaitu dalil qiyas, yakni mengqiyaskan masalah ini dengan perilaku sahabat
nabi. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa sewaktu sahabat Ka’ab bin Malik menerima
kabar gembira dari nabi saw. Mengenai penerimaan taubatnya, maka sahabat Thalhah
bin Ubaidillah menyampaikan kepadanya ucapan selamat (tahni’ah).
Berdasarkan
riwayat tersebut, maka hukum peringatan ulang tahun adalah mubah, bahkan
sebagian ulama mengatakan sunnah hukumnya, namun dengan catatan : selama tidak
ada hal-hal yang munkar di dalamnya. Misalnya : menyalakan lilin, memasang
gambar patung (walaupun berukuran kecil) di tengah-tengah kue yang dihidangkan
atau alatul malahi (alat permainan musik) yang diharamkan. Karena hal tersebut
termasuk syi’ar orang-orang non muslim atau syi’ar orang fasik.
Dasar pengambilan
hukum seperti tersebut di atas adalah keterangan dari kitab “al-iqna’” juz I
hal. 162 :
قَالَ الْقَمُوْلِيْ: لَمْ أَرَ لأَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِنَا كَلاَمًا فِي التَّهْنِئَةِ بِالْعِيْدِ
وَاْلأَعْوَامِ وَاْلأَشْهُرِ كَمَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ، لَكِنْ نَقَلَ
الْحَافِظُ الْمُنْذِرِيُّ عَنِ الْحَافِظِ الْمُقَدَّسِيِّ أَنَّهُ أَجَابَ عَنْ
ذَلِكَ بِأَنَّ النَّاسَ لَمْ يَزَالُوْا مُخْتَلِفِيْنَ فِيْهِ وَالَّذِيْ
أَرَاهُ أَنَّهُ مُبَاحٌ لاَ سُنَّةٌ فِيْهِ وَلاَ بِدْعَةٌ وَأَجَابَ الشِّهَابُ
ابْنُ حَجَرٍ بَعْدَ اطِّلاَعِهِ عَلَى ذَلِكَ بِأَنَّهَا مَشْرُوْعَةٌ وَاحْتَجَّ
لَهُ بِأَنَّ الْبَيْهَقِيَّ عَقَّدَ لِذَلِكَ بَابًا فَقَالَ: بَابُ مَا رُوِيَ
فِيْ قَوْلِ النَّاسِ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ فِي الْعِيْدِ تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا
وَمِنْكَ، وَسَاقَ مَا ذُكِرَ مِنْ أَخْبَارٍ وَآثَارٍ ضَعِيْفَةٍ لَكِنْ
مَجْمُوْعُهَا يُحْتَجُّ بِهِ فِيْ مِثْلِ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ وَيُحْتَجُّ
لِعُمُوْمِ التَّهْنِئَةِ بِمَا يَحْدُثُ مِنْ نِعْمَةٍ أَوْ يَنْدَفِعُ مِنْ
نِقْمَةٍ بِمَشْرُوْعِيَّةِ سُجُوْدِ الشُّكْرِ وَالتَّعْزِيَةِ وَبِمَا فِي
الصَّحِيْحَيْنِ عَنْ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ فِيْ قِصَّةِ تَوْبَتِهِ لَمَّا
تَخَلَّفَ عَنْ غَزْوَةِ تَبُوْكَ أَنَّهُ لَمَّا بُشِّرُ بِقَبُوْلِ تَوْبَتِهِ
وَمَضَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ إِلَيْهِ طَلْحَةُ
بْنُ عُبَيْدِ اللهِ فَهَنَّأَهُ.
Artinya :
“Imam Qommuli berkata : kami
belum mengetahui pembicaraan dari salah seorang ulama kita tentang ucapan
selamat hari raya, selamat ulang tahun tertentu atau bulan tertentu,
sebagaimana yang dilakukan oleh banyak orang, akan tetapi al-hafidz al-Mundziri
memberi jawaban tentang masalah tersebut : memang selama ini para ulama
berselisih pendapat, menurut pendapat kami, tahni’ah itu mubah, tidak sunnah
dan tidak bid’ah, Imam Ibnu Hajar setelah mentelaah masalah itu mengatakan
bahwa tahni’ah itu disyari’atkan, dalilnya yaitu bahwa Imam Baihaqi membuat
satu bab tersendiri untuk hal itu dan dia berkata : “Maa ruwiya fii qaulin nas”
dan seterusnya, kemudian meriwayatkan bebrapa hadits dan atsar yang
dla’if-dla’if. Namun secara kolektif riwayat tersebut bisa digunakan dalil
tentang tahni’ah. Secara umum, dalil dalil tahni’ahbisa diambil dari adanya
anjuran sujud syukur dan ucapan yang isinya menghibur sehubungan dengan
kedatangan suatu mikmat atau terhindar dari suatu mala petaka, dan juga dari
hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa sahabat Ka’ab bin Malik
sewaktu ketinggalan/tidak mengikuti perang Tabuk dia bertaubat, ketika menerima
kabar gembira bahwa taubatnya diterima, dia menghadap kepada Nabi SAW. maka
sahabat Thalhah bin Ubaidillah berdiri untuk menyampaikan ucapan selamat
kepadanya”.[6]
6.
Kelahiran Bayi
Apabila seorang bayi lahir
ditengah-tengah keluarga, hendaklah ia disambut dengan penuh suka cita dan rasa
syukur kepada Allah swt, sebagai anugerah-Nya yang tak terhingga.
Anak merupakan permata dan
harta termahal bagi kedua orang tua sekaligus bukti kasih sayang Allah swt
kepada mereka. Di sisi lain, anak juga merupakan amanah dan ujian Allah swt
kepada kedua orangtuanya. Sehingga kelak di kemudian hari, Allah akan meminta
pertanggungjawaban mereka.
Islam sebagai pedoman hidup yang sempurna telah memberikan
petunjuk-petunjuk praktis menyangkut seorang anak yang baru dilahirkan ke alam
dunia yang fana ini. Petunjuk-petunjuk tersebut dimaksudkan sebagai wujud
ungkapan rasa syukur orang tua sekaligus mengandung harapan dan kebaikan
bagi anak yang baru dilahirkan.
Perkara-perkara yang diperintahkan agar kita lakukan adalah sebagai berikut:
Perkara-perkara yang diperintahkan agar kita lakukan adalah sebagai berikut:
a)
Bersihkanlah mulut si bayi, kemudian usapkanlah dengan
kurma, madu atau sesamanyapada langit-langit mulutnya dengan disertai do’a agar
si bayi mendapat barakah Allah sw. Hal ini didasarkan kepada Hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Musa, sebagai berikut:
وُلِدَ لِي غُلَامٌ فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ فَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ
وَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ
“Anakku telah lahir, maka aku bawa kepada
Nabi saw. Maka beliau member nama kepadanya dengan nama Ibrahim, lalu diusap
langit-langit mulutnya dengan kurma dan dido’akan dengan barakah. (HR. Bukhari
dari Abu Musa r.a.)
b) Mohonkanlah perlindungan
kepada Allah swt dengan kalimat seperti berikut ini atau sesamanya:
أَعُوذُ
بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ
لَامَّةٍ
“Aku berlindung dengan
firman-firman Allah yang sempurna dari seluruh syetan, segala macam gangguan
dan penggoda yang jahat.
Perbuatan di atas di dasarkan kepada Hadits Nabi
berikut ini:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُعَوِّذُ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ وَيَقُولُ إِنَّ أَبَاكُمَا كَانَ يُعَوِّذُ
بِهَا إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ
كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ
“Adalah
Rasulullah saw memohon perlindungan bagi Hasan dan Husen (cucu beliau) dan
bersabda: Sesungguhnya Nabi Ibrahim memohonkan perlindungan bagi Isma’il dan
Ishaq sebagai berikut: A’udzu
bikalimatillahit taam mati……… dst. (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas).
Sebagian Ulama’ menganjurkan
agar anak yang baru lahir dikumandangkan adzan pada telinga kanannya dan iqamat
pada telinga kirinya. Hal ini didasarkan pada Hadits yang diriwayatkan oleh
beberapa ulama’ Hadits seperti Imam Ahmad, Abu Dawud, dan lain-lain. Tetapi,
sebagaimana dikemukakan Imam Suyuthi, Hadits mengenai hal ini lemah sehingga
tidak dapat dijadikan landasan amal.
c)
Hendaklah pada hari kelahirannya atau pada hari yang
ketujuh bayi tersebut diberi nama yang bagus yang mengandung perlambang dan
harapan yang mulia.
Hal ini didasarkan pada
tuntunan Nabi sebagai berikut:
إِنَّكُمْ تُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
بِأَسْمَائِكُمْ وَأَسْمَاءِ آبَائِكُمْ فَأَحْسِنُوا أَسْمَاءَكُمْ
“Kalian akan dipanggil kelak di hari Kiamat
dengan nama-nama kalian dan nama-nama orang tua kalian” (HR. Abu Dawud,
dan lain-lain.)
Juga disebutkan dalam Hadits lain, belilau bersabda:
وُلِدَ لِي اللَّيْلَةَ غُلَامٌ فَسَمَّيْتُهُ بِاسْمِ
أَبِي إِبْرَاهِيمَ
“Semalam telah lahir anakku
laki-laki,lalu aku beri nama dia dengan nama kakekku, Ibrahim. (HR.
Muslim dari Anas)
Juga disebutkan dalam Hadits lain, beliau bersabda:
الْغُلَامُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ
يَوْمَ السَّابِعِ وَيُسَمَّى وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ
“Setiap anak tergadaikan oleh aqiqahnya yang
disembelih sebagai tebusan pada hari ketujuh dan diberi nama sekaligus (hari
ketujuh) serta dicukur kepalanya. (HR. Bukhari, Muslim, dan lain-lain).
d)
Hendaklah pada hari ketujuh itu pula rambut si anak
dicukur.
Tuntunan ini didasarkan pada
petunjuk Rasulullah saw. sebagaimana tercantum dalam Hadits di
atas.
e)
Hendaklah pada hari ketujuh itu pula dilakukan aqiqah,
yaitu menyembelih dua ekor kambing bagi anak laki-laki dan satu ekor kambing
bagi anak perempuan.
Tuntunan ini didasarkan pada
petunjuk Rasulullah saw sebagaimana tercantum dalam Hadits di atas dan tedapat
pada Hadits berikut ini:
عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنْ
الْجَارِيَةِ شَاةٌ
“Aqiqah bagi anak laki-laki dua
ekor kambing yang sepadan dan bagi anak perempuan satu ekor. (HR. Ahmad dan
Tirmidzi)
Sebagian Ulama’ berpendapat bahwa aqiqah dapat dilakukan pada hari ke empat
belas atau kedua puluh satu, berdasarkan Hadits riwayat Al-Baihaqi. Bahkan
dapat pula dilakukan setelah anak menjadi dewasa berdasarkan Hadits riwayat
Baihaqi pula yang menyatakan bahwa Nabi saw pernah menyembelih aqiqah untuk
dirinya sendiri. Tetapi, setelah dilakukan penelitian, kedua Hadits
tersebut dla’if (lemah). Pada Hadits yang pertama terdapat seorang perawi
bernama Ismail bin Muslim al-Makky sedang pada Hadits kedua terdapat perawi
bernama Abdullah bin al-Muharrar. Kedua perawi tersebut dilemahkan oleh
beberapa ahli Hadits. Dengan demikian, pendapat di atas tidak memiliki landasan
kuat untuk diikuti.
Berkaitan dengan
kelahiran anak, selain perkara-perkara di atas, di kalangan masyarakat muslim
dikenal bermacam-macam tradisi yang dilakukan secara turun temurun. Sepanjang
tradisi-tradisi tersebut tidak bermuatan kepercayaan-kepercayaan tertentu atau
bersifat ubudiyah (upacara ritual) ia boleh dilakukan karena termasuk urusan duniawiyah.
Namun bila bermuatan kepercayaan dan bersifat ubudiyah ia dapa dikatagorikan
sebagai perbuatan syirik dan bid’ah.
Beberapa tradisi yang termasuk dilarang,
misalnya:
a)
Nylameti (Selamatan) Sedulur Papat Kalimo Pancer.
Tradisi ini didasari
kepercayaan bahwa setiap bayi memiliki empat saudara yakni: kawah, plasenta,
darah yang terpancar ketika melahirkan dan pusat. Keempatnya mempunyai sesuatu
daya ghaib sebangsa ruh atau kekuatan ghaib yang menolong atau mencelakakan
sang bayi. Karenanya, agar mereka tidak member laknat (malati) keempatnya perlu
disediakan sesaji dengan upacara tertentu yang dilakukan secara periodik sejak
bayi dilahirkan hingga meninggal dunia.
b)
Upacara Sepasaran dan Puput Puser
Diadakan setelah bayi berumur
5 hari dengan cara melakukan selamatan nasi tumpeng, janganan, jenang merah
putih, jenang baro-baro, dan jajan pasar lengkap. Jika sisa usus bayi yang
melekat di pusar telah mengering dan kemudian terlepas, dinamakanlah puput
puser (putuslah pusat). Maka diadakanlah upacara yang dinamakan puput puser.
Upacara dilakukan dengan berbagai macam ramuan dan bentuk-bentk
laku yang tak lepas dari unsure-unsur kepercayaan tertentu. Kadang-kadang
dibacakan pula Kitab Berjanzi danmarhabanan.
c)
Upacara Selapanan Mandap Siti.
Dilakukan setelah bayi berusia
35 hari dengan dilakukan upacara selamatan seperti pada waktu selapanan, tetapi
ditambah dengan membuat sesaji yang diletakkan di bawah tempat tidur bayi.
Macam-macam yang diperbuat dalam upacara ini mengandung takhayul dan
kepercayaan-kepercayaan yang tak masuk akal, yang bila tidak dilakukan akan
berakibat buruk pada bayi.[7]
7.
Barzanji
Pada waktu-waktu tertentu dimasyarakat pada umumnya
kita sering membacakan kitab Al Barzanji. Di Indonesia, kita biasa menyebutnya
“kitab Barzanji” atau “syair Barzanji”. Di berbagai belahan Dunia Islam, syair
Barzanji lazimnya dibacakan dalam kesempatan memperingati hari kelahiran
(maulid) Sang Nabi. Dengan mengingat-ingat riwayat Sang Nabi, seraya
memanjatkan shalawat serta salam untuknya, orang berharap mendapat berkah
keselamatan, kesejahteraan, dan ketenteraman. Sudah lazim pula, tak terkecuali
di negeri kita, syair Barzanji didendangkan biasanya, di kala menyambut bayi
yang baru lahir dan mencukur rambutnya. Karena itu adalah sebuah tradisi yang
sering dilakukan dari dahulu.
Al Barzanji erat kaitannya dengan Perayaan Maulid yang
ada pada masyarakat pada umumnya. Perayaan Maulid pada mulanya dirintis oleh
Shalahuddin Al-Ayyubi. Yang sebenarnya Maulid tersebut berperan menghidupkan
kembali Maulid yang pernah ada pada masa Dinasti Fatimiyah. Tujuannya,
membangkitkan semangat jihad (perjuangan) dan ittihad (persatuan)
tentara Islam melawan crusaders (Pasukan Salib) yang saat itu
memang memerlukan keteguhan dan keteladanan. Dari itulah muncul anggapan,
Shalahuddin adalah penggagas dan peletak dasar peringatan Maulid Nabi.
Adapun historisitas Al Barzanji berawal dari lomba
menulis riwayat dan puji-pujian kepada Nabi yang diselenggarakan Shalahuddin
pada 580 H/1184 M. Dalam kompetisi itu, karya indah Syekh Ja`far al-Barzanji
tampil sebagai yang terbaik. Sejak itulah Kitab Al-Barzanji mulai
disosialisasikan pembacaanya ke seluruh penjuru dunia oleh salah seorang
gubernur Salahudin yakni Abu Sa`id al-Kokburi, Gubernur Irbil, Irak
Di Indonesia, tradisi Berzanji bukan hal baru,
terlebih di kalangan Nahdliyyin(sebutan untuk warga NU). Berzanji
tidak hanya dilakukan pada peringatan Maulid Nabi, namun kerap diselenggarakan
pula pada tiap malam Jumat, pada upacara kelahiran,akikah dan
potong rambut, pernikahan, syukuran, dan upacara lainnya. Bahkan, pada sebagian
besar pesantren, Berjanjen telah menjadi kurikulum wajib.
Mengenai hal ini erat kaitannya pula dengan pro-kontra
Al Barjanji? Pihak yang pro menganggap pembacaan Al Barzanji adalah refleksi
kecintaan umat terhadap figur Nabi, pemimpin agamanya sekaligus untuk
senantiasa mengingatkan kita supaya meneladani sifat-sifat luhur Nabi Muhammad
SAW. Kecintaan pada Nabi berarti juga kecintaan, ketaatan kepada
Allah. Adapun pihak kontra memandang Barjanji hanyalah karya sastra yang walau
mungkin mengambil inspirasi dari 2 sumber hukum haq Islam yakni Al Qur’an dan
hadist.
Wajarlah bila kemudian pihak kontra menghukumi
pembacaan Barjanji juga bacaan sejenis lainya semisal Diba', Burdah,
Simthuddurar itu Bid’ah atau mengada-ada dalam ibadah yang justru sangat
jelas dilarang agama. Sebuah hadist Nabi riwayat Bukhari Muslim
menyatakan,
”Barangsiapa menimbulkan sesuatu yang baru dalam
urusan (agama) kita yang bukan dari ajarannya maka tertolak.” (HR. Bukhari).
Berdasarkan kemanfaatan maka Al barzanji itu boleh
dilakukan walaupun termasuk bid’ah ( bid’ah hasanah ) Nabi saw memperbolehkan
berbuat Bid'ah hasanah. Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid'ah hasanah
selama hal itu baik dan tidak menentang syariah, sebagaimana sabda beliau saw
:
"Barangsiapa membuat buat
hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang
mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa
membuat buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa
orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya"(Shahih Muslim hadits
no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi
Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi).
Dan
keterangan lain dari ulama :
a)
Al
Hafidh Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris Assyafii rahimahullah (Imam
Syafii)
Berkata Imam Syafii bahwa Bid'ah
terbagi dua, yaitu Bid'ah mahmudah (terpuji) dan Bid'ah madzmumah
(tercela), maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang
tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar
bin Khattab ra mengenai shalat tarawih : "inilah sebaik baik Bid'ah".
(Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)
b)
Al
Imam Al Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah
"Menanggapi ucapan ini
(ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits
Nabi saw yang berbunyi : "seburuk buruk permasalahan adalah hal yang baru,
dan semua Bid'ah adalah dhalalah" (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa
kullu bid atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal hal yang tidak sejalan
dengan Alqur an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat
radhiyallahu anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh
hadits lainnya : "Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam Islam,
maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang
sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk
dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya"
(Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai
Bid'ah yang baik dan Bid'ah yang sesat". (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
Itulah dasar hukum yang bisa dipegang berkaitan Al
Barzanji Yang telah dilakukan dari dulu sampai sekarang dari Para Ulama dan
para Muhaddist terdahulu, Maka bila muncul pemahaman di akhir zaman
yang bertentangan dengan pemahaman para Muhaddits maka mestilah kita berhati
hati darimanakah ilmu mereka, berdasarkan apa pemahaman mereka, atau seorang
yang disebut imam padahal ia tak mencapai derajat hafidh atau muhaddits, atau
hanya ucapan orang yang tak punya sanad, hanya menukil menukil hadits dan
mentakwilkan semaunya tanpa memperdulikan fatwa-fatwa para Imam.[8]
8. Khitan
Dalam kitab- kitab fikih disebutkan bahwa
Khitanartinya adalah ﻗﻄﻊ ﺍﻟﻗﻟﻔﺔ ﺍﻮ ﺍﻟﺠﻟﺪﺓ (ﻟﻟﺠﺭﻴﺔ) Pengertian khitan maksudnyamemotong
kulit penutup KHASYAFAH (GLANDS PENIS) bagi anak lelaki atau kulit (PREPUCE)
yang ada diatas CLITORIS bagi anak wanita.Praktek ini sering disebut juga
dengan istilahCIRCUMSISI, mengambil istilah dari suatu nama sekte Nashrani yang
taat melakukan ajaran bersunat seperti apa yang dilakukan olehYesus sendiri dan
para murid- muridnya serta dilakukan juga oleh para penganut Yahudi, sebagai
warisan MillahIbrohiim.
Nabi Ibrohim menerimawahyu Allah untuk
berkhitan tatkala beliau telah berumur 80 tahun, dan dilakukan dengan
menggunakan kapak (Qodum), sesuai hadist Nabi dalam Asshohihain:
ﺇﺨﺘﺘﻥ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻡ ﻮﻫﻭ ﺍﺑﻥ ﺛﻤﺎﻨﻴﻦ ﺴﻨﺔ ﺑﺎﻟﻗﺪﻭﻡ
Dalam satu pendapat yang lain, Qodum adalah nama suatu tempat di negeri
Syam. (Ibnu Hajar Al- Asqolani: Fatkhul Baari 10/ 386)
Ø Hukum dan Tujuan Khitan
Adapun dalil dan dasar- dasar
hukum yang berkenaan dengan masalah khitan
adalah:
a.
Firman
Allah: “Kemudian akuwahyukan kepadamu (Muhammad), agar mengikuti agama Ibrahim
yang hanif (condong/ berpihak kepada kebenaran). An- Nahl 123. Beberapa
ayat yang senada juga dapat ditemukan dalam bagian lain Surah Al- Qur’an.
Rasulullah menyatakan:
”Dasar kesucian (FITRAH) itu ada lima, yaitu: 1- Khitan,2- Mencukur bulu
kemaluan, 3-Mencukur bulu ketiak, 4- Mencukur kumis, dan5- Memotong kuku-
kuku”.H.R. Bukhori dan Muslim.
Hadist
ini adalah sumber yangpaling shohih tentang masalah khitanini dan bersifat umum,
artinya berlaku baik untuklaki- laki dan perempuan.Dalam hal ini Fitrah identik
dengan Sunnah atau Ad- Dienyang bersesuaian dengan ajaran islam, karena
itu khitan dalam khazanah bahasa Indonesiasering juga disebut sunnatan.
Rasulullah bersabda: “Allah tidak menerima sholat kalian bila tidak suci”.
Tanpa berkhitan, selalu ada sisa- sisa air
seni/ najis yang tertinggal dibawah Qulf. Maka agar sholat kita diterima Allah,
kita harus berkhitan sebagai usaha agar kesucian terjamin. Sesuai Qo’idah USHUL
FIQH yang menyatakan:
ﻤﺎ ﻻ ﻴﺘﻡ
ﺍﻠﻮﺍﺠﺐ ﺍﻻ ﺑﻪ ﻔﻬﻭ ﻮﺍﺠﺐ
“Sesuatu yang (menyebabkan) sebuah kewajiban tak mungkin bisa dilakukan
dengan sempurna, maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib”.
Maka hukum khitan bagi lelaki yang berdasar
hadist diatas yang pada asalnya sunnah, menjadi wajib karena sebagai sarana
kesucian untuk melaksanakan sebuah kewajiban.Hukum khitan bagi laki- laki
adalah WAJIB, ini disepakati olehJumhur Ulama’, sedang bagi wanita
diperselisihkan diantara para Ulama, yakni antara Wajib dan Sunnah.
9.
Adzan dan Iqamah Bagi
Bayi Yang Baru Lahir
Adzan dan iqamah adalah kalimat dakwah yang sempurna,
pula yang keberadaannya merupakan salah satu tonggak awal berdirinya ajaran
Islam. Lantunan adzan secara hukum syar’i tidak hanya
dikumandangkan pada saat akan melaksanakan ibadah shalat saja, namun boleh
dilakukan kapan saja, termasuk ketika sang bayi baru lahir dari rahim ibunya.
Para ulama’ sepakat bahwa sunnah hukumnya
mengumandangkan adzan dan iqamah ketika bayi baru lahir. Kesunnahan ini dapat
diketahui dari sebuah hadits berikut:
Dari
Ubaidah r.a. dari ayahnya, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah saw.
mengumandangkan adzan di telinga Husain bin Ali r.a. ketika Fatimah
melahirkannya” (HR. Abu Daud).
Selain hadits di atas, anjuran disunnahkannya adzan
dan iqamah pada sang bayi beralasan bahwa sebelum mendengarkan ucapan atau
suara lain dari luar, alangkah baiknya sang bayi terlebih dahulu mendengarkan
kalimat tauhid untuk mengingatkan janji yang telah diikrarkan oleh sang bayi
ketika berusia 4 bulan di dalam kandungan di hadapan Allah. Firman Allah:
Dan
(ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari tulang sulbi mereka,
dan Allah mengambil janji terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah
Aku (Allah) ini Tuhan kalian?” Mereka menjawab, “Benar (Engkaulah Tuhan kami),
kami menjadi saksi” (QS. Al-A’raf: 172)
Selain itu, suara adzan juga berfaedah untuk mendidik aqidah
dan kepercayaan yang benar dan merupakan awal dari serangkaian proses
pendidikan selanjutnya. Hanya dengan aqidah yang benar sajalah seseorang dapat
mengarungi hidup secara sempurna melalui tauhid yang benar demi kebahagiaan di
dunia dan akhirat.
Pelaksanaan adzan dan iqamah dilakukan pada saat sang
bayi sudah dibersihkan dari cairan dan kotoran lainnya. Lantunan adzan
dikumandangkan di telinga bayi sebelah kanan, sedangkan iqamah dilantunkan di
telinga bayi sebelah kiri. Hal ini berfungsi agar kedua telinga sang bayi
terbentengi oleh suara kalimat tauhid. Ditambah kalimat “Qad qaamatis shalah”
pada saat iqamah yang mengisyaratkan bahwa terdapat penegasan tentang
penghambaan diri manusia kepada Allah dan sebagai sarana berkomunikasi antara
manusia dengan Allah melalui penegakan shalat.Dengan demikian, pelantunan adzan
dan iqamah bertujuan tidak lain sebagai sarana doa serta seruan kepada bayi
agar senantiasa beriman dan bertaqwa kepada Allah swt.
10. Kenduri Arwah
Sebaik-baik perkataan adalah Kalamullah (Al-Qur’an),
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
(As-Sunnah Ash-Shahiihah), dan sebaik-baik pemahaman atas dua hal tersebut
adalah pemahaman para shahabat Rasulullah radliyallaahu ‘anhum ajm’ain (atsar
as-salafush-shalih). Dan untuk menjawab pertanyaan Saudara, maka kami akan
mengembalikannya kepada 3 (tiga) hal tersebut.
Allah ta’ala telah
berfirman :
يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ
الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian semua, dan tidak
menghendaki kesulitan bagi kalian semua…..” (QS.
Al-Baqarah : 185).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah
bersabda :
إن الدين يسر ولن يشاد الدين أحد إلا غلبه فسددوا
وقاربوا……..
“Sesungguhnya agama
itu mudah. Orang yang bersikap berlebih-lebihan dalam beragama pasti akan
kalah. Beramallah yang benar ! Beramallah yang paling dekat dengan pengamalan
syari’at…” (HR. Bukhari nombor 39 –
penomboran dari maktabah sahab : 39 dan 6098; dan Muslim nombor 2816).
Ayat
dan hadits di atas memberikan kefahaman bagi kita semua bahawa agama Islam ini
adalah agama yang mudah. Mudah untuk difahami dan mudah untuk diamalkan.
Seorang muslim hanya dibebani untuk mengerjakan apa-apa yang dicontohkan dan
meninggalkan apa-apa yang dilarang atau tidak ada contohnya (dari Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam). Itulah salah satu sisi kemudahan yang sangat
besar bagi umat Islam. Mereka sekali-kali tidak dibebani untuk membuat-buat
syari’at yang akhirnya justeru memberatkan mereka.Kembali kepada inti pertanyaan
saudara, maka ada beberapa riwayat shahih mengenai hal ini.
Dari Jarir bin
‘Abdillah Al-Bajaly radliyallaahu ‘anhu, dia berkata :
كنا نرى الاجتماع إلى أهل الميت وصنعة الطعام من النياحة
“Kami (para shahabat)
menganggap berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayat, serta penghidangan makanan
oleh mereka (kepada para tetamu) merupakan sebahagian daripada niyahah
(meratapi mayat)” (HR. Ahmad
nombor 6905 dan Ibnu Majah nombor 1612).
Dari Thalhah radliyallaahu ‘anhu, dia berkata :
قدم جرير على عمر فقال : هل يناح قبلكم على الميت. قال :
لا. قال : فهل تجتمع النسآء عنكم على الميت ويطعم. قال : نعم. فقال : تلك النياحة.
“Jarir mendatangi
‘Umar, kemudian ‘Umar berkata : “Apakah kamu sekalian suka meratapi mayat ?”.
Jarir menjawab : “Tidak”. ‘Umar berkata : “Apakah diantara wanita-wanita kalian
semua suka berkumpul di rumah keluarga mayat dan memakan hidangannya ?”. Jarir
menjawab : “Ya”. ‘Umar berkata : “Hal itu sama dengan niyahah (meratapi
mayat)”. (HR. Ibnu Abi Syaibah
2/487).
Dari Sa’id bin Jubair radliyallaahu ‘anhu, dia berkata
:
من عمل الجاهلية : النياحة والطعام على الميت وبيتوتة
المرأة ثم أهل الميت لبست منهم
“Merupakan perkara
Jahiliyyah : An-Niyahah, hidangan keluarga mayat, dan menginapnya para wanita
di rumah keluarga mayat” (HR.
Abdurrazzaq 3/550 dan Ibnu Abi Syaibah dengan lafadh yang berbeza). Ketiga
riwayat tersebut saling menguatkan.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
اثنتان في الناس هما بهم كفر الطعن في النسب والنياحة
على الميت
“Dua perkara yang dapat membuat manusia kufur : Mencela
keturunan dan meratapi mayat (an-niyahah)”.
(HR. Muslim nombor 67)
Para ulama mu’tabar
telah sepakat membenci perbuatan ini (yaitu berkumpul-kumpul di tempat mayat
dan makan makanan di dalamnya). Kami akan menyebutkan beberapa di antara banyak
perkataan ulama mengenai hal ini.
1. Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i berkata :
وإما إصلاح أهل الميت طعاما ويجمع الناس عليه فلم ينقل
فيه شيء غير مستحبة وهو بدعة.
“Adapun penghidangan
makanan oleh keluarga mayat berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara
tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan yang
tidak disukai. (Jelasnya) perbuatan tersebut termasuk bid’ah” (Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab 5/186 Daarul-Fikr,
Beirut, 1417).
2. Imam Ibnu Hajar Al-Haitami
Asy-Syafi’i berkata :
وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه
بدعة منكرة مكروهة لما صح عن جرير بن عبد الله
“Dan sesuatu yang
sudah menjadi kebiasaan dari penghidangan makanan oleh keluarga mayat dengan
tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah munkarah (terlarang) lagi
dibenci, berdasarkan keterangan shahih dari Jarir bin ‘Abdillah” (Tuhfatul-Muhtaj 1/577, Daarul-Fikr, tanpa
tahun).
3. Imam Ibnu ‘Abidin Al-Hanafy
berkata :
ويكره اتخاذ الضيافة من الطعام و من أهل الميت لأنه شرع
في السرور لا في الشرور وهي بدعة مستقبحة.
“Dimakruhkan hukumnya
menghidangkan makanan oleh keluarga mayet, kerana hidangan hanya pantas
disajikan dalam waktu bahagia, bukan dalam waktu-waktu musibah. Dan hal itu
merupakan bid’ah yang buruk bila dilaksanakan” (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin 2/240, Daarul-Fikr,
1386).
4. Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki
berkata :
وأما جمع الناس على طعام ببيت الميت فبدعة مكروهة
“Adapun berkumpul di
dalam keluarga mayat yang menghidangkan makanan, hukumnya bid’ah makruhah
(dibenci)” (Hasyiyah Ad-Dasuqi
‘alasy-Syarhil-Kabiir 1/419, Darul-Fikr, Beirut, Tanpa Tahun).
5. Syaikh An-Nawawi Al-Bantani
(tokoh Indonesia yang hidup dan meninggal di Makkah dimana kitab-kitabnya
banyak ditelaah di NU di Indonesia) berkata :
أما الطعام الذي ويتجمع عليه الناس ليلة دفن الميت –
المسمى بالوحشة – فهو مكروه ما لم يكن من مال الأيتام وإلا فيحرم.
“Adapun menghidangkan
makanan yang ditujukan bagi orang-orang yang berkumpul di malam penguburan
mayit – yang biasa disebut al-wahsyah – adalah dibenci, bahkan diharamkan
(dengan sangat) apabila biayanya diambil daripada harta-harta anak yatim” (Nihayatuz-Zain fii Irsyadil-Mubtadi’in halaman
281, Daarul-Fikr, Beirut, Tanpa Tahun).
Dari
hadits, atsar, dan penjelasan ulama di atas telah jelas bagi kita bahwa
berkumpul dan makan makanan di tempat ahli mayit bukanlah perkara yang
disunnah. Bahkan itu bid’ah yang sangat dibenci. Semua ulama mu’tabar yang
dalam keilmuannya telah menyepakati hal ini, kecuali sedikit di antara
orang-orang awam yang pendapat mereka diabaikan. Bahkan yang menjadi sunnah
(sebagaimana yang dijelaskan oleh ikatan ulama NU Tasikmalaya di atas) adalah
kita – para tetangga ahli mayat – yang membuatkan makanan serta mengirimkannya
kepada ahli mayat yang sedang ditimpa kesusahan.
Dasarnya
adalah perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada para
shahabatnya ketika Ja’far bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu gugur di medan
jihad :
اصنعوا لآل جعفر طعاما فإنه قد أتاهم أمر شغلهم
“Buatlah makanan untuk
keluarga Ja’far. Sesungguhnya mereka tengah ditimpa musibah yang menyibukkan
mereka” (HR. Abu Dawud nombor 3132,
At-Tirmidzi nombor 998, Ibnu Majah nombor 1610, dan lain-lain; shahih
lighairihi).
Kesimpulan
: Berkumpul dan makan makanan di keluarga mayit
adalah perbuatan yang tidak disyari’atkan. Dan bagi keluarga mayat, maka ia
tidak perlu menyediakan makanan atau minuman yang sengaja diperuntukkan kepada
para tamu yang sedang ta’ziyah atau membantu pengurusan jenazah. Jika dia
melakukannya, maka ia sama saja mendorong orang untuk melakukan perbuatan yang
dilarang. Allah ta’ala berfirman :
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرّ وَالتّقْوَىَ وَلاَ
تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan saling tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan
jangan kamu tolong-menolong dalam dosa dan maksiat” (QS. Al-Maidah : 2). Allaahu a’lam.
Tetapi hal ini sangat berbeda
sekali dengan apa hasil wawancara saya terhadap tokoh agama di desa saya di
Gulon Salam Magelang yang menganggap bahwa kenduri itu bukan merupakan
perbuatan musyrik dan itu termasuk suatu wujud zakat kepada sesame muslim dalam
kenduri juga dilakukan tahlil yang dilakukan semakin banyak yang mendoakan maka
yang mempunyai hajat pun akan mendapat balasan yang lebih dari Allah SWT.
Bukankah oleh Allah telah diajarkan berlomba-lombalah dalam menunaikan zakat ??
[1]Ust. Drs. Moh. Saifullah Al Aziz.
Op.cit, hal.11
[3]Tanbihun.com/kajian/analisis/upacara-nyadran-antara-pro-dan-kontra/
[5]Tahlil Dalam
Perspektif Al-Qur’an dan As-Sunnah (Kajian Kitab Kuning), oleh : KH. Muhyiddin
Abdusshomad. dan Dokumen Penting Tentang Masalah Agama Islam, oleh : KH.
Manshur Shaleh.
sumber http://masdodod.wordpress.com
[7]Abufarras.blogspot.com/2013/02/Tuntunan-Islam-menyambut-kelahiran.html?m=1
dilihat tanggal 4 juli 2013 jam 16.54 WIB
[8]Rasudahri.tripod.com/articles/kka1_enam.htm
dilihat tanggal 4 juli 2013 jam 16.56 WIB
Thank you very much
BalasHapusThank you very much
BalasHapusterimakasih infonya, sangat mebantu..
BalasHapusPusat Layanan Aqiqah Jogja
Wowwwww
BalasHapus🤔
BalasHapusTahlilan itu boleh apa gak ?
BalasHapusKan orang tahlilan juga memuja dan memuji allah dan rasul nya