Berjabat Tangan Dengan Lawan
Jenis
Banyak hal dalam
keseharian kita yang mesti dikoreksi. Karena ada di antara kebiasaan yang lazim
berlaku di tengah masyarakat kita namun sesungguhnya menyimpang dari syariat.
Berjabat tangan dengan lawan jenis adalah contohnya. Praktik ini tersuburkan dengan
minimnya keteladanan dari mereka yang selama ini disebut tokoh agama.
Saat seorang muslim
bertemu dengan saudaranya masih terdengar tahni`ah, ucapan selamat,
“taqabballahu minna wa minkum”. Tradisi
salam-salaman alias berjabat tangan di negeri kita saat hari raya masih terus
berlangsung, walaupun sebenarnya untuk saling berjabat tangan dan meminta maaf
tidak perlu menunggu hari raya. Kapan kita memiliki kesalahan maka segera
meminta maaf, dan kapan kita bertemu dengan saudara kita maka kita mengucapkan salam
dan berjabat tangan.
Berjabat tangan yang
dalam bahasa Arab disebut dengan mushafahah memang perkara yang ma’ruf, sebuah
kebaikan. Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu menyampaikan ucapan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا لَقِيَ الْمُؤْمِنَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ، وَأَخَذَ بِيَدِهِ فَصَافَحَهُ، تَنَاثَرَتْ خَطَايَاهُمَا كَمَا يَتَنَاثَرُ وَرَقُ الشَّجَرِ
إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا لَقِيَ الْمُؤْمِنَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ، وَأَخَذَ بِيَدِهِ فَصَافَحَهُ، تَنَاثَرَتْ خَطَايَاهُمَا كَمَا يَتَنَاثَرُ وَرَقُ الشَّجَرِ
“Sesungguhnya seorang mukmin
apabila bertemu dengan mukmin yang lain, lalu ia mengucapkan salam dan
mengambil tangannya untuk menjabatnya, maka akan berguguran kesalahan-kesalahan
keduanya sebagaimana bergugurannya daun-daun pepohonan. ” (HR. Al-Mundziri
dalam At-Targhib 3/270, Al-Haitsami dalam Al-Majma’ 8/36, lihat Ash-Shahihah
no. 526)
Berjabat tangan telah
jelas kebaikannya. Namun bagaimana kalau laki-laki dan perempuan yang bukan
mahram saling berjabat tangan, apakah suatu kebaikan pula? Tentu saja tidak!!!
Walaupun menurut perasaan masyarakat kita, tidaklah beradab dan tidak punya
tata krama sopan santun, bila seorang wanita diulurkan tangan oleh seorang
lelaki dari kalangan karib kerabatnya, lalu ia menolak untuk menjabatnya. Dan
mungkin lelaki yang uluran tangannya di-”tampik” itu akan tersinggung berat.
Sebutan yang jelek pun akan disematkan pada si wanita. Padahal si wanita yang
menolak berjabat tangan tersebut melakukan hal itu karena tahu tentang hukum
berjabat tangan dengan laki-laki yang bukan mahramnya.
Rasul yang mulia SAW sebagai qudwah kita, tak pernah mencontohkan berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahramnya. Bahkan beliau mengharamkan seorang lelaki menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Beliau pernah bersabda:
لَأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ
“Kepala salah seorang ditusuk dengan jarum dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya. ” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Kabir 20/210 dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, lihat Ash-Shahihah no. 226)
Rasul yang mulia SAW sebagai qudwah kita, tak pernah mencontohkan berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahramnya. Bahkan beliau mengharamkan seorang lelaki menyentuh wanita yang tidak halal baginya. Beliau pernah bersabda:
لَأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لاَ تَحِلُّ لَهُ
“Kepala salah seorang ditusuk dengan jarum dari besi itu lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya. ” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Kabir 20/210 dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, lihat Ash-Shahihah no. 226)
Asy-Syaikh juga
berkata, “Tidak ada bedanya baik jabat tangan itu dilakukan dengan ataupun
tanpa penghalang, karena keumuman dalil yang ada. Juga dalam rangka menutup
celah-celah yang mengantarkan kepada fitnah (ujian/cobaan). ”
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu mengatakan, “Segala sesuatu yang menyebabkan fitnah (godaan) di antara laki-laki dan perempuan hukumnya haram, berdasarkan sabdaRasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu mengatakan, “Segala sesuatu yang menyebabkan fitnah (godaan) di antara laki-laki dan perempuan hukumnya haram, berdasarkan sabdaRasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى الرِّجَالِ مِنَ النِّسَاءِ
“Tidaklah aku tinggalkan
setelahku fitnah yang lebih berbahaya bagi laki-laki daripada fitnah wanita. ”
Tidaklah diragukan
bahwa bersentuhannya kulit laki-laki dengan kulit perempuan akan menimbulkan
fitnah. Kalaupun ada yang tidak terfitnah maka itu jarang sekali, sementara
sesuatu yang jarang terjadinya tidak ada hukumnya sebagaimana dinyatakan oleh
ahlul ilmi. Sungguh ahlul ilmi telah menulis permasalahan ini dan mereka
menerangkan tidak halalnya laki-laki berjabat tangan
dengan wanita ajnabiyah. Inilah kebenaran dalam masalah ini. Berjabat tangan
dengan non mahram adalah perkara yang terlarang, baik dengan pengalas atau
tanpa pengalas. ”
Beliau juga mengatakan, “Secara umum, tergeraknya syahwat disebabkan sentuhan kulit dengan kulit lebih kuat daripada sekedar melihat dengan pandangan mata/tidak menyentuh. Bila seorang lelaki tidak dibolehkan memandang telapak tangan wanita yang bukan mahramnya, lalu bagaimana dibolehkan ia menggenggam telapak tangan tersebut?” (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, 2/541-543)
Beliau juga mengatakan, “Secara umum, tergeraknya syahwat disebabkan sentuhan kulit dengan kulit lebih kuat daripada sekedar melihat dengan pandangan mata/tidak menyentuh. Bila seorang lelaki tidak dibolehkan memandang telapak tangan wanita yang bukan mahramnya, lalu bagaimana dibolehkan ia menggenggam telapak tangan tersebut?” (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, 2/541-543)
NYADRAN, RASULAN , BERSIH DESA MENURUT ISLAM
Satu di antara sekian banyak tradisi yang ada di
daerah tanah jawa pada umumnya di daerahGulon Salam Magelang khususnya adalah tradisi rasulan atau nyadran atau
juga di sebut dengan bersih desa.banyak orang yang menganggap bahwa ritual ini
adalah suatu keharusan yang harus mereka lakukan di hari yang sudah mereka
tentukan ,hingga mereka peras keringat,banting tulang, menjual apa yang mereka
miliki untuk acara tersebut .Bahkan tidak sedikit mereka rela ngutang ngutang
,ada yang sampe terjadi pertikaian antara suami istri gara gara tidak ada biaya
untuk pesta hura hura tersebut.Yang lebih memprihatinkan mereka yang melakukan
adalah saudara saudara kita kaum muslimin,untuk acara yang satu ini mereka
belum tahu kalau acara itu sebetulnya acara yang bertentangan dengan syariat
Islam, bahkan bisa membatalkan keislamannya ,kenapa tidak .Mereka dalam acara
acara itu banyak melakukan ritual ritual yang berasal bari agama hindu, yang
ini sudah jelas kesyirikannya.
Di antara ritual mereka adalah sebagai berikut:
mereka
mendatangi makam-makam leluhur, wali dan orang soleh yang menurutnya adalah
bagian dari tempat mencari berkah. Bahkan kadang sangat berlebihan dan menjadi
suatu keharusan dalam melakukannya sehingga orang orang datang
berbondong-bondong mendatangi kuburan ,tempat tempat yang di keramatkan seperti
pohon besar, gua gua, telaga, dan anehnya pula mereka membawa makanan tertentu,
seperti apem, nasi uduk dengan ingkungnya, bunga bunga yang di takir dengan
daun pisang, bahkan yang tidak ketinggalan yaitu dupa atau kemenyan turut
mereka bawa.kemudian mereka di tempat tersebut mengadakan doa yang di pimpin
mbah kaum atau sesepuh desa, yang di mulai menyebut danyang danyang atau
dedemit yang menunggu desa itu atau tempat itu untuk supaya memeberikan syafaat,
kesehatan, ketentraman, keselamatan, panen yang banyak dan sebagainya,
sekalipun di sela sela doa ada yang di ambil dari islam.Namun yang perlu kita
ketahui bahwa semuanya itu tidak ada asal usulnya dari islam bahkan semuanya
bertentangan dengan ajaran islam yang benar.
Allah
berfirman dalam surat Al Maidah ayat 72:
لَقَدْكَفَرَالَّذِينَقَالُواإِنَّاللَّهَهُوَالْمَسِيحُابْنُمَرْيَمَوَقَالَالْمَسِيحُيَابَنِيإِسْرَائِيلَاعْبُدُوااللَّهَرَبِّيوَرَبَّكُمْإِنَّهُمَنْيُشْرِكْبِاللَّهِفَقَدْحَرَّمَاللَّهُعَلَيْهِالْجَنَّةَوَمَأْوَاهُالنَّارُوَمَالِلظَّالِمِينَمِنْأَنْصَارٍ
(٧٢)
Yang
artinya:”Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik , dan akan
mengampuni dosa selainnya (yang di bawah syirik) bagi siapa yang di kehendaki”.
Imam Malik meriwayatkan dalam kitab Al Muaththa’ Bahwa
rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda:”Ya Allah janganlah Engkau
jadikan kuburanku berhala yang di sembah . Allah sangat murka kepada orang
orang yang menjadikan kuburan Nabi Nabi mereka sebagai tempat ibadah”.
Di riwayatkan dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘ranhu
Rasulullah Shalallahu Alaihi wa sallam bersabda:”janganlah kamu jadikan rumah
rumah kamu sebagai kuburan , dan janganlah kamu jadikan kuburanku sebagai
tempat perayaan , tetapi ucapkanlah shalawat untuku karena sesungguhnya ucapan
shalawatmu sampai kepadaku di manapun kamu berada”.( HR Abu Dawud dengan isnat
hasan)
Dengan
berdasarkan dalil dalil di atas dapat di ambil kesimpulan:
1.
Rasulullah melarang
ziarah kubur dengan cara cara tertentu, yang tidak sesuai dengan islam
2.
Larangan mengadakan
acara di kuburan Rasulullah , lebih lebih di kuburan selainnya
3.
Allah murka terhadap
orang yang beribadah di kuburan(Doa termasuk ibadah)maka tidak boleh di lakukan
di kuburan
Dan Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Ibnu Mas’ud:
Yang
artinya.”Sesungguhnya yang termasuk sejelek jeleknya manusia ialah orang orang
yang masih hidup ketika terjadi kiamat dan orang orang yang menjadikan kuburan
sebagai tempat ibadah”.
Jelaslah dalam hadits di atas bahwa melakukan ibadah
apapun di kuburan hukumnya adalah haram.Dan masih banyak lagi acara acara yang
sangat sangat bertentangan dengan islam diantanya, pentas wayang kulit yang di
yakini bisa mendatangkan keberkahan, pentas Reog
Jatilan
yang mengundang demit atau syaiton . Dan anehnya biaya untuk itu tidak sedikit
bahkan jika ada yang tidak mau membayar di ancam akan di kucilkan di
masyarakat terkadang kata kata seperti ini keluar dari orang orang yang punya
kedudukan di daerah itu , padahal tidak ada undang undang yang mengatur hal
itu.
Umat
Islam di negeri ini mempunyai tradisi yang bermacam-macam. Selain berbagai
peringatan hari-hari besar Islam, mereka juga masih mempunyai tradisi yang
sudah ada sejak dulu. Ritual yang sudah ada sebelum Islam masuk ke
Indonesia.yaitu sebagai mana telah kita sampaikan di atas yaitu Nyadran. Ritual
ini biasanya dilakukan oleh kebanyakan masyarakat jawa menjelang Ramadan atau
di luar bulan itu. Meskipun bentuk acara dan waktu yang tidak sama, namun semua
dilaksanakan menjelang berakhirnya bulan Sya’ban atau orang Jawa menyebutnya
dengan istilah ruwahan
Di
saat-saat seperti ini juga di berbagai daerah di Jawa banyak di jumpai ritual
sadranan atau nyadran atau Rasulan, atau juga bersih desa. Tradisi ini
mengandung makna dan nuansa religius dan magis yang senantiasa mewarnai
ritual-ritual itu. Biasanya, tempat-tempat yang dituju dalam kegiatan nyadran
ini, adalah makam para leluhur, tokoh-tokoh besar, alim ulama serta para tokoh
yang banyak berjasa bagi daerah dan syiar agama pada masa lampau.
Ke
makam yang di percaya bisa memberi berkah
Misalnya,
orang-orang di sekitar Kabupaten Demak, menjelang berakhirnya bulan Sya’ban
akan datang berduyun-duyun kemakam Sunan Kalijaga di komplek pemakaman
Kadilangu, Demak. Dikabupaten Semarang, tepatnya di Dusun Panjang Lor,
Kelurahan Panjang, Kecamatan Ambarawa masyarakat dari berbagai penjuru datang
ke makam ini untuk berziarah di makam Nyi Tirto Tinoyo atau lebih dikenal
sebagai Nyi Panjang. Warga setempat meyakini, Nyi Panjang merupakan istri lurah
pertama di sana, yang menjadi cikal bakal Kampung Panjang. Belum diberbagai
daerah seperti Klaten, Solo, Wonogiri, Yogya dan masih banyak lagi daerah yang
mengadakan.
RELA
PULANG
Masyarakat
yang merantau jauhpun rela untuk pulang demi melaksanakan ritual sadranan
kemakam leluhur secara bersama-sama. Adapun berbagai acara yang dikemas sangat
beraneka ragam, selain membacakan do’a untuk para arwah leluhur dan
bersih-bersih kubur, kadang ada yang diselingi dengan berbagai pertunjukan
rakyat seperti pagelaran wayang kulit berkunjung ke rumah teman untuk makan
makan.
Lalu,
bolehkah kita sebagai kaum Muslim mengadakan acara nyadran dan adakah
keterangan nash maupun hadist yang menerangkan tentang tradisi nyadran, nyekar
atau berziarah kemakam menjelang bulan Ramadhan ?
KESIMPULAN
Tradisi
Nyadran didalam Islam tidak pernah disyariatkan,bahkan termasuk perbuatan
syirik dan tabdzir (berlaku boros ) namun jika ziarah kemakam dibolehkan meski
dulu Rasul pernah melarang, karena orang-orang dulu menjadikan kubur sebagai
tempat untuk kesyirikan.
Rasulullah
Solallohu ‘alaihi wasallam pernah melarang para umatnya ziarah kekubur seperti
yang disabdakan :”Dahulu Aku melarang kalian ziarah kubur, namun sekarang
silahkan berziarah kubur” (HR Muslim).
Namun
ziarah kekuburpun dibolehkan, hanya untuk mengingat kematian dan tidak di
jadikan ibadah atau berdoa kepada penghuni kubur atau ditambah bermacam-macam
acara. ziarah tidak harus menjelang bulan Ramadhan, dan tidak harus pula
disertai dengan berbagai acara seperti berdoa bersama , gedurenan , makan makan
di kuburan, pagelaran wayang kulit dan kesenian lainnya. Sehingga kita tidak
mencampur adukkan antara tradisi, budaya dan syariat agama.
Apalagi
jika dalam ritual nyadran disertai dengan perbuatan yang sifatnya meminta
kepada kuburan atau meminta kepada ruh orang yang sudah mati adalah perbuatan
di haramkan karena termasuk perbuatan syirik. Termasuk juga mengusap-usap
kuburan, member kain kafan atau istilah jawa kemul kemul dengan tujuan
bisa mendapatkan barakah dan kekayaan atau menjadi lancar usahanya, minta
diberi jodoh atau lulus ujian adalah termasuk perbuatan yang diharamkan.
Untuk
itu hendaklah apa yang kita lakukan saat berziarah kubur harus sesuai
dengan
petunjuk Rasulullah Solallohu ‘alaihi wasallam. Seperti mengucapkan salam
kepada
ahli kubur dengan salam yang diajarkan oleh Rasulullah Solallohu ‘alaihi
wasallam yaitu :
السلام عليكم اله الديار من المؤمنين و المسلمين و انا
انشاء الله بكم لاحقون نساال الله لنا ولكم العافية
Yang
artinya : “Semoga kesejahteraan atas kalian, wahai penduduk
kuburan dari kaum mukmini dan kaum muslimin, Inysaallah
kami akan menyusul kalian. Akumemohon kepada Allahuntuk kami dan kamu sekalian
agar di beri keselamatan
.
(HR. Muslim no 975).
Kebudayaan yang bertentangan dengan Islam.
Seperti, budaya “ ngaben “ yang
dilakukan oleh masyarakat Bali. Yaitu upacara pembakaran mayat yang
diselenggarakan dalam suasana yang meriah dan gegap gempita, dan secara
besar-besaran. Ini dilakukan sebagai bentuk penyempurnaan bagi orang yang
meninggal supaya kembali kepada penciptanya. Upacara semacam ini membutuhkan
biaya yang sangat besar. Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat
Kalimantan Tengah dengan budaya “tiwah“ , sebuah upacara pembakaran mayat.
Bedanya, dalam “ tiwah” ini dilakukan pemakaman jenazah yang berbentuk perahu
lesung lebih dahulu. Kemudian kalau sudah tiba masanya, jenazah tersebut akan
digali lagi untuk dibakar. Upacara ini berlangsung sampai seminggu atau lebih.
Pihak penyelenggara harus menyediakan makanan dan minuman dalam jumlah yang
besar , karena disaksikan oleh para penduduk dari desa-desa dalam daerah yang
luas. Di daerah Toraja, untuk memakamkan orang yan meninggal, juga memerlukan
biaya yang besar. Biaya tersebut digunakan untuk untuk mengadakan hewan kurban
yang berupa kerbau. Lain lagi yang dilakukan oleh masyarakat Cilacap, Jawa
tengah. Mereka mempunyai budaya “ Tumpeng Rosulan “, yaitu berupa makanan yang
dipersembahkan kepada Rosul Allah dan tumpeng lain yang dipersembahkan kepada
Nyai Roro Kidul yang menurut masyarakat setempat merupakan penguasa Lautan
selatan ( Samudra Hindia ).
Hal-hal di atas
merupakan sebagian contoh kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran Islam,
sehingga umat Islam tidak dibolehkan mengikutinya. Islam melarangnya, karena
kebudayaan seperti itu merupakan kebudayaan yang tidak mengarah kepada kemajuan
adab, dan persatuan, serta tidak mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa
Indonesia, sebaliknya justru merupakan kebudayaan yang menurunkan derajat
kemanusiaan. Karena mengandung ajaran yang menghambur-hamburkan harta untuk
hal-hal yang tidak bermanfaat dan menghinakan manusia yang sudah meninggal
dunia.
Dalam hal ini al
Kamal Ibnu al Himam, salah satu ulama besar madzhab hanafi
mengatakan : “ Sesungguhnya nash-nash syareat jauh lebih kuat daripada tradisi
masyarakat, karena tradisi masyarakat bisa saja berupa kebatilan yang telah
disepakati, seperti apa yang dilakukan sebagian masyarakat kita hari ini, yang
mempunyai tradisi meletakkan lilin dan lampu-lampu di kuburan khusus pada
malam- malam lebaran. Sedang nash syareat, setelah terbukti ke-autentikannya,
maka tidak mungkin mengandung sebuah kebatilan. Dan karena tradisi, hanyalah
mengikat masyarakat yang menyakininya, sedang nash syare’at mengikat manusia
secara keseluruhan., maka nash jauh lebih kuat. Dan juga, karena tradisi
dibolehkan melalui perantara nash, sebagaimana yang tersebut dalam hadits : “
apa yang dinyatakan oleh kaum muslimin baik, maka sesuatu itu baik “
Dari situ, jelas bahwa apa yang
dinyatakan oleh Dr. Abdul Hadi WM, dosen di Fakultas Falsafah
dan Peradaban Universitas Paramadina, Jakarta, bahwa Islam tidak boleh memusuhi
atau merombak kultur lokal, tapi harus memposisikannya sebagai ayat-ayat Tuhan
di dunia ini atau fikih tidak memadai untuk memahami seni, adalah tidak benar.
Wallahu a’lam
Saatidulfitri
هل من السنة زيارة الأقارب والأصدقاء
وذلك لغرض المعايدة، وهل يعتبر ذلك تخصيصاً، لأننا سمعنا أن أحد العلماء يقول
زيارة الأحياء في العيد كزيارة الأموات؟
Pertanyaan: Apakah mengunjungi saudara dan teman-teman baik dalam rangka
merayakan hari ‘Id termasuk perbuatan yang disunnahkan? Apakah ini termasuk
pengkhususan hari tertentu yang terlarang? Karena kami dengar ada salah seorang
ulama yang mengatakan bahwa mengunjungi orang yang masih hidup sama hukumnya
sebagai mana mengunjungi orang mati (ziarah kubur).
Syaikh Abdullah Al Faqih hafizhahullah menjawab:
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول
الله وعلى آله وصحبه أما بعد:
فزيارة الأقارب والأصدقاء والجيران في العيد مشروعة، جاء في الموسوعة الفقهية الكويتية:
فزيارة الأقارب والأصدقاء والجيران في العيد مشروعة، جاء في الموسوعة الفقهية الكويتية:
Alhamdulillah Was Shalatu Was Salamu ‘ala Rasulillah Wa ‘ala Alihi Wa
Shahbihi, Amma ba’du:
Saling berkunjung antar kerabat, tetangga dan teman dekat pada hari ‘Id adalah perbuatan yang masyru’ (memiliki landasan dalil dalam syari’at). Sebagaimana tertulis dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah:
Saling berkunjung antar kerabat, tetangga dan teman dekat pada hari ‘Id adalah perbuatan yang masyru’ (memiliki landasan dalil dalam syari’at). Sebagaimana tertulis dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah:
التزاور مشروع في الإسلام، وقد ورد ما يدل على مشروعية الزيارة في العيد، فقد
روي عن عائشة رضي الله عنها قالت: دخل علي النبي صلى الله عليه وسلم وعندي جاريتان
تغنيان بغناء بعاث، فاضطجع على الفراش وحول وجهه ودخل أبو بكر….. إلى آخر الحديث.،
وموضع الشاهد فيه، وزاد في رواية هشام: يا أبا بكر إن لكل قوم عيداً وهذا عيدناً.،
قال في الفتح: قوله وجاء أبو بكر: وفي رواية هشام بن عروة “دخل علي أبو بكر” وكأنه
جاء زائراً لها بعد أن دخل النبي صلى الله عليه وسلم بيته.^^ انتهى.
“Saling berkunjung (antar kerabat, tetangga dan teman dekat pada hari ‘Id)
adalah perbuatan yang masyru’ dalam Islam. Terdapat riwayat yang menunjukkan masyru’-nya
hal tersebut, yaitu hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiallahu’anha,
beliau berkata: ‘Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam masuk ke rumah, ketika itu
aku sedang bersama dua anak wanita yang bernyanyi dengan senandung bu’ats. Lalu
beliau bersandar di tempat tidur dan wajahnya menoleh (pada dua anak wanita
yang bernyanyi tadi). Kemudian datanglah Abu Bakar…‘ sampai akhir hadits.
Sisi pendalilan dari hadits ini, terdapat tambahan riwayat dari Hisyam, bahwa
Nabi bersabda: ‘Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum memiliki Id
sendiri, dan hari ini adalah Id kita‘. Dalam Fathul Baari di
jelaskan mengenai tambahan riwayat yang berbunyi ‘Kemudian datanglah Abu
Bakar‘: ‘Seolah-olah Abu Bakar datang untuk berkunjung kepada ‘Aisyah
(anaknya), beberapa saat setelah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
masuk’”. [sampai di sini nukilan dari Mausu'ah Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah]
ولا شك أن التزاور في العيد مما يقوي
الصلة، ويزيل الشحناء ويقطع التدابر، ولذلك فهو عمل مسنون كان عليه السلف من
الصحابة ومن بعدهم، وهو عمل المسلمين إلى يومنا هذا، ولا نعلم أن أحداً من العلماء
شبه زيارة الأحياء بزيارة الأموات، ولم نفهم المراد من قولك (وهل يعتبر ذلك
خصيصاً) وفي ما مضى كفاية.
والله أعلم.
والله أعلم.
Tidak ragu lagi bahwa saling berkunjung di hari Id, yang menyebabkan
terjalinnya silaturahmi, berakhirnya sengketa, berakhirnya saling benci, maka
ini adalah perkara yang dianjurkan dan dilakukan oleh para salaf dari kalangan
sahabat dan yang setelah mereka. Ini pun merupakan kebiasaan kaum muslimin
sampai hari ini. Saya tidak mengetahui ada seorang ulama yang menyamakan
perbuatan ini dengan mengunjungi orang mati (ziarah kubur). Dan saya tidak
paham maksud perkataan anda ‘Apakah ini termasuk pengkhususan hari tertentu
yang terlarang‘. Namun saya kira, penjelasan tadi sudah mencukupi. Wallahu’alam.
Akhir kata, saling berkunjung ke rumah kerabat di hari Idul Fitri adalah
hal yang dibolehkan, dengan alasan berikut:
- Kegiatan tersebut adalah kegiatan non-ibadah. Sedangkan kegiatan non-ibadah hukum asalnya adalah mubah.
- Salah satu makna عِيد (‘Id) secara bahasa adalah hari yang biasanya orang-orang saling berkumpul dan saling bertemu.والعِيدُ كلُّ يوم فيه جَمْعٌ، واشتقاقه من عاد يَعُود كأَنهم عادوا إِليه؛ وقيل: اشتقاقه من العادة لأَنهم اعتادوه
” ‘Id juga berarti hari yang biasanya orang-orang
saling berkumpul. ‘Id berasal dari kata عاد يَعُود (mengulang) karena mereka
secara rutin melakukannya (kumpul-kumpul). Sebagian ahli bahasa berpendapat,
asal katanya dari العادة (kebiasaan) karena mereka biasa melakukan hal
tersebut” (Lisaanul ‘Arab)
- Syariat menetapkan bahwa ‘Idul Fitri dan Idul Adha adalah hari bergembira ria. Sebagaimana diceritakan oleh Anas bin Malik Radhiallahu’anhu:قدم رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة ولهم يومان يلعبون فيهما فقال ما هذان اليومان قالوا كنا نلعب فيهما في الجاهلية فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الله قد أبدلكم بهما خيرا منهما يوم الأضحى ويوم الفطر
“Di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
baru hijrah ke Madinah, warga Madinah memiliki dua hari raya yang biasanya di
hari itu mereka bersenang-senang. Rasulullah bertanya: ‘Perayaan apakah yang
dirayakan dalam dua hari ini?’. Warga madinah menjawab: ‘Pada dua hari raya
ini, dahulu di masa Jahiliyyah kami biasa merayakannya dengan
bersenang-senang’. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
‘Sungguh Allah telah mengganti hari raya kalian dengan yang lebih baik, yaitu
Idul Adha dan ‘Idul Fithri’ ” (HR. Abu Daud, 1134, dishahihkan Al
Albani dalam Shahih Abi Daud, 1134)
Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Ta’ala berfirman:
Dalam sebuah hadits qudsi, Allah Ta’ala berfirman:
للصائم فرحتان : فرحة عند فطره ، وفرحة عند لقاء ربه
“Orang yang berpuasa itu memiliki
dua kegembiraan. Kegembiraan ketika berbuka dan kegembiraan ketika bertemu
Rabb-Nya kelak” (Muttafaqun ‘alaih)
Dan cara bergembira di hari itu tidak ditentukan oleh
syariat sehingga kembali kepada ‘urf (kebiasaan)
setempat. Mengunjungi kerabat adalah bentuk bersenang-senang dan
bergembira karena tentunya bertemu dengan keluarga dan kerabat menimbulkan rasa
sayang dan kegembiraan.
Perbuatan ini memiliki dasar dari syari’at dan
diamalkan oleh salaf, sebagaimana yang dijelaskan dalam Al Mausu’ah Al
Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah
ngabuburiit
“NGABUBURIT” adalah aktifitas yang populer di bulan
Ramadhan, termasuk di tahun 2012 ini, karena masyarakat Indonesia senang
melakukannya di bulan penuh maghfirah ini. Isitilah ‘Ngabuburit’ adalah berasal
dari Bahasa Sunda yang berarti ‘mencari waktu sore’ atau ‘menunggu waktu
maghrib tiba’ atau ‘bersantai-santai sambil menunggu waktu sore’. Bagi
masyarakat Sunda, tradisi ngabuburit menjadi suatu tradisi yang selalu
dilakukan pada bulan Romadhan. Banyak muda-mudi ber-ngabuburit di pantai,
mal-mal, supermarket sambil melihat-lihat barang; mereka juga dapat menikmati
segarnya AC di tempat itu. Ada juga yang melakukannya di area taman, danau, di
tempat tempat sejuk sambil bercanda ria, sehingga rasa haus, lemas, dan lapar
menjadi terlupakan. Saat ini, kegiatan ngabuburit ini tidak hanya berlaku di
masyarakat Sunda dan sekitarnya saja, namun ngabuburit juga mewarnai keseharian
masyarakat daerah lainnya di Nusantara. Iklan-iklan dan acara-acara di televisi
ikut berperan andil dalam menyebarluaskan istilah ngabuburit ini, sehingga
wajar kalau tradisi ngabuburit ini mulai menjamur dimana-mana.
Sekilas, ngabuburit ini adalah tradisi yang positif
demi memotivasi umat Islam untuk tetap melakukan ibadah puasanya. Sebagian
orang mengatakan, “Daripada tidur melulu lebih baik ber-ngabuburit.” Namun
demikian, disadari atau tidak, pelan tapi pasti, aktivitas ngabuburit mulai
menuai nilai negatif. Acara ini mulai menjelma menjadi ajang untuk pergumulan
lawan jenis atau ajang urak-urakan. Coba kita sempatkan untuk mengamati ngabuburit
para muda-mudi di taman-taman kota, di pantai, danau, mal-mal, di jalanan, atau
di tempat-tempat lain yang unik, pasti kita akan menemukan muda-mudi
bersendagurau, saling bercanda, urakan. Tidak sedikit dari mereka yang memang
sejak dari rumah telah menyusun rencana dengan pasangannya masing-masing; ada
pula yang serius mencari jodoh; ada pula yang hanya untuk nongkrong-nongkrong
di pusat keramaian sambil mencuci mata; dan seterusnya. Tujuan-tujuan semacam
ini semakin lama semakin menjadi-menjadi. Bahkan, untuk yang terakhir
(nongkrong-nongkrong) adalah aktivitas ngabuburit yang tidak ada matinya di
tiap-tiap daerah di Indonesia.
Dalam hukum Islam, istilah ngabuburit tentu tidak ada
referensinya, karena istilah tersebut adalah buatan orang Indonesia, khususnya
Sunda. Namun, dalam persoalan nongkrong yang notabene juga salah satu dari
aktivitas dalam ngabuburit, pernah diisyaratkan oleh Nabi saw tentang
ketentuannya. Nongkrong di pinggir jalan memang sangat mengasyikkan. Bisa lirik
sana lirik sini, hingga rasa lelah, haus, lapar terlupakan. Inilah tujuan
ngabuburit dengan nongkrong-nongkrong. Apalagi kalau bersama kawan-kawan kita.
Pasti banyak yang diomongin. Untuk urusan nongkrong, muda-mudi memang
menjadikannya trend tersendiri. Bahkan, bisa dibilang acara rutinan.
Dengan acara nongkrong, banyak yang bisa mereka lakukan. Mulai dari hura-hura,
gitaran, ngomongin orang, atau godain cewek.
Sementara itu, seperti tahun-tahun sebelumnya,
masjid-masjid masih belum menjadi tempat idola untuk ber-ngabuburit. Coba
sendainya para muda-mudi menunggu sore dengan mengaji, mengkaji ilmu
pengetahuan, dan hal-hal positif, pasti ngabuburit akan terus berdampak positif
dan Ramadhan akan benar-benar menjadi Ramadhan yang penuh rahmat.
Pada masa awal lahirnya Islam, sebenarnya Nabi saw
Pernah bersabda tentang berduduk-duduk (nongkrong) di jalan-jalan. Hal ini
sebagaimana tersurat pada hadits berikut,
أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ
بِالطُّرُقَاتِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَنَا مِنْ مَجَالِسِنَا بُدٌّ
نَتَحَدَّثُ فِيهَا فَقَالَ إِذْ أَبَيْتُمْ إِلَّا الْمَجْلِسَ فَأَعْطُوا
الطَّرِيقَ حَقَّهُ قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ
غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلَامِ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ
وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ
"Sesungguhnya Nabi saw. pernah bersabda (pada para sahabat),
"Jahuilah duduk-duduk di tepi jalan!" lalu para sahabat bertanya,
"Wahai Rasullullah kami tidak bisa meninggalkan tempat-tempat ini, karena
di tempat itulah kami membicarakan sesuatu." Rasulullah pun bersabda,
"Apabila kalian merasa tidak bisa untuk meninggalkan duduk-duduk disitu
maka penuhilah hak jalan itu?" Para sahabat bertanya lagi, "Apa saja
hak jalan itu, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Menutup
pandangan, tidak mengganggu, menjawab salam, dan amar ma`rûf nahi munkar." [Shahîh
al-Bukhâriy, XIX:239]
Pada hadits tersebut, para sahabat sebenarnya tidak
bisa meninggalkan duduk-duduk di tepi jalan, lantaran ada sesuatu yang mendesak
mereka untuk berkumpul bersama di tempat itu. Bagi mereka, duduk berkumpul di
tepi jalan adalah untuk memenuhi kebutuhan mereka berupa berbincang-bincang
perkara dunia dan akhirat. Dengan duduk-duduk berkumpul di jalan seperti itu,
mereka bisa bermusyawarah, bermu`malah, dan saling belajar. Mereka tidak bisa
melakukan aktivitas-aktivitas tersebut tanpa duduk bersama di tepi jalan.
[Maraqât al-Mafâtîh Syarhu Misykât al-Mashâbîh, XIII:424]
Dengan alasan para sahabatnya yang dikemukakan di
atas, Rasul pun memberikan dispensasi pada para sahabat dengan membiarkan
mereka melakukan kebiasaan tersebut. Dari sini dapat diketahui bahwa kebolehan
nongkrong di jalan adalah tergantung pada tujuan dan keterdesakan untuk
melakukan acara nongkrong. Jika bertujuan baik namun masih ada cara lain untuk
merealisasikannya selain dengan nongkrong –misalnya berbincang-bincang di
rumah– maka sebenarnya Rasul juga tidak menyenanginya. Kebutuhan yang terdesak
ini bisa kita jumpai pada seseorang yang memang pekerjaannya berada di pos-pos
atau di pinggir jalan semisal hansip atau seorang jukir (tukang parkir).
Namun demikian, yang perlu diperhatikan adalah setelah
Rasul memberikan dispensasi pada para sahabat, lalu beliau menyatakan beberapa
aturan-aturan duduk-duduk di jalan, yaitu menutup mata dari hal-hal yang
diharamkan seperti melihat aurat lawan jenis, tidak mengganggu orang yang lewat
seperti mempersempit jalan, menggoda atau mengolok-ngoloknya, menjawab salam,
dan ber-amar ma`rûf nahi munkar, semisal membantu orang yang sedang
dirampok atau dijambret.
Bahkan di kesempatan yang lain, yaitu ketika Rasul
saw. menghampiri sahabat anshar yang sedang duduk-duduk di tepi jalan, Beliau
bersabda,
إِنْ
كُنْتُمْ لاَ بُدَّ فَاعِلِيْنَ فَأَفْشُوْا السَّلاَمَ وَأَعِيْنُوْا
اْلمَظْلُوْمَ وَاهْدُوْا السَّبِيْلَ
"Jika memang kalian tidak dapat meninggalkan perbuatan tersebut (duduk
di tepi jalan) maka tebarkanlah salam, bantulah orang yang terzhalimi, dan
tunjukkan (seseorang) pada arah jalan (yang tidak diketahuinya)." [Musnad
Ahmad bin Hanbal, IV:282]
Beberapa ulama, juga menambahkan beberapa ketentuan
bagi para penongkrong yang sudah terpaksa melakukannya dengan batasan bahwa si
penongkrong harus senantiasa berkata yang baik-baik, harus membantu orang yang
sedang keberatan membawa beban, mendoakan orang yang kebetulan bersin,
senantiasa berdzikir pada Allah dan hal-hal lain yang bersifat kebajikan.
[Tuhfatu al-Ahwadziy, VII:30]
Demikianlah Rasul memberikan beberapa deretan aturan
main duduk-duduk atau berjalan-jalan di keramaian. Sungguh sangat ketat aturan
dari Nabi saw. tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya Beliau tidak
senang pada kebiasaan duduk-duduk di tepi jalan.
Oleh sebab itulah Jumhur ulama menyatakan bahwa pada
dasarnya hukum nongkrong di pinggir jalan adalah makrûh karena secara
tersirat Nabi tidak menyukainya. Artinya, lebih baik kita tinggalkan, karena
dengan meninggalkannya berarti secara otomatis kita dapat pahala kebaikan.
[al-Mausû`ah al-Fiqhiyyah, II:1322]
Sederet tata krama yang telah disabdakan Rasul
tersebut di atas tidak lain bertujuan untuk menjaga ketentraman dan ketertiban
serta menghilangkan kekacauan di tempat-tempat umum. Oleh karena itu para ulama
sepakat bahwa illat (alasan) dari kemakruhan duduk-duduk di pinggir
jalan adalah kekhawatiran timbulnya fitnah dan dapat menyakiti orang lain.
[Fathu al-Bâriy li Ibni Hajar, XVII:447; Syarhu Ibnu Batthal, XII:109]
Bahkan, jika yang dikhawatirkan tersebut benar-benar
terjadi maka bisa berakibat fatal, yaitu hukum nongkrong bukan hanya makruh,
melainkan bisa berubah menjadi haram, karena dalam prinsip Hukum Islam
disebutkan, "Sesuatu yang mubâh (boleh), namun berbarengan dengan
sesuatu yang haram maka kemubahan tersebut dapat berubah menjadi haram
juga". Kalau sesuatu yang mubah saja sudah diharamkan ketika berbarengan
dengan haram, apalagi sesuatu yang makruh. [Fatâwâ al-Azhar, VII:263]
Dengan demikian, kemakruhan nongkrong ini pada
gilirannya dapat berubah menjadi haram ketika yang dikhawatirkan benar-benar
nyata terjadi. Misalnya, segerombolan penongkrong berbicara asyik tentang
kejelekan-kejelekan orang yang lewat di hadapan mereka, maka dalam hal ini,
bukan hanya membicarakan kejelekannya yang haram, namun aktivitas nongkrongnya
juga ketiban dosa.
Semakna dengan nongkrong, yaitu segala
aktivitas-akivitas yang berada di jalan umum, seperti berngabuburit di
pusat-pusat keramaian. Jika ngabuburit tersebut dapat mengakibatkan kesulitan
pada orang lain yang hendak memanfaatkan jalan sehingga jalan umum menjadi
sempit maka ngbuburit tersebut juga haram dilakukan; atau jika ngabuburit
dilakukan hanya untuk menebar maksiat dengan lawan jenis maka tentu haram pula
ngabuburitnya. Dengan demikian, bila ngabuburit sudah mengarah kesini, lantas
mengapa tidak segera kita hindari aktivitas-aktivitas yang sangat sia-sia ini.
Aktivitas-aktivitas sia-sia hanya akan mengantarkan pada kesia-siaan pula dalam
beribadah puasa. Bukankah Rasul pernah bersabda,
مسند أحمد -
(ج 20 / ص 467)
كَمْ مِنْ
صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوعُ
“Berapa banyak
orang yang berpuasa yang tiada baginya, kecuali hanyalah rasa lapar.”
Pada hadits tersebut, Nabi menyindir orang-orang yang
berpuasa. Sindiran tersebut yaitu bagi orang-orang yang puasanya hanya akan
menjadap rasa lapar saja, tanpa memperoleh fadhilah puasa. Hal ini disebabkan
banyak sekali orang berpuasa, namun mereka masih melakukan aktivitas-aktivitas
yang sia-sia.
Ber-ngabuburit tentu sangat mendekati –kalau tidak mau
dikatakan sia-sia– kesia-siaan. Oleh sebab itu, kalau memang terpaksa kita
ingin berngabuburit maka tetaplah kita menjaga etika sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas. Tidak usah kita berhura-hura, mengganggu lalu lintas,
mengganggu para pengguna jalan dan seterusnya. Dan Alangkah paling baiknya
kalau kita berngabuburit ‘ala Ramadhan sebenarnya, yaitu dengan rajin membantu
orang tua, rajin membantu tetangga yang susah, rajin membaca al-Qur’an, rajin
mempelajari mata pelajaran semasa liburan dan seterusnya.
1. Tentang Selamatan yang Biasa Disebut GENDURI [Kenduri atau Kenduren]
Genduri merupakan upacara ajaran Hindu. [Masalah ini] terdapat pada kitab sama weda hal. 373 (no.10) yang berbunyi “Antarkanlah sesembahan itu pada Tuhanmu Yang Maha Mengetahui”. Yang gunanya untuk menjauhkan kesialan.
“Sloka prastias mai pipisatewikwani widuse bahra aranggaymaya jekmayipatsiyada duweni narah”.
[Hal ini] bertentangan dengan Firman Allah : ”Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan.” (QS. Adz-Dzariyat [51]:57)
Juga terdapat pada kitab siwa sasana hal. 46 bab ‘Panca maha yatnya’. Juga terdapat pada Upadesa hal. 34, yang isinya:
a. Dewa Yatnya [selamatan] Yaitu korban suci yang [secara] tulus ikhlas ditujukan kepada Sang Hyang Widhi dengan jalan bakti sujud memuji, serta menurut apa yang diperintahkan-Nya (tirta yatra) metri bopo pertiwi.
b. Pitra Yatnya Yaitu korban suci kepada leluhur (pengeling-eling) dengan memuji [yang ada] di akhirat supaya memberi pertolongan kepada yang masih hidup.
c. Manusia Yatnya Yaitu korban [yang] diperuntukan kepada keturunan atau sesama supaya hidup damai dan tentram.
d. Resi Yatnya Yaitu korban suci [yang] diperuntukan kepada guru atas jasa ilmu yang diberikan (danyangan).
e. Buta Yatnya Yaitu korban suci yang diperuntukan kepada semua makhluk yang kelihatan maupun tidak, untuk kemulyaan dunia ini (unggahan).
[Hal ini] bertentangan dengan Firman Allah:
”Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".(QS. Al-Baqoroh[2]:170)
[Lihat juga QS. Al-Maidah[5]:104, Az-Zukhruf [43]:22)
Tujuan dari yang [disebutkan] di atas merupakan usaha untuk meletakkan diri pada keseimbangan dalam hubungan diri pribadi dengan segala ciptaan Tuhan, [serta] untuk membantu kesucian/penghapus dosa.
[Hal ini] bertentangan dengan Firman Allah :
”Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya” (QS. Az-Zumar [39]:2).
Periksa juga surat 18: 110, 39: 65, 16: 36, 7: 59,65,73,85, 4: 116, 6: 88, 17: 39.
Genduri merupakan upacara ajaran Hindu. [Masalah ini] terdapat pada kitab sama weda hal. 373 (no.10) yang berbunyi “Antarkanlah sesembahan itu pada Tuhanmu Yang Maha Mengetahui”. Yang gunanya untuk menjauhkan kesialan.
“Sloka prastias mai pipisatewikwani widuse bahra aranggaymaya jekmayipatsiyada duweni narah”.
[Hal ini] bertentangan dengan Firman Allah : ”Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan.” (QS. Adz-Dzariyat [51]:57)
Juga terdapat pada kitab siwa sasana hal. 46 bab ‘Panca maha yatnya’. Juga terdapat pada Upadesa hal. 34, yang isinya:
a. Dewa Yatnya [selamatan] Yaitu korban suci yang [secara] tulus ikhlas ditujukan kepada Sang Hyang Widhi dengan jalan bakti sujud memuji, serta menurut apa yang diperintahkan-Nya (tirta yatra) metri bopo pertiwi.
b. Pitra Yatnya Yaitu korban suci kepada leluhur (pengeling-eling) dengan memuji [yang ada] di akhirat supaya memberi pertolongan kepada yang masih hidup.
c. Manusia Yatnya Yaitu korban [yang] diperuntukan kepada keturunan atau sesama supaya hidup damai dan tentram.
d. Resi Yatnya Yaitu korban suci [yang] diperuntukan kepada guru atas jasa ilmu yang diberikan (danyangan).
e. Buta Yatnya Yaitu korban suci yang diperuntukan kepada semua makhluk yang kelihatan maupun tidak, untuk kemulyaan dunia ini (unggahan).
[Hal ini] bertentangan dengan Firman Allah:
”Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".(QS. Al-Baqoroh[2]:170)
[Lihat juga QS. Al-Maidah[5]:104, Az-Zukhruf [43]:22)
Tujuan dari yang [disebutkan] di atas merupakan usaha untuk meletakkan diri pada keseimbangan dalam hubungan diri pribadi dengan segala ciptaan Tuhan, [serta] untuk membantu kesucian/penghapus dosa.
[Hal ini] bertentangan dengan Firman Allah :
”Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya” (QS. Az-Zumar [39]:2).
Periksa juga surat 18: 110, 39: 65, 16: 36, 7: 59,65,73,85, 4: 116, 6: 88, 17: 39.
2. Tentang Sesajen
“Makiyadi sandyan malingga renbebanten
kesaraban kerahupan dinamet deninhuan keletikaneng rinubebarening………..”
Sesajen tujuannya memberi makan leluhur pada waktu hari tertentu atau dilakukan pada setiap hari. [Dilakukan] untuk memberikan keselamatan kepada yang masih hidup, juga persembahan kepada Tuhan yang telah memberikan sinar suci kepada para Dewa. Karena pemujaan tersebut dianggap mempengaruhi serta mengatur gerak kehidupan, bagi mereka yang masih menginginkan kehidupan [dan] hasil/rezeki di dunia akan mengadakan pemujaan dan persembahan ke hadapan para Dewa. [Hal ini] juga terdapat pada kitab Bagawatgita hal. 7 no. 22, yang artinya “Diberkati dengan kepercayaan itu, dia mencari penyebab apa yang dicita-citakan”.
[Masalah ini] bertentangan dengan Firman Allah :
”Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim."(QS. Yunus [10]:106) Periksa juga surat Ghofir :60.
Sesajen tujuannya memberi makan leluhur pada waktu hari tertentu atau dilakukan pada setiap hari. [Dilakukan] untuk memberikan keselamatan kepada yang masih hidup, juga persembahan kepada Tuhan yang telah memberikan sinar suci kepada para Dewa. Karena pemujaan tersebut dianggap mempengaruhi serta mengatur gerak kehidupan, bagi mereka yang masih menginginkan kehidupan [dan] hasil/rezeki di dunia akan mengadakan pemujaan dan persembahan ke hadapan para Dewa. [Hal ini] juga terdapat pada kitab Bagawatgita hal. 7 no. 22, yang artinya “Diberkati dengan kepercayaan itu, dia mencari penyebab apa yang dicita-citakan”.
[Masalah ini] bertentangan dengan Firman Allah :
”Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian), itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim."(QS. Yunus [10]:106) Periksa juga surat Ghofir :60.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar