Minggu, 04 Januari 2015

CONTOH 10 KEBUDAYAAN DAN HUKUMNYA DALAM AJARAN ISLAM



Guntur Satria Jati
11410058 / PAI F

CONTOH 10 KEBUDAYAAN DAN HUKUMNYA DALAM AJARAN ISLAM
1.      Selamatan kehamilan
Selamatan kehamilan, seperti 3 bulanan atau 7 bulanan, tidak ada dalam ajaran Islam. Itu termasuk perkara baru dalam agama, dan semua perkara baru dalam agama adalah bid’ah, dan semua bid’ah merupakan kesesatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah merupakan kesesatan.” (HR Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi, 2676; Ad Darimi; Ahmad; dan lainnya dari Al ‘Irbadh bin Sariyah)

Kemudian, jika selamatan kehamilan tersebut disertai dengan keyakinan akan membawa keselamatan dan kebaikan, dan sebaliknya jika tidak dilakukan akan menyebabkan bencana atau keburukan, maka keyakinan seperti itu merupakan kemusyrikan. Karena sesungguhnya keselamatan dan bencana itu hanya di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.
Allah berfirman:
قُلْ أَتَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللهِ مَا لاَ يَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلاَ نَفْعًا واللهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَليِمُ
“Katakanlah: “Mengapa kamu menyembah selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudharat kepadamu dan tidak (pula) memberi manfa’at?” Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al Maidah: 76)
Sudah menjadi kebiasaan umumdi tengah-tengah masyarakat adanya kecenderungan membesarbesarkan perkara sunat, atau perkara mubah tapi menelantarkan perkara yang wajib. Kalau menyelenggarakan selamatan berlomba-lomba secara besar-besaran tapi untuk menyumbang pembangunan masjid, mushalla pondok pesantren dan sejenisnya bahkan saling mengundurkan diri. Kita utamakan perkara yang terpenting, baru yang agak penting dantinggalkan perkara yang mubazdir.[1]


2.        Tumpeng Rosulan
Masyarakat Cilacap, Jawa tengah,mereka mempunyai budaya “ Tumpeng Rosulan “, yaitu berupa makanan yang dipersembahkan kepada Rosul Allah dan tumpeng lain yang dipersembahkan kepada Nyai Roro Kidul yang menurut masyarakat setempat merupakan penguasa Lautan selatan ( Samudra Hindia ).Hal tersebut merupakan sebagian contoh kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga umat Islam tidak dibolehkan mengikutinya. Islam melarangnya, karena kebudayaan seperti itu merupakan kebudayaan yang tidak mengarah kepada kemajuan adab, dan persatuan, serta tidak mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia, sebaliknya justru merupakan kebudayaan yang menurunkan derajat kemanusiaan.
Karena mengandung ajaran yang menghambur-hamburkan harta untuk hal-hal yang tidak bermanfaat dan menghinakan manusia yang sudah meninggal dunia.Dalam hal ini al Kamal Ibnu al Himam, salah satu ulama besar madzhab hanafi mengatakan : “ Sesungguhnya nash-nash syareat jauh lebih kuat daripada tradisi masyarakat, karena tradisi masyarakat bisa saja berupa kebatilan yang telah disepakati, seperti apa yang dilakukan sebagian masyarakat kita hari ini, yang mempunyai tradisi meletakkan lilin dan lampu-lampu di kuburan khusus pada malam- malam lebaran.[2]

3.        Nyadran dan rasulan
Satu di antara sekian banyak tradisi yang ada di daerah tanah jawa pada umumnya di daerah gunungkidul khususnya adalah tradisi rasulan atau nyadran atau juga di sebut dengan bersih desa.banyak orang yang menganggap bahwa ritual ini adalah suatu keharusan yang harus mereka lakukan di hari yang sudah mereka tentukan ,hingga mereka peras keringat,banting tulang, menjual apa yang mereka miliki untuk acara tersebut .

Bahkan tidak sedikit mereka rela ngutang ngutang ,ada yang sampe terjadi pertikaian antara suami istri gara gara tidak ada biaya untuk pesta hura hura tersebut.Yang lebih memprihatinkan mereka yang melakukan adalah saudara saudara kita kaum muslimin,untuk acara yang satu ini mereka belum tahu kalau acara itu sebetulnya acara yang bertentangan dengan syariat Islam, bahkan bisa membatalkan keislamannya ,kenapa tidak.Mereka dalam acara acara itu banyak melakukan ritual-ritual yang berasal bari agama hindu, yang ini sudah jelas kesyirikannya .

Mereka mendatangi makam-makam leluhur, wali dan orang soleh yang menurutnya adalah bagian dari tempat mencari berkah. Bahkan kadang sangat berlebihan dan menjadi suatu keharusan dalam melakukannya sehingga orang orang  datang berbondong-bondong mendatangi kuburan ,tempat tempat yang di keramatkan seperti pohon besar, gua gua, telaga, dan anehnya pula mereka membawa makanan tertentu, seperti apem, nasi uduk dengan ingkungnya, bunga bunga yang di takir dengan daun pisang, bahkan yang tidak ketinggalan yaitu dupa atau kemenyan turut mereka bawa.kemudian mereka di tempat tersebut mengadakan doa yang di pimpin mbah kaum atau sesepuh desa, yang di mulai menyebut danyang-danyang atau dedemit yang menunggu desa itu atau tempat itu untuk supaya memeberikan syafaat, kesehatan, ketentraman, keselamatan, panen yang banyak dan sebagainya, sekalipun di sela-sela doa ada yang di ambil dari islam.Namun yang perlu kita ketahui bahwa semuanya itu tidak ada asal usulnya dari islam bahkan semuanya bertentangan dengan ajaran islam yang benar.

Allah berfirman dalam surat Al Maidah ayat 72
Yang artinya:
”Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik , dan akan mengampuni dosa selainnya (yang di bawah syirik) bagi siapa yang di kehendaki”.

Imam Malik meriwayatkan dalam kitab Al Muaththa’ Bahwa rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda:
\
”Ya Allah janganlah Engkau jadikan kuburanku berhala yang di sembah . Allah sangat murka kepada orang orang yang menjadikan kuburan Nabi Nabi mereka sebagai tempat ibadah”.
Di riwayatkan dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘ranhu Rasulullah Shalallahu Alaihi wa sallam bersabda:
”janganlah kamu jadikan rumah rumah kamu sebagai kuburan , dan janganlah kamu jadikan kuburanku sebagai tempat perayaan , tetapi ucapkanlah shalawat untuku karena sesungguhnya ucapan shalawatmu sampai kepadaku di manapun kamu berada”.
( HR Abu Dawud dengan isnat hasan)”

Dengan berdasarkan dalil dalil di atas dapat di ambil kesimpulan:
a)      Rasulullah melarang ziarah kubur dengan cara cara tertentu, yang tidak sesuai dengan islam
b)      Larangan mengadakan acara di kuburan Rasulullah , lebih lebih di kuburan selainnya
c)      Allah murka terhadap orang yang beribadah di kuburan(Doa termasuk ibadah)maka tidak boleh di lakukan di kuburan.[3]

Dan Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Ibnu Mas’ud
Yang artinya:

”Sesungguhnya yang termasuk sejelek jeleknya manusia ialah orang orang yang masih hidup ketika terjadi kiamat dan orang orang yang menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah”.

Jelaslah dalam hadits di atas bahwa melakukan ibadah apapun di kuburan hukumnya adalah haram.Dan masih banyak lagi acara acara yang sangat sangat bertentangan dengan islam diantanya, pentas wayang kulit yang di yakini bisa mendatangkan keberkahan, pentas Reog, Jatilan yang mengundang demit atau syaiton . Dan anehnya biaya untuk itu tidak sedikit bahkan jika  ada yang tidak mau membayar di ancam akan di kucilkan di masyarakat terkadang kata kata seperti ini keluar dari orang orang yang punya kedudukan di daerah itu , padahal tidak ada undang undang yang mengatur hal itu.

Umat Islam di negeri ini mempunyai tradisi yang bermacam-macam. Selain berbagai peringatan hari-hari besar Islam, mereka juga masih mempunyai tradisi yang sudah ada sejak dulu. Ritual yang sudah ada sebelum Islam masuk ke Indonesia.yaitu sebagai mana telah kita sampaikan di atas yaitu Nyadran. Ritual ini biasanya dilakukan oleh kebanyakan masyarakat jawa menjelang Ramadan atau di luar bulan itu. Meskipun bentuk acara dan waktu yang tidak sama, namun semua dilaksanakan menjelang berakhirnya bulan Sya’ban atau orang Jawa menyebutnya dengan istilah ruwahan

Di saat-saat seperti ini juga di berbagai daerah di Jawa banyak di jumpai ritual sadranan atau nyadran atau Rasulan, atau juga bersih desa. Tradisi ini mengandung makna dan nuansa religius dan magis yang senantiasa mewarnai ritual-ritual itu. Biasanya, tempat-tempat yang dituju dalam kegiatan nyadran ini, adalah makam para leluhur, tokoh-tokoh besar, alim ulama serta para tokoh yang banyak berjasa bagi daerah dan syiar agama pada masa lampau.[4]

4.        Tahlilan
Dalam bahasa Arab, Tahlil berarti menyebut kalimah “syahadah” yaitu “La ilaha illa Allah” (لااله الا الله). Dalam konteks Indonesia, tahlil menjadi sebuah istilah untuk menyebut suatu rangkaian kegiatan doa yang diselenggarakan dalam rangka mendoakan keluarga yang sudah meninggal dunia. 
Telah kita maklumi bersama bahwa acara tahlilan merupakan upacara ritual seremonial yang biasa dilakukan oleh keumuman masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kematian. Secara bersama-sama, berkumpul sanak keluarga, handai taulan, beserta masyarakat sekitarnya, membaca beberapa ayat Al Quran, dzikir-dzikir, dan disertai doa-doa tertentu untuk dikirimkan kepada si mayit. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (ratusan kali bahkan ada yang sampai ribuan kali), maka acara tersebut dikenal dengan istilah "Tahlilan".

Acara ini biasanya diselenggarakan setelah selesai proses penguburan (terkadang dilakukan sebelum penguburan mayit), kemudian terus berlangsung setiap hari sampai hari ketujuh. Lalu diselenggarakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100. Untuk selanjutnya acara tersebut diadakan tiap tahun dari hari kematian si mayit, walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Quran dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah subhanahu wataala telah berfirman (artinya):
"Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya." (An Nisaa: 59)
Kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam, di masa para sahabatnya dan para Tabiin maupun Tabiut tabiin. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafii, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendoakan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan doa-doa ala agama lain dengan bacaan dari Al Quran, maupun dzikir-dzikir dan doa-doa ala Islam menurut mereka.
Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.Memang benar Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Quran, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Quran, dzikir-dzikir, dan doa-doa diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarkan.
Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wataala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wataala berfirman (artinya):
"Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian." (Al Maidah: 3)
Juga Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam bersabda:
مَا بَقِيَ شَيْءٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ
"Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya." (H.R Ath Thabrani)
Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalAllahu alaihi wasallam.[5]

5.        Peringatan Ulang Tahun (Bancaan Tiron)
Masyarakat Jawa, sejak zaman sebelum kedatangan Islam yang didakwahkan oleh para wali memiliki budaya bancaan/selamatan. Bancaan yang mereka laksanakan di samping pada acara tingkepan sebagaimana yang disebutkan dalam bab yang telah lalu ada lagi bancaan-bancaan yang lain, di antaranya :
a.  Bancakan pada saat bayi baru lahir, disebut brokohan.
b.  Bancakan pada saat bayi lepas pusernya, disebut pupak puser.
c.   Bancakan pada saat bayi berusia 35 hari, disebut selapan bayi.
d.  Bancakan pada saat bayi berusia 90 hari, disebut telung wulane bayi.
e.  Bancakan pada saat bayi berusia 210 hari, disebut pitung wulane bayi.
f.   Bancakan pada saat bayi berusia 13 bulan, disebut pendak tahun.

Ada juga orang tua yang mengadakan bancakan dalam acara hari ulang anaknya. Mereka menyebutnya “bancaan tiron”. Sebagian warga kita ada yang ikut-ikutan mengadakan peringatan ulang tahun dengan acara dan upacara yang dikemas secara khusus untuk kegiatan itu.
Kaum Ahlussunnah Wal Jamaah memandang tradisi semacam ini dengan sikap proporsional, yaitu dengan pendirian bahwa di dalam selamatan itu ada unsur-unsur kebaikan, di antaranya: menyampaikan tahni’ah/ucapan selamat kepada sesama muslim, mempererat kerukunan antara keluarga dan tetangga, menjadi sarana sedekah dan bersyukur kepada Allah, serta mendo’akan si anak semoga menjadi anak yang shalih dan shalihah. Ini semua tidak ada yang bertentangan dengan syari’at Islam.
Maka jika ditanyakan, apakah ada dalil syara’ mengenai peringatan ulang tahun kelahiran? Jawabnya ada, yaitu dalil qiyas, yakni mengqiyaskan masalah ini dengan perilaku sahabat nabi. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa sewaktu sahabat Ka’ab bin Malik menerima kabar gembira dari nabi saw. Mengenai penerimaan taubatnya, maka sahabat Thalhah bin Ubaidillah menyampaikan kepadanya ucapan selamat (tahni’ah).

Berdasarkan riwayat tersebut, maka hukum peringatan ulang tahun adalah mubah, bahkan sebagian ulama mengatakan sunnah hukumnya, namun dengan catatan : selama tidak ada hal-hal yang munkar di dalamnya. Misalnya : menyalakan lilin, memasang gambar patung (walaupun berukuran kecil) di tengah-tengah kue yang dihidangkan atau alatul malahi (alat permainan musik) yang diharamkan. Karena hal tersebut termasuk syi’ar orang-orang non muslim atau syi’ar orang fasik.

Dasar pengambilan hukum seperti tersebut di atas adalah keterangan dari kitab “al-iqna’” juz I hal. 162 :

قَالَ الْقَمُوْلِيْ: لَمْ أَرَ لأَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِنَا كَلاَمًا فِي التَّهْنِئَةِ بِالْعِيْدِ وَاْلأَعْوَامِ وَاْلأَشْهُرِ كَمَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ، لَكِنْ نَقَلَ الْحَافِظُ الْمُنْذِرِيُّ عَنِ الْحَافِظِ الْمُقَدَّسِيِّ أَنَّهُ أَجَابَ عَنْ ذَلِكَ بِأَنَّ النَّاسَ لَمْ يَزَالُوْا مُخْتَلِفِيْنَ فِيْهِ وَالَّذِيْ أَرَاهُ أَنَّهُ مُبَاحٌ لاَ سُنَّةٌ فِيْهِ وَلاَ بِدْعَةٌ وَأَجَابَ الشِّهَابُ ابْنُ حَجَرٍ بَعْدَ اطِّلاَعِهِ عَلَى ذَلِكَ بِأَنَّهَا مَشْرُوْعَةٌ وَاحْتَجَّ لَهُ بِأَنَّ الْبَيْهَقِيَّ عَقَّدَ لِذَلِكَ بَابًا فَقَالَ: بَابُ مَا رُوِيَ فِيْ قَوْلِ النَّاسِ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ فِي الْعِيْدِ تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ، وَسَاقَ مَا ذُكِرَ مِنْ أَخْبَارٍ وَآثَارٍ ضَعِيْفَةٍ لَكِنْ مَجْمُوْعُهَا يُحْتَجُّ بِهِ فِيْ مِثْلِ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ وَيُحْتَجُّ لِعُمُوْمِ التَّهْنِئَةِ بِمَا يَحْدُثُ مِنْ نِعْمَةٍ أَوْ يَنْدَفِعُ مِنْ نِقْمَةٍ بِمَشْرُوْعِيَّةِ سُجُوْدِ الشُّكْرِ وَالتَّعْزِيَةِ وَبِمَا فِي الصَّحِيْحَيْنِ عَنْ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ فِيْ قِصَّةِ تَوْبَتِهِ لَمَّا تَخَلَّفَ عَنْ غَزْوَةِ تَبُوْكَ أَنَّهُ لَمَّا بُشِّرُ بِقَبُوْلِ تَوْبَتِهِ وَمَضَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ إِلَيْهِ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ فَهَنَّأَهُ.


Artinya :
“Imam Qommuli berkata : kami belum mengetahui pembicaraan dari salah seorang ulama kita tentang ucapan selamat hari raya, selamat ulang tahun tertentu atau bulan tertentu, sebagaimana yang dilakukan oleh banyak orang, akan tetapi al-hafidz al-Mundziri memberi jawaban tentang masalah tersebut : memang selama ini para ulama berselisih pendapat, menurut pendapat kami, tahni’ah itu mubah, tidak sunnah dan tidak bid’ah, Imam Ibnu Hajar setelah mentelaah masalah itu mengatakan bahwa tahni’ah itu disyari’atkan, dalilnya yaitu bahwa Imam Baihaqi membuat satu bab tersendiri untuk hal itu dan dia berkata : “Maa ruwiya fii qaulin nas” dan seterusnya, kemudian meriwayatkan bebrapa hadits dan atsar yang dla’if-dla’if. Namun secara kolektif riwayat tersebut bisa digunakan dalil tentang tahni’ah. Secara umum, dalil dalil tahni’ahbisa diambil dari adanya anjuran sujud syukur dan ucapan yang isinya menghibur sehubungan dengan kedatangan suatu mikmat atau terhindar dari suatu mala petaka, dan juga dari hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa sahabat Ka’ab bin Malik sewaktu ketinggalan/tidak mengikuti perang Tabuk dia bertaubat, ketika menerima kabar gembira bahwa taubatnya diterima, dia menghadap kepada Nabi SAW. maka sahabat Thalhah bin Ubaidillah berdiri untuk menyampaikan ucapan selamat kepadanya”.[6]

6.        Kelahiran Bayi
Apabila seorang bayi lahir ditengah-tengah keluarga, hendaklah ia disambut dengan penuh suka cita dan rasa syukur kepada Allah swt, sebagai anugerah-Nya yang tak terhingga.
Anak merupakan permata dan harta termahal bagi kedua orang tua sekaligus bukti kasih sayang Allah swt kepada mereka. Di sisi lain, anak juga merupakan amanah dan ujian Allah swt kepada kedua orangtuanya. Sehingga kelak di kemudian hari, Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka.

Islam sebagai pedoman hidup yang sempurna telah memberikan petunjuk-petunjuk praktis menyangkut seorang anak yang baru dilahirkan ke alam dunia yang fana ini. Petunjuk-petunjuk tersebut dimaksudkan sebagai wujud ungkapan rasa syukur orang tua sekaligus  mengandung harapan dan kebaikan bagi anak yang baru dilahirkan.
Perkara-perkara yang diperintahkan agar kita lakukan adalah sebagai berikut:
a)      Bersihkanlah mulut si bayi, kemudian usapkanlah dengan kurma, madu atau sesamanyapada langit-langit mulutnya dengan disertai do’a agar si bayi mendapat barakah Allah sw. Hal ini didasarkan kepada Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Musa, sebagai berikut:

وُلِدَ لِي غُلَامٌ فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ فَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ وَدَعَا لَهُ بِالْبَرَكَةِ

Anakku telah lahir, maka aku bawa kepada Nabi saw. Maka beliau member nama kepadanya dengan nama Ibrahim, lalu diusap langit-langit mulutnya dengan kurma dan dido’akan dengan barakah. (HR. Bukhari dari Abu Musa r.a.) 


b)      Mohonkanlah perlindungan kepada Allah swt dengan kalimat seperti berikut ini atau sesamanya:
  أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ

“Aku berlindung dengan firman-firman Allah yang sempurna dari seluruh syetan, segala macam gangguan dan penggoda yang jahat.





Perbuatan di atas di dasarkan kepada Hadits Nabi berikut ini:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَوِّذُ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ وَيَقُولُ إِنَّ أَبَاكُمَا كَانَ يُعَوِّذُ بِهَا إِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ
“Adalah Rasulullah saw memohon perlindungan bagi Hasan dan Husen (cucu beliau) dan bersabda: Sesungguhnya Nabi Ibrahim memohonkan perlindungan bagi Isma’il dan Ishaq sebagai berikut: A’udzu bikalimatillahit taam mati……… dst. (HR. Bukhari dari Ibnu Abbas).

Sebagian Ulama’ menganjurkan agar anak yang baru lahir dikumandangkan adzan pada telinga kanannya dan iqamat pada telinga kirinya. Hal ini didasarkan pada Hadits yang diriwayatkan oleh beberapa ulama’ Hadits seperti Imam Ahmad, Abu Dawud, dan lain-lain. Tetapi, sebagaimana dikemukakan Imam Suyuthi, Hadits mengenai hal ini lemah sehingga tidak dapat dijadikan landasan amal.

c)       Hendaklah pada hari kelahirannya atau pada hari yang ketujuh bayi tersebut diberi nama yang bagus yang mengandung perlambang dan harapan yang mulia.
Hal ini didasarkan pada tuntunan Nabi sebagai berikut:

إِنَّكُمْ تُدْعَوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِأَسْمَائِكُمْ وَأَسْمَاءِ آبَائِكُمْ فَأَحْسِنُوا أَسْمَاءَكُمْ

Kalian akan dipanggil kelak di hari Kiamat dengan nama-nama kalian dan nama-nama orang tua kalian” (HR.  Abu Dawud, dan lain-lain.)


Juga disebutkan dalam Hadits lain, belilau bersabda:
وُلِدَ لِي اللَّيْلَةَ غُلَامٌ فَسَمَّيْتُهُ بِاسْمِ أَبِي إِبْرَاهِيمَ

“Semalam telah lahir anakku laki-laki,lalu  aku beri nama dia dengan nama kakekku, Ibrahim. (HR. Muslim dari Anas)


Juga disebutkan dalam Hadits lain, beliau bersabda:

الْغُلَامُ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ يُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُسَمَّى وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ

Setiap anak tergadaikan oleh aqiqahnya yang disembelih sebagai tebusan pada hari ketujuh dan diberi nama sekaligus (hari ketujuh) serta dicukur kepalanya. (HR. Bukhari, Muslim, dan lain-lain).

d)     Hendaklah pada hari ketujuh itu pula rambut si anak dicukur.
Tuntunan ini didasarkan pada petunjuk   Rasulullah saw. sebagaimana tercantum dalam Hadits di atas.

e)      Hendaklah pada hari ketujuh itu pula dilakukan aqiqah, yaitu menyembelih dua ekor kambing bagi anak laki-laki dan satu ekor kambing bagi anak perempuan.
Tuntunan ini didasarkan pada petunjuk Rasulullah saw sebagaimana tercantum dalam Hadits di atas dan tedapat pada Hadits berikut ini:

عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ

“Aqiqah bagi anak laki-laki dua ekor kambing yang sepadan dan bagi anak perempuan satu ekor. (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Sebagian Ulama’ berpendapat bahwa aqiqah dapat dilakukan pada hari ke empat belas atau kedua puluh satu, berdasarkan Hadits riwayat Al-Baihaqi. Bahkan dapat pula dilakukan setelah anak menjadi dewasa berdasarkan Hadits riwayat Baihaqi pula yang menyatakan bahwa Nabi saw pernah menyembelih aqiqah untuk dirinya sendiri. Tetapi, setelah  dilakukan penelitian, kedua Hadits tersebut dla’if (lemah). Pada Hadits yang pertama terdapat seorang perawi bernama Ismail bin Muslim al-Makky sedang pada Hadits kedua terdapat perawi bernama Abdullah bin al-Muharrar. Kedua perawi tersebut dilemahkan oleh beberapa ahli Hadits. Dengan demikian, pendapat di atas tidak memiliki landasan kuat untuk diikuti.

       Berkaitan dengan kelahiran anak, selain perkara-perkara di atas, di kalangan masyarakat muslim dikenal bermacam-macam tradisi yang dilakukan secara turun temurun. Sepanjang tradisi-tradisi tersebut tidak bermuatan kepercayaan-kepercayaan tertentu atau bersifat ubudiyah (upacara ritual) ia boleh dilakukan karena termasuk urusan duniawiyah. Namun bila bermuatan kepercayaan dan bersifat ubudiyah ia dapa dikatagorikan sebagai perbuatan syirik dan bid’ah.
Beberapa  tradisi yang termasuk dilarang, misalnya:
a)      Nylameti (Selamatan) Sedulur Papat Kalimo Pancer.
Tradisi ini didasari kepercayaan bahwa setiap bayi memiliki empat saudara yakni: kawah, plasenta, darah yang terpancar ketika melahirkan dan pusat. Keempatnya mempunyai sesuatu daya ghaib sebangsa ruh atau kekuatan ghaib yang menolong atau mencelakakan sang bayi. Karenanya, agar mereka tidak member laknat (malati) keempatnya perlu disediakan sesaji dengan upacara tertentu yang dilakukan secara periodik sejak bayi dilahirkan hingga meninggal dunia.

b)      Upacara Sepasaran dan Puput Puser
Diadakan setelah bayi berumur 5 hari dengan cara melakukan selamatan nasi tumpeng, janganan, jenang merah putih, jenang baro-baro, dan jajan pasar lengkap. Jika sisa usus bayi yang melekat di pusar telah mengering dan kemudian terlepas, dinamakanlah puput puser (putuslah pusat). Maka diadakanlah upacara yang dinamakan puput puser.   Upacara dilakukan dengan berbagai macam ramuan dan bentuk-bentk laku yang tak lepas dari unsure-unsur kepercayaan tertentu. Kadang-kadang dibacakan pula Kitab Berjanzi danmarhabanan.

c)              Upacara Selapanan Mandap Siti.
Dilakukan setelah bayi berusia 35 hari dengan dilakukan upacara selamatan seperti pada waktu selapanan, tetapi ditambah dengan membuat sesaji yang diletakkan di bawah tempat tidur bayi. Macam-macam yang diperbuat dalam upacara ini mengandung takhayul dan kepercayaan-kepercayaan yang tak masuk akal, yang bila tidak dilakukan akan berakibat buruk pada bayi.[7]




7.        Barzanji
Pada waktu-waktu tertentu dimasyarakat pada umumnya kita sering membacakan kitab Al Barzanji. Di Indonesia, kita biasa menyebutnya “kitab Barzanji” atau “syair Barzanji”. Di berbagai belahan Dunia Islam, syair Barzanji lazimnya dibacakan dalam kesempatan memperingati hari kelahiran (maulid) Sang Nabi. Dengan mengingat-ingat riwayat Sang Nabi, seraya memanjatkan shalawat serta salam untuknya, orang berharap mendapat berkah keselamatan, kesejahteraan, dan ketenteraman. Sudah lazim pula, tak terkecuali di negeri kita, syair Barzanji didendangkan biasanya, di kala menyambut bayi yang baru lahir dan mencukur rambutnya. Karena itu adalah sebuah tradisi yang sering dilakukan dari dahulu.

Al Barzanji erat kaitannya dengan Perayaan Maulid yang ada pada masyarakat pada umumnya. Perayaan Maulid pada mulanya dirintis oleh Shalahuddin Al-Ayyubi. Yang sebenarnya Maulid tersebut berperan menghidupkan kembali Maulid yang pernah ada pada masa Dinasti Fatimiyah. Tujuannya, membangkitkan semangat jihad (perjuangan) dan ittihad (persatuan) tentara Islam melawan crusaders (Pasukan Salib) yang saat itu memang memerlukan keteguhan dan keteladanan. Dari itulah muncul anggapan, Shalahuddin adalah penggagas dan peletak dasar peringatan Maulid Nabi.

Adapun historisitas Al Barzanji berawal dari lomba menulis riwayat dan puji-pujian kepada Nabi yang diselenggarakan Shalahuddin pada 580 H/1184 M. Dalam kompetisi itu, karya indah Syekh Ja`far al-Barzanji tampil sebagai yang terbaik. Sejak itulah Kitab Al-Barzanji mulai disosialisasikan pembacaanya  ke seluruh penjuru dunia oleh salah seorang gubernur Salahudin yakni Abu Sa`id al-Kokburi, Gubernur Irbil, Irak
Di Indonesia, tradisi Berzanji bukan hal baru, terlebih di kalangan Nahdliyyin(sebutan untuk warga NU). Berzanji tidak hanya dilakukan pada peringatan Maulid Nabi, namun kerap diselenggarakan pula pada tiap malam Jumat, pada upacara kelahiran,akikah dan potong rambut, pernikahan, syukuran, dan upacara lainnya. Bahkan, pada sebagian besar pesantren, Berjanjen telah menjadi kurikulum wajib.
Mengenai hal ini erat kaitannya pula dengan pro-kontra Al Barjanji? Pihak yang pro menganggap pembacaan Al Barzanji adalah refleksi kecintaan umat terhadap figur  Nabi, pemimpin agamanya sekaligus untuk senantiasa mengingatkan kita supaya meneladani sifat-sifat luhur Nabi Muhammad SAW. Kecintaan pada  Nabi berarti juga kecintaan, ketaatan  kepada Allah. Adapun pihak kontra memandang Barjanji hanyalah karya sastra yang walau mungkin mengambil inspirasi dari 2 sumber hukum haq Islam yakni Al Qur’an dan hadist.
Wajarlah bila kemudian pihak kontra menghukumi pembacaan Barjanji juga bacaan sejenis lainya semisal Diba', Burdah, Simthuddurar itu  Bid’ah atau mengada-ada dalam ibadah yang justru sangat jelas dilarang agama. Sebuah hadist Nabi riwayat Bukhari Muslim menyatakan, 
”Barangsiapa menimbulkan sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kita yang bukan dari ajarannya maka tertolak.” (HR. Bukhari). 
Berdasarkan kemanfaatan maka Al barzanji itu boleh dilakukan walaupun termasuk bid’ah ( bid’ah hasanah ) Nabi saw memperbolehkan berbuat Bid'ah hasanah. Nabi saw memperbolehkan kita melakukan Bid'ah hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syariah, sebagaimana sabda beliau saw : 
"Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya"(Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi).

Dan keterangan lain dari ulama :

a)      Al Hafidh Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris Assyafii rahimahullah (Imam Syafii)

Berkata Imam Syafii bahwa Bid'ah terbagi dua, yaitu Bid'ah mahmudah (terpuji) dan Bid'ah madzmumah (tercela),  maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih : "inilah sebaik baik Bid'ah". (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)

b)      Al Imam Al Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah

"Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yang berbunyi : "seburuk buruk permasalahan adalah hal yang baru, dan semua Bid'ah adalah dhalalah" (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal hal yang tidak sejalan dengan Alqur an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan Sahabat radhiyallahu  anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya : "Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya" (Shahih Muslim hadits no.1017) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai Bid'ah yang baik dan Bid'ah yang sesat". (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)

Itulah dasar hukum yang bisa dipegang berkaitan Al Barzanji Yang telah dilakukan dari dulu sampai sekarang dari Para Ulama dan para Muhaddist terdahulu,  Maka bila muncul pemahaman di akhir zaman yang bertentangan dengan pemahaman para Muhaddits maka mestilah kita berhati hati darimanakah ilmu mereka, berdasarkan apa pemahaman mereka, atau seorang yang disebut imam padahal ia tak mencapai derajat hafidh atau muhaddits, atau hanya ucapan orang yang tak punya sanad, hanya menukil menukil hadits dan mentakwilkan semaunya tanpa memperdulikan fatwa-fatwa para Imam.[8]

8.      Khitan
Dalam kitab- kitab fikih disebutkan bahwa Khitanartinya adalah ﻗﻄﻊ ﺍﻟﻗﻟﻔﺔ ﺍﻮ ﺍﻟﺠﻟﺪﺓ (ﻟﻟﺠﺭﻴﺔ) Pengertian khitan maksudnyamemotong kulit penutup KHASYAFAH (GLANDS PENIS) bagi anak lelaki atau kulit (PREPUCE) yang ada diatas CLITORIS bagi anak wanita.Praktek ini sering disebut juga dengan istilahCIRCUMSISI, mengambil istilah dari suatu nama sekte Nashrani yang taat melakukan ajaran bersunat seperti apa yang dilakukan olehYesus sendiri dan para murid- muridnya serta dilakukan juga oleh para penganut Yahudi, sebagai warisan MillahIbrohiim.
Nabi Ibrohim menerimawahyu Allah untuk berkhitan tatkala beliau telah berumur 80 tahun, dan dilakukan dengan menggunakan kapak (Qodum), sesuai hadist Nabi dalam Asshohihain:
ﺇﺨﺘﺘﻥ ﺇﺑﺮﺍﻫﻴﻡ ﻮﻫﻭ ﺍﺑﻥ ﺛﻤﺎﻨﻴﻦ ﺴﻨﺔ ﺑﺎﻟﻗﺪﻭﻡ 
Dalam satu pendapat yang lain, Qodum adalah nama suatu tempat di negeri Syam. (Ibnu Hajar Al- Asqolani: Fatkhul Baari 10/ 386)
Ø  Hukum dan Tujuan Khitan
Adapun dalil dan dasar- dasar  hukum yang berkenaan dengan masalah khitan adalah:
a.       Firman Allah: “Kemudian akuwahyukan kepadamu (Muhammad), agar mengikuti agama Ibrahim yang hanif (condong/ berpihak kepada kebenaran). An- Nahl 123. Beberapa ayat yang senada juga dapat ditemukan dalam bagian lain Surah Al- Qur’an.
Rasulullah menyatakan:
”Dasar kesucian (FITRAH) itu ada lima, yaitu: 1- Khitan,2- Mencukur bulu kemaluan, 3-Mencukur bulu ketiak, 4- Mencukur kumis, dan5- Memotong kuku- kuku”.H.R. Bukhori dan Muslim.
 Hadist ini adalah sumber yangpaling shohih tentang masalah khitanini dan bersifat umum, artinya berlaku baik untuklaki- laki dan perempuan.Dalam hal ini Fitrah identik dengan Sunnah atau Ad- Dienyang  bersesuaian dengan ajaran islam, karena itu khitan dalam khazanah bahasa Indonesiasering juga disebut sunnatan.
Rasulullah bersabda: “Allah tidak menerima sholat kalian bila tidak suci”.
Tanpa berkhitan, selalu ada sisa- sisa air seni/ najis yang tertinggal dibawah Qulf. Maka agar sholat kita diterima Allah, kita harus berkhitan sebagai usaha agar kesucian terjamin. Sesuai Qo’idah USHUL FIQH yang menyatakan:
 ﻤﺎ ﻻ ﻴﺘﻡ ﺍﻠﻮﺍﺠﺐ ﺍﻻ ﺑﻪ ﻔﻬﻭ ﻮﺍﺠﺐ 
“Sesuatu yang (menyebabkan) sebuah kewajiban tak mungkin bisa dilakukan dengan sempurna, maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib”.
Maka hukum khitan bagi lelaki yang berdasar hadist diatas yang pada asalnya sunnah, menjadi wajib karena sebagai sarana kesucian untuk melaksanakan sebuah kewajiban.Hukum khitan bagi laki- laki adalah WAJIB, ini disepakati olehJumhur Ulama’, sedang bagi wanita diperselisihkan diantara para Ulama, yakni antara Wajib dan Sunnah.

9.      Adzan dan Iqamah Bagi Bayi Yang Baru Lahir
Adzan dan iqamah adalah kalimat dakwah yang sempurna, pula yang keberadaannya merupakan salah satu tonggak awal berdirinya ajaran Islam.  Lantunan adzan secara hukum syar’i  tidak hanya dikumandangkan pada saat akan melaksanakan ibadah shalat saja, namun boleh dilakukan kapan saja, termasuk ketika sang bayi baru lahir dari rahim ibunya.
Para ulama’ sepakat bahwa sunnah hukumnya mengumandangkan adzan dan iqamah ketika bayi baru lahir. Kesunnahan ini dapat diketahui dari sebuah hadits berikut:
Dari Ubaidah r.a. dari ayahnya, ia berkata, “Aku melihat Rasulullah saw. mengumandangkan adzan di telinga Husain bin Ali r.a. ketika Fatimah melahirkannya” (HR. Abu Daud).

Selain hadits di atas, anjuran disunnahkannya adzan dan iqamah pada sang bayi beralasan bahwa sebelum mendengarkan ucapan atau suara lain dari luar, alangkah baiknya sang bayi terlebih dahulu mendengarkan kalimat tauhid untuk mengingatkan janji yang telah diikrarkan oleh sang bayi ketika berusia 4 bulan di dalam kandungan di hadapan Allah. Firman Allah:
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari tulang sulbi mereka, dan Allah mengambil janji terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku (Allah) ini Tuhan kalian?” Mereka menjawab, “Benar (Engkaulah Tuhan kami), kami menjadi saksi” (QS. Al-A’raf: 172)

Selain itu, suara adzan juga berfaedah untuk mendidik aqidah dan kepercayaan yang benar dan merupakan awal dari serangkaian proses pendidikan selanjutnya. Hanya dengan aqidah yang benar sajalah seseorang dapat mengarungi hidup secara sempurna melalui tauhid yang benar demi kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Pelaksanaan adzan dan iqamah dilakukan pada saat sang bayi sudah dibersihkan dari cairan dan kotoran lainnya. Lantunan adzan dikumandangkan di telinga bayi sebelah kanan, sedangkan iqamah dilantunkan di telinga bayi sebelah kiri. Hal ini berfungsi agar kedua telinga sang bayi terbentengi oleh suara kalimat tauhid. Ditambah kalimat “Qad qaamatis shalah” pada saat iqamah yang mengisyaratkan bahwa terdapat penegasan tentang penghambaan diri manusia kepada Allah dan sebagai sarana berkomunikasi antara manusia dengan Allah melalui penegakan shalat.Dengan demikian, pelantunan adzan dan iqamah bertujuan tidak lain sebagai sarana doa serta seruan kepada bayi agar senantiasa beriman dan bertaqwa kepada Allah swt.
10.  Kenduri Arwah
 Sebaik-baik perkataan adalah Kalamullah (Al-Qur’an), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam (As-Sunnah Ash-Shahiihah), dan sebaik-baik pemahaman atas dua hal tersebut adalah pemahaman para shahabat Rasulullah radliyallaahu ‘anhum ajm’ain (atsar as-salafush-shalih). Dan untuk menjawab pertanyaan Saudara, maka kami akan mengembalikannya kepada 3 (tiga) hal tersebut.
Allah ta’ala telah berfirman :
يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian semua, dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian semua…..” (QS. Al-Baqarah : 185).

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :
إن الدين يسر ولن يشاد الدين أحد إلا غلبه فسددوا وقاربوا……..
“Sesungguhnya agama itu mudah. Orang yang bersikap berlebih-lebihan dalam beragama pasti akan kalah. Beramallah yang benar ! Beramallah yang paling dekat dengan pengamalan syari’at…” (HR. Bukhari nombor 39 – penomboran dari maktabah sahab : 39 dan 6098; dan Muslim nombor 2816).

Ayat dan hadits di atas memberikan kefahaman bagi kita semua bahawa agama Islam ini adalah agama yang mudah. Mudah untuk difahami dan mudah untuk diamalkan. Seorang muslim hanya dibebani untuk mengerjakan apa-apa yang dicontohkan dan meninggalkan apa-apa yang dilarang atau tidak ada contohnya (dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam). Itulah salah satu sisi kemudahan yang sangat besar bagi umat Islam. Mereka sekali-kali tidak dibebani untuk membuat-buat syari’at yang akhirnya justeru memberatkan mereka.Kembali kepada inti pertanyaan saudara, maka ada beberapa riwayat shahih mengenai hal ini.
Dari Jarir bin ‘Abdillah Al-Bajaly radliyallaahu ‘anhu, dia berkata :
كنا نرى الاجتماع إلى أهل الميت وصنعة الطعام من النياحة
“Kami (para shahabat) menganggap berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayat, serta penghidangan makanan oleh mereka (kepada para tetamu) merupakan sebahagian daripada niyahah (meratapi mayat)” (HR. Ahmad nombor 6905 dan Ibnu Majah nombor 1612).

Dari Thalhah radliyallaahu ‘anhu, dia berkata :
قدم جرير على عمر فقال : هل يناح قبلكم على الميت. قال : لا. قال : فهل تجتمع النسآء عنكم على الميت ويطعم. قال : نعم. فقال : تلك النياحة.
“Jarir mendatangi ‘Umar, kemudian ‘Umar berkata : “Apakah kamu sekalian suka meratapi mayat ?”. Jarir menjawab : “Tidak”. ‘Umar berkata : “Apakah diantara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayat dan memakan hidangannya ?”. Jarir menjawab : “Ya”. ‘Umar berkata : “Hal itu sama dengan niyahah (meratapi mayat)”. (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/487).

Dari Sa’id bin Jubair radliyallaahu ‘anhu, dia berkata :
من عمل الجاهلية : النياحة والطعام على الميت وبيتوتة المرأة ثم أهل الميت لبست منهم
“Merupakan perkara Jahiliyyah : An-Niyahah, hidangan keluarga mayat, dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayat” (HR. Abdurrazzaq 3/550 dan Ibnu Abi Syaibah dengan lafadh yang berbeza). Ketiga riwayat tersebut saling menguatkan.


Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
اثنتان في الناس هما بهم كفر الطعن في النسب والنياحة على الميت
“Dua perkara yang dapat membuat manusia kufur : Mencela keturunan dan meratapi mayat (an-niyahah)”. (HR. Muslim nombor 67)

Para ulama mu’tabar telah sepakat membenci perbuatan ini (yaitu berkumpul-kumpul di tempat mayat dan makan makanan di dalamnya). Kami akan menyebutkan beberapa di antara banyak perkataan ulama mengenai hal ini.
1. Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i berkata :
وإما إصلاح أهل الميت طعاما ويجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شيء غير مستحبة وهو بدعة.
“Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayat berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan yang tidak disukai. (Jelasnya) perbuatan tersebut termasuk bid’ah” (Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab 5/186 Daarul-Fikr, Beirut, 1417).

2. Imam Ibnu Hajar Al-Haitami Asy-Syafi’i berkata :
وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة مكروهة لما صح عن جرير بن عبد الله
“Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari penghidangan makanan oleh keluarga mayat dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah munkarah (terlarang) lagi dibenci, berdasarkan keterangan shahih dari Jarir bin ‘Abdillah” (Tuhfatul-Muhtaj 1/577, Daarul-Fikr, tanpa tahun).

3. Imam Ibnu ‘Abidin Al-Hanafy berkata :
ويكره اتخاذ الضيافة من الطعام و من أهل الميت لأنه شرع في السرور لا في الشرور وهي بدعة مستقبحة.
“Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayet, kerana hidangan hanya pantas disajikan dalam waktu bahagia, bukan dalam waktu-waktu musibah. Dan hal itu merupakan bid’ah yang buruk bila dilaksanakan” (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin 2/240, Daarul-Fikr, 1386).

4. Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki berkata :
وأما جمع الناس على طعام ببيت الميت فبدعة مكروهة
“Adapun berkumpul di dalam keluarga mayat yang menghidangkan makanan, hukumnya bid’ah makruhah (dibenci)” (Hasyiyah Ad-Dasuqi ‘alasy-Syarhil-Kabiir 1/419, Darul-Fikr, Beirut, Tanpa Tahun).

5. Syaikh An-Nawawi Al-Bantani (tokoh Indonesia yang hidup dan meninggal di Makkah dimana kitab-kitabnya banyak ditelaah di NU di Indonesia) berkata :
أما الطعام الذي ويتجمع عليه الناس ليلة دفن الميت – المسمى بالوحشة – فهو مكروه ما لم يكن من مال الأيتام وإلا فيحرم.
“Adapun menghidangkan makanan yang ditujukan bagi orang-orang yang berkumpul di malam penguburan mayit – yang biasa disebut al-wahsyah – adalah dibenci, bahkan diharamkan (dengan sangat) apabila biayanya diambil daripada harta-harta anak yatim” (Nihayatuz-Zain fii Irsyadil-Mubtadi’in halaman 281, Daarul-Fikr, Beirut, Tanpa Tahun).

Dari hadits, atsar, dan penjelasan ulama di atas telah jelas bagi kita bahwa berkumpul dan makan makanan di tempat ahli mayit bukanlah perkara yang disunnah. Bahkan itu bid’ah yang sangat dibenci. Semua ulama mu’tabar yang dalam keilmuannya telah menyepakati hal ini, kecuali sedikit di antara orang-orang awam yang pendapat mereka diabaikan. Bahkan yang menjadi sunnah (sebagaimana yang dijelaskan oleh ikatan ulama NU Tasikmalaya di atas) adalah kita – para tetangga ahli mayat – yang membuatkan makanan serta mengirimkannya kepada ahli mayat yang sedang ditimpa kesusahan.
Dasarnya adalah perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada para shahabatnya ketika Ja’far bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu gugur di medan jihad :
اصنعوا لآل جعفر طعاما فإنه قد أتاهم أمر شغلهم
“Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far. Sesungguhnya mereka tengah ditimpa musibah yang menyibukkan mereka” (HR. Abu Dawud nombor 3132, At-Tirmidzi nombor 998, Ibnu Majah nombor 1610, dan lain-lain; shahih lighairihi).

Kesimpulan : Berkumpul dan makan makanan di keluarga mayit adalah perbuatan yang tidak disyari’atkan. Dan bagi keluarga mayat, maka ia tidak perlu menyediakan makanan atau minuman yang sengaja diperuntukkan kepada para tamu yang sedang ta’ziyah atau membantu pengurusan jenazah. Jika dia melakukannya, maka ia sama saja mendorong orang untuk melakukan perbuatan yang dilarang. Allah ta’ala berfirman :

وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرّ وَالتّقْوَىَ وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan saling tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan jangan kamu tolong-menolong dalam dosa dan maksiat” (QS. Al-Maidah : 2). Allaahu a’lam.

Tetapi hal ini sangat berbeda sekali dengan apa hasil wawancara saya terhadap tokoh agama di desa saya di Gulon Salam Magelang yang menganggap bahwa kenduri itu bukan merupakan perbuatan musyrik dan itu termasuk suatu wujud zakat kepada sesame muslim dalam kenduri juga dilakukan tahlil yang dilakukan semakin banyak yang mendoakan maka yang mempunyai hajat pun akan mendapat balasan yang lebih dari Allah SWT. Bukankah oleh Allah telah diajarkan berlomba-lombalah dalam menunaikan zakat ??

























[1]Ust. Drs. Moh. Saifullah Al Aziz. Op.cit, hal.11
[2]http://www.abuayaz.blogspot.com/ dilihat tanggal 5 juni 2013 jam 10.00 WIB
[3]Tanbihun.com/kajian/analisis/upacara-nyadran-antara-pro-dan-kontra/
[4]http://www.islamup.com/download.php?id=55581 dilihat tanggal 20 Juni 2013 jam 10.15 WIB

[5]Tahlil Dalam Perspektif Al-Qur’an dan As-Sunnah (Kajian Kitab Kuning), oleh : KH. Muhyiddin Abdusshomad. dan Dokumen Penting Tentang Masalah Agama Islam, oleh : KH. Manshur Shaleh.
sumber http://masdodod.wordpress.com

[7]Abufarras.blogspot.com/2013/02/Tuntunan-Islam-menyambut-kelahiran.html?m=1 dilihat tanggal 4 juli 2013 jam 16.54 WIB
[8]Rasudahri.tripod.com/articles/kka1_enam.htm dilihat tanggal 4 juli 2013 jam 16.56 WIB

6 komentar: