MAKALAH PENDIDIKAN KARAKTER
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Perbandingan Pendidikan
Dosen Pengampu : Zulkipli Lessy, M.Ag.,
M.S.W., Ph.D.
Disusun :
Kelas
PAI VI B
Guntur Satria Jati 11410058
Iryawan 114100
Rohanna Desy K. 11410083
Zahratul Arafah 11410144
Nurul Aeni 11410180
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga
Yogyakarta
Tahun Akademik 2013/2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kemelut Indonesia yang makin carut marut ini
diyakini karena ketiadaan karakter. Memang banyak yang merasa bahwa bangsa ini
telah kehilangan karakter. Namun ketika ditanya apa itu karakter, kita
tergagap. Karakter, sesuatu yang seharusnya diketahui tapi sebagian besar kita
tidak tahu menahu. Sesuatu yang teramat penting, tapi sebagian kita menganggap
aneh. Sesuatu yang amat diperlukan, tapi justru sebagian kita malah menertawai.
Karakter memang penting. Tidak kalah pentingnya
dengan matematika dan bahasa Inggris yang dipelajari anak- anak. Malah karakter
lebih penting karakter karena posisinya menjadi fondasi. Dengan karakter,
apapun kompetensi yang dibangun di atas fondasi itu akan berdiri tegak dengan
baik dan benar. Dengan karakter, orang berilmu akan tebar keilmuannya. Dengan
karakter orang kaya tidak akan menikmati kekayaannya hanya untuk diri dan
keluarganya saja. Dengan karakter pejabat negara akan menyejahterakan rakyat. Dengan
karakter pengusaha tidak akan serakah.
Karena begitu pentingya, karakter perlu untuk
ditanamkan kepada semua manusia. Salah satunya adalah melalui pendidikan. Oleh
karenanya, kemudian muncul istilah pendidikan karakter. Di dalam makalah ini,
akan dipaparkan hal- hal yang terkait dengan pendidikan karakter termasuk
pendidikan karakter di negara lain maupun di Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud
dengan pendidikan karakter?
2. Bagaimana sejarah
pendidikan karakter?
3. Bagaimana pendidikan
karakter yang ada negara lain?
4. Bagaimana pendidikan
karakter di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan
karakter terdiri dari dua kata yaitu
“pendidikan” dan “karakter”. Untuk dapat memahami definisi pendidikan karakter
terlebih dahulu harus mengerti definisi pendidikan dan juga karakter.
Pendidikan
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu definisi pendidikan secara luas
dan definisi pendidikan secara sempit. Definisi pendidikan secara luas yaitu
pendidikan yang berlaku untuk semua orang dan dapat dilakukan oleh semua orang
bahkan lingkungan. Sedangkan definisi pendidikan secara sempit yaitu yang
mengkhususkan pendidikan hanya untuk anak dan hanya dilakukan oleh lembaga atau
institusi khusus dalam rangka mengantarkan pada masa kedewasaan. Namun, dari
definisi luas maupun sempit tersebut ada persamaan tujuan dari pendidikan,
yaitu untuk mencapai kebahagiaan dan nilai yang tinggi.[1]
Sedangkan menurut UU no 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.[2]
Selanjutnya definisi karakter secara bahasa yaitu karakter berasal
dari istilah Yunani, character dari
kata charassein yang berarti membuat
tajam atau membuat dalam. Karakter juga dapat diartikan mengukir. Sementara
definisi secara istilah karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang
menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam
lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Paduan dari setiap tabiat
manusia yang bersifat tetap sehingga menjadi tanda yang khusus untuk membedakan
orang yang satu dengan lainnya.
Secara
linguistik, ada beberapa pengertian tentang karakter, yaitu sebagai berikut. Karakter
berasal bahasa Yunani, yang berarti to mark atau menandai dengan fokus
mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Arti karakter yang antara lain:
1.
Karakter
adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, personalitas, sifat,
tabiat, temperamen, dan watak.
2.
Karakter
mengacu pada rangkaian sikap (attitudes), perilaku(behaviours),
motivasi(motivation), dan keterampilan.
3.
Karakter
adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari
hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan
sebagai landasan cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.
4.
Karakter
adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu
untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat,
bangsa, dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa
membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusan
yang ia buat.[3]
Karakter seseorang terbentuk dari kebiasaan
yang dilakukan, sikap yang diambil dalam menanggapi keadaan, dan kata-kata yang
diucapkan kepada orang lain. Kebiasaan seseorang terbentuk dari tindakan yang
dilakukan berulang-ulang setiap hari, yang pada awalnya dilakukan dengan
sengaja, namun karena begitu seringnya tindakan tersebut dilakukan akhirnya
menjadi refleks yang tidak disadari oleh yang bersangkutan. Orang melakukan tindakan karena dia menginginkan untuk melakukan
tindakan tersebut. Dari keinginan yang terus menerus akhirnya apa yang
diinginkan tersebut dilakukan. Timbulnya keinginan pada seseorang didorong oleh
pemikiran atas sesuatu hal. Dan pemikiran ini muncul karena ada informasi yang
datang dari pancaindra.
Pendidikan karakter menurut Zubaedi, merupakan pendidikan budi
pekerti plus, yang intinya merupakan
program pengajaran yang bertujuan mengembangkan watak dan tabiat peserta didik
dengan cara menghayati nilai-nilai dan keyakinan masyarakat sebagai kekuatan
moral dalam hidupnya melalui kujujuran, dapat dipercaya, disiplin, dan kerja
sama yang menekankan ranah afektif (perasaan/sikap) tanpa meninggalkan ranah
kognitif (berpikir rasional), dan ranah skill
(keterampilan, terampil mengolah data, mengemukakan pendapat, dan kerja
sama).[4]
Pendidikan karakter memiliki dua
nilai substansial, yakni.
1.
Upaya
berencana untuk membantu orang
untuk memahami, peduli, dan bertindak atas nilai-nilai etika atau moral.
2.
Mengajarkan
kebiasaan berfikir dan berbuat yang
membantu orang hidup dan bekerja bersama-sama sebagai keluarga, teman,
tetangga, masyarakat, dan bangsa.[5]
B. Sejarah Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter ada melalui sebuah proses panjang. Pendidikan karakter
berawal dari sebuah masalah yang timbul, khususnya mengenai karakter/ moral
yang rusak di kalangan sebuah bangsa. Pendidikan karakter pertama kali
dicetuskan oleh F. W. Foerster dari Jerman. Tujuan pendidikan menurut Foerster
adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial antara
subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Kekuatan karakter
seseorang menurut Foerster terlihat dalam empat ciri fundamental yang mesti
dimiliki :
a.
Keteraturan Interior
Setiap tindakan diukur berdasarkan hirarki nilai. Bukan
berarti karakter yang terbentuk dengan baik tidak mengenal konflik, tetapi
sebuah kesediaan dan keterbukaan untuk mengubah dari ketidakteraturan menuju
keteraturan nilai.
b.
Koherensi
Merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama
lain.
c.
Otonomi
Kemampuan seseorang untuk menginternalisasikan aturan
sehingga menjadi nilai-nilai bagi pribadi.
d.
Keteguhan dan kesetiaan
Keteguhan merupakan daya tahan seseorang untuk mengingini
apa yang dipandang baik, sedangkan kesetiaan adalah dasar bagi penghormatan
atas komitmen yang dipilih.
Pendidikan karakter menawarkan sebuah konteks
pendidikan yang lebih integral, namun sekaligus ingin meletakkan manusia pada
kodratnya yang mampu mengatasi kepentingan dan keterbatasan dirinya. Nilai
adalah motor penggerak sejarah dan perubahan sosial. Situasi bhineka yang
menjadi kekhasan bangsa Indonesia menjadikan pendidikan karakter relevan dan
sentral dengan kerangka visi pendidikan.[6]
C. Pendidikan Karakter di Beberapa Negara
1.
Pendidikan Karakter di Romawi
Pendidikan
karakter di Roma dibentuk melalui keluarga dengan cara menghormati yang disebut
dengan mos malorum dan pater familias. Mos Malorum merupakan sebuah
rasa hormat atas tradisi yang telah diberikan oleh leluhur. Pendidikan karakter
harus mempertimbangkan unsur tradisi, sehingga tradisi yang baik tetap dapat
dihayati dan dihormati sebagai norma tingkah laku dan cara berpikir.
Unsur-unsur
elemen peradaban Roma yang menjadi materi dasar pembentukan karakter, seperti :
a.
Nilai Kebaikan Tanah Air
Bentuk rasa hormat dan runduk bagi setiap warga negara
demi kepentingan yang lebih luas, yaitu kepentingan negara.
b.
Devosi
Rasa hormat terhadap para dewa, negara dan pada orang
tua. La pietas dan lustitia (keadilan) menurut Cicero, merupakan
sebuah kewajiban yang harus diberikan terhadap negara dan orang tua serta
dengan orang lain, melaluinya kita memiliki ikatan darah.
c.
Kesetiaan
Kesediaan untuk menepati janji yang telah diucapkan.
Dasar keadilan adalah kesetiaan, yang berarti menjaga sungguh-sungguh komitmen
yang dimiliki yang telah disampaikan melalui kata-kata dan dengan perjanjian.
Roma tetap akn berdiri kokoh apabila para pemimpinnya tidak omong kosong dan
ingkar janji.
d.
Perilaku bermutu (gravitas)
Sebuah tindakan dan perilaku yang keras, penuh percaya
diri, dan mampu menjadi tolok ukur. Perilaku ini terbentuk dalam diri manusia
yang telah memiliki pengalaman dan umur dalam mengurus kehidupan politik,
e.
Stabilitas
Suatu koherensi antara apa yang dipikirkan dengan dirinya sendiri. Ini mengacu
pada pribadi tetap konsisten dan setia serta taat dalam melaksanakan dan
menempa diri melalui mos malorum Romawi.
Sistem Pater Familias, yaitu keluarga
menjadi tempat utama dalam proses pendidikan anak. Karakter anak terutama
terbentuk dalam keluarga. Sejak kecil anak-anak di Roma dikenalkan dengan
dinamika kehidupan publik dengan mengikuti dan mencontoh perilaku ayah. Rasa
hormat dan respek terhadap anak-anak di Roma sangat besar, karena mereka
percaya bahwa anak-anak itulah yang akan meneruskan kelanggengan dan kejayaan
Romawi. Rasa hormat dan respek pada anak-anak bukan hanya memiliki makna
pedagogis berupa hormat dan respek terhadap murid, tetapi juga menjadi
paradigma pendidikan karakter bagi setiap kinerja pendidikan.[7]
2.
Pendidikan
Karakter di Negara Amerika Serikat
a.
Konsep
pendidikan karakter di Negara Amerika Serikat
Pendidikan
karakter di negara-negara barat di Amerika Serikat, Kanada dan Inggris
khususnya amat dipengaruhi oleh konsep pendidikan karakter yang dikembangkan
oleh thomas Lickona (1991). Menurut Lickona nilai-nilai penting yang harus
dikembangkan dalam pendidikan karakter antara lain meliputi nilai amanah, dapat
dipercaya (trustworthiness), rasa harmat (respect), sikap
bertanggung jawab (responsibility), berlaku adil dan jujur baik kepada diri
sendiri maupun orang lain (fairness), kepedulian (caring), kejujuran (honesty),
keberanian (courage), kerajinan (dilligent), berintegritas (integrity), dan
kewargaan (citizenship).
Kali ini akan
dibahas mengenai pendidikan karakter di Amerika Serikat. Di sana mengajarkan
kepada para siswa agar memahami, mau berkomitmen, dan berbuat dengan saling
berbagi nilai-nilai etik. Dengan kata lain “mereka paham yang baik-baik”. Dalam
pendidikan karakter juga dikembangkan nilai-nilai inti dari menghormati dan menghargai
orang lain (respect), tanggung jawab, kejujuran, fairness, keadilan, pemberian
perhatian, dan partisipasi dalam masyarakat.
Di pihak
lain, Susan J. Kovalik dan sejumlah ahli lain memasukkan pendidikan karakter
sebagai bagian dari pendidikan kecakapan hidup (life skills). Dalam kaitan ini,
Kagan (2003) telah menyarankan 4 subjek yang paling penting yang harus
diberikan kepada siswa, yaitu: (i) kecerdasan emosi, (ii) pendidikan karakter,
(iii) kebiasaan untuk sukses (habits for succes), dan kecerdasan majemuk
(multiple intelligences). Dalam kaitan pendidikan karakter fokusnya diharapkan
pada pengembangan hal-hal yang terkait kebajikan tradisional (tradisional
virtues) seperti kejujuran, rasa hormat dan tanggung jawab.
Program
pendidikan karakter telah menjadi kepedulian tinggi bagi masyarakat amerika
Serikat. Implementasinya
ditangani oleh berbagai lembaga, baik lembaga swasta mauupun pemerintah
federal. Banyak lembaga swasta yang bersifat non profit, dan memberikan
pelatihan pendidikan karakter. Salah satunya adalah Character Counts, yang
mewajibkan 6 kebajikan yang harus diberikan kepada siswa, lainnya adalah The
School for Ethical Education (SEE), Character Education Partnership (CEP),
Institute for Global Ethics dan masih banyak lagi lainnya. Institusi yang
menjual program pelatihannya antara lain adalah Character development Group.
Disamping memberikan pelatihan yang dijual, institusi ini juga mengadakan
berbagai lokakarya dan konferensi, penerbitan buku-buku dan jurnal-jurnal
tentang pendidikan karakter. Lembaga yang didirikan oleh pemerintah federal
misalnya adalah CETAC (Character Education & Civic Education Technical
Assistance Center).
Sementara itu
program Integrated Thematic Instruction (ITI) mencatat ada 15 kebajikan dan
disebutnya sebagai kecakapan hidup (life skills), serta lima kebajikan tambahan
dan kecakapan sosial yang seluruhnya itu disebut dengan Pedoman Sepanjang Hayat
(LifeLong Guidelines) yang dikembangkan oleh Susan J.Kovalik.
Lifelong
guidelines dijadikan
sebagai landasan bagi pendidikan karakter dengan cara membangun budaya sekolah
melalui model
pembelajaran
yang sangat Efektif (HET, Highly Effective Teaching Model). Lifelong
guidelines adalah tuntunan untuk sukses dalam hidup dan tidak sekedar
aturan-aturan yang harus ditaati di ruang kelas. Butir-butir penjelasan dari lifelong
Guidelines adalah sebagai berikut:[8]
Kecakapan Hidup
|
Maknanya
|
Peduli (caring)
|
Merasa dan menunjukkan kepedulian kepada orang lain.
|
Akal Sehat (common sense)
|
Menggunakan pertimbangan-pertimbangan yang baik dan matang.
|
Kerjasama (coorperation)
|
Bekerja sama menuju tujuan bersama.
|
Keberanian (courage)
|
Bertindak berlandaskan kepercayaan yang benar tanpa merasa takut
terhadap akibat perbuatannya.
|
Kreativitas (creativity)
|
Membangkitkan gagasan, menciptakan sesuatu yang asli/orisinal
atau mendesain ulang melalui keterampilan yang imajinatif.
|
Rasa ingin tahu (curiosity)
|
Keinginan untuk menyelidiki dan mencari pemahaman terhadap
rahasia alam.
|
Daya upaya (effort)
|
Bertindak sebaik-baiknya, melakukan yang terbaik
|
Keluwesan (Flexibility)
|
Mau dan mampu merubah rencana bilamana diperlukan.
|
Persahabatan (friendship)
|
Menjalin dan memelihara persahabatan melalui saling percaya dan
saling peduli.
|
Berinisiatif (initiative)
|
Melihat sesuatu karena kebebasan keinginan sendiri, karena itu
harus dilakukan.
|
Berintegritas (integrity)
|
Bertindak berdasarkan pertimbangan tentang apa yang benar dan
yang salah, yang baik dan yang buruk.
|
Organisaasi (organisation)
|
Merencanakan, menyusun dan melaksanakan sesuatu dengan cara
runtut, menjaga agar segala sesuatu tersimpan rapi dan siap untuk digunakan.
|
Kesabaran (patience)
|
Menunggu dengan sabar seseorang atau sesuatu kejadian, suatu
proses
|
Ketabahan, daya tahan (perseverance)
|
Tetap berpegang teguh pada keyakinan, kepercayaan, dan aturan.
Berprinsip harus menyelesaikan pekerjaan apa saja yang telah yang telah
dimulai.
|
Kebanggaan (pride)
|
Rasa puas karena telah berbuat sesuatu yang paling baik
|
Pemecahan masalah (problem solving)
|
Menciptakan pemecahan masalah dari suatu situasi sulit dan
masalah sehari-hari.
|
Banyak akal (resourcefulness)
|
Menanggapi tantangan atau kesempatan dengan cara inovatif dan
kreatif.
|
Tanggung jawab (responsibility)
|
Menanggapi dengan cara yang panras dan layak, bertanggung jawab
terhadap tindakan yang dilakukan.
|
Memiliki rasa humor (sense of humor)
|
Tertawa dan bermain-main tanpa mengganggu orang lain.
|
b.
Model
pendidikan karakter di negara Amerika Serikat.
Sesuai dengan
apa yang dinyatakan oleh Elkind dan Sweet (2004) praktik persekolahan di
Amerika Serikat pendidikan karakter dilaksanakan dengan pendekatan holistik
(holistic approach). Artinya seluruh warga sekolah mulai dari guru, karyawan
dan para murid harus terlibat dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan
karakter. Hal yang paling penting disini adalah bahwa pengembangan karakter
harus terintegrasi ke dalam setiap aspek kehidupan sekolah. Pendekatan semacam
ini disebut juga reformasi sekolah menyeluruh.
Berikut
beberapa gambaran bagaimana penerapan model holistik dalam pendidikan karakter
tersebut:[9]
a.
Segala
sesuatu yang ada di sekolah terorganisasikan di seputar hubungan antar siswa
dan antara siswa dan guru beserta staf dan komunitas di sekitarnya.
b.
Sekolah
merupakan komunitas yang peduli (caring community) dimana terdapat ikatan yang
kuat dan menghubungkan siswa dengan guru, staf dan sekolah.
c.
Pembelajaran
sosial dan emosi juga dikembangkan sebagai mana pembelajaran akademik.
d.
Koorperasi
dan kolaborasi antar siswa lebih ditekankan pengembangannya daripada kompetisi.
e.
Nilai-nilai
seperti fairness, saling menghormati dan kejujuran adalah bagian dari
pembelajaran setiap hari, baik di dalam maupun diluar kelas.
f.
Para
siswa diberi keleluasaan untuk mempraktikkan perilaku moral melalui kegiatan
pembelajaran untuk melayani (service learning).
g.
Disiplin
kelas dan pengelolaan kelas dipusatkan pada pemecahan masalah dari pada
dipusatkan pada penghargaan dan hukuman.
h.
Model
lama berupa pendekatan berbasis guru yang otoriter tidak pernah lagi diterapkan
di dalam kelas, tetapi lebih dikembangkanm suasana kelas yang demokratis dimana
para guru dan para siswa melaksanakan semacam pertemuan kelas untuk membangun
kebersamaan, menegakkan norma-norma yang disepakati bersama, serta memecahkan
persoalan bersama-sama.
Beberapa metode
yang sesuai dengan pendidikan karakter, Lickona (1991) menyarankan agar
pendidikan karakter berlangsung efektif maka guru dapat mengusahakan
implementasi berbagai metode seperti bercerita tentang berbagai kisah, cerita
atau dongeng yang sesuai, menugasi siswa membaca literatur, melaksanakan studi
kasus, bermain operan diskusi, debat tentang moral dan juga penerapan
pembelajaran kooperatif. Pada prinsipnya guru dan seluruh warga sekolah tidak
dapat mengelak dan berkewajiban untuk selalu mengajarkan nilai-nilai yang baik
yang harus dilakukan, serta nilai-nilai buruk yang seharusnya dicegah dan tidak
dilakukan pada setiap program sekolah.
Hal yang perlu diingat bahwa penggunaan berbagai metode pembelajaran
dibawah ini tentu akan lebih leluasa pada mata pelajaran yang mengandung
instuctional effect maupun nurturant effect yaitu mata pelajaran Pendidikan
Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan. Sedangkan
mata pelajaran yang lain hanya berdampak pada nurturant effect penggunaan
metode pemebelajaran disesuaikan dengan bahan ajar. Sejumlah metode
pembelajaran berikut ini berasal dari best practices di negara-negara maju,
khususnya di negara amerika Serikat, tetapi tentu saja guru dapat secara
leluasa menggunakan metode yang lain.[10] Demikianlah pendidikan karakter yang terdapat
di Amerika Serikat.
D. Pendidikan Karakter di Indonesia
Pendidikan karakter bukan hal baru dalam
tradisi pendidikan di Indonesia, beberapa pendidik seperti R.A. Kartini, Ki
Hadjar Dewantara, Soekarno, Hatta, dan lainnya telah menerapkan semangat pendidikan
karakter sebagai pembentuk kepribadian dan identitas bangsa sesuai konteks dan
situasi yang dialami.
Pemahaman tentang Pancasila merupakan sesuatu
yang fundamental bagi kehidupan bangsa. Dalam pendidikan, misalnya, pada masa
Orde Lama, untuk membantu pembentukan karakter bangsa Pendidikan Budi Pekerti
menjadi salah satu pelajaran dalam Kurikulum SD 1947, kemudian digabung dengan
Pendidikan Agama Islam dalam kurikulum 1964 dengan nama Agama/Budi Pekerti dan
ada mata pelajaran khusus tentang kewarganegaraan yang disebut civics.
Pada masa Orde Baru, Pancasila sebagai ideologi bangsa
dan dasar negara dibudayakan dengan lebih sistematis dengan mewajibkan
mengikuti Penataran Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), dan diadakannya
sebuah mata pelajaran khusus yaitu Kewarganegaraan Negara Indonesi, Pendidikan
Moral Pancasila (PMP).
Pendidikan budi pekerti timbul tenggelam dalam kurikulum pendidikan di
Indonesia. Terkadang pendidikan budi pekerti dianggap mata pelajaran khusus,
atau terintegrasi dengan mata pelajaran lain, hal ini menunjukkan bahwa bangsa
ini memiliki keprihatinan mendalam tentang pembentukan karakter bangsa. [11]
Belakangan ini, pendidikan karakter di Indonesia kembali muncul ke
permukaan. Melihat semakin rusaknya
moral yang terjadi Indonesia para stake holder pendidikan
berupaya mencari solusi untuk menangani masalah moral ini. Jika dilihat, banyak
sekali orang yang tidak bermoral seperti melakukan korupsi adalah para orang
yang berintelektual. Jadi, dalam pendidikan seharusnya tidak hanya
mengedepankan aspek kognitif yang hanya menjadikan orang pandai melainkan
pendidikan harus mampu mencetak orang yang bermoral. Oleh karena itu pendidikan
karakter dipandang sangatlah penting.
Menurut Kemnediknas (2010), nilai-nilai luhur sebagai pondasi karakter
bangsa yang dimiliki oleh setiap suku di Indonesia ini, di antaranya sebagai
berikut:
1. Religius, yaitu sikap dan perilaku yang patuh
dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleransi terhadap pelaksanaan
ibadah, agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur, yaitu perilaku yang didasarkan pada
upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam
perkataan, tindakan, dan pekerjaan
3.
Toleransi,
yaitu sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,
pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4.
Disiplin,
yaitu tindakan yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam berbagai ketentuan
dan peraturan
5.
Kerja
keras, yaitu perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi
berbagai hambatan belajar dan tugas,serta menyelesaikan tugas dengan
sebaik-baiknya.
6.
Kreatif,
yaitu berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru
dari sesuatu yang telah dimiliki
7.
Mandiri,
yaitu sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugasnya
8.
Demokratis,
yaitu cara berfikir, bersikap, dan bertindak ysng menilai sama hak dan
kewajiban dirinya dan orang lain
9.
Rasa
ingin tahu, yaitu sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui
lenih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan
didengarkan.
10.
Semangat
kebangsaan, yaitu cara berfikir, bertindak, berwawasan yang menempatkan
kepentingan bangsa, dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11.
Cinta
tanah air, yaitu cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan
kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bangsa, lingkungan
fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
12.
Menghargai
prestasi, yaitu sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan
sesuat yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui serta menghormati
keberhasilan orang lain.
13.
Bersahabat
atau komunikatif, yaitu tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara,
bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14.
Cinta
damai, yaitu sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa
senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15.
Gemar
membaca, yaitu kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang
memberikan kebajikan bagi dirinya.
16.
Peduli
lingkungan, yaitu sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan
pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk
memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17.
Peduli
sosial, yaitu sikap dan tindakan yang selalu memberikan bantuan orang lain dan
masyarakat yang membutuhkan.
18.
Tanggung
jawab, yaitu sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan
kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat,
lingkungan(alam, sosial, dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.[12]
Desain pendidikan
karakter berdasarkan
desain utama yang dikembangkan oleh kemendiknas (2010)
secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu
itu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia, baik dalam aspek
kognitif, afektif, konatif, dan psikomatorik, dalam konteks interkasi soasial
kultural dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat dan sifatnya berlangsung
sepanjang hayat.
Membuat peserta
didik berkarakter adalah tugas pendidikan, yang esensinya adalah membangun
manusia seutuhnya, yaitu manusia yang baik dan
berkarakter. Pengertian baik dan berkarakter mengacu pada norma yang
dianutnya, yaitu nilai-nilai luhur Pancasila.
Hal ini sesuai dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional Indonesia
yang termuat dalam UU no 20 tahun 2003 yaitu pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.[13]
Artinya bahwa pemerintah Indonesia telah mencanangkan untuk mengutamakan
pendidikan karakter pada setiap jenjang pendidikan yang dilangsungkan.
Setidaknya ada sepuluh aspek yang diharapkan berkembang dalam diri peserta
didik, yaitu beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang demokratis,
dan bertanggung jawab. Terdapat tujuh dari sepuluh aspek tersebut lebih dekat
dengan pembentukan karakter. Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan bahwa
pembentukan karakter siswa jauh lebih penting dari pada menyehatkan badannya,
mengisi otaknya dan membuatnya menjadi manusia yang cakap.
Agama dapat dijadikan nilai dasar dalam pendidikan, termasuk
pendidikan karakter. Pendidikan karakter berbasis agama merupakan pendidikan
yang mengembangkan nilai-nilai berdasarkan agama yang membentuk kepribadian,
sikap, dan tingkah laku yang utama dan luhur dalam kehidupan. Dalam agama Islam
pendidikan karakter memiliki kesamaan dengan pendidikan akhlak.[14]
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
A, Doni Koesoema. Pendidikan Karakter (Strategi Mendidik Anak di Zaman
Global). Jakarta: Grasindo
Hariyanto, & Muchlas Saman. 2012. ”Konsep dan Model Pendidikan
Karakter”. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Kurniawan, Syamsul. 2013. Pendidikan
Karakter (Konsepsi dan Implementasinya secara Terpadu di Lingkungan Keluarga,
Sekolah, Perguruan Tinggi, dan MasyarakatSS. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Nashir, Haeder. 2003. Pendidikan Karakter
Brbasisis Agama & Budaya.
Yogyakarat:Multi Presindo
Salahudin,Anas.
2013. Pendidikan
Karakter-Pendidikan Berbasis Agama dan
Budaya Bangsa Bandung: CV
Pustaka Setia
Sudewo, Erie. 2011. Best Practice Character Building :Menuju Indonesia
Lebih Baik. Jakarta: Republika
UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat
1
UU
no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3
Wibowo, Agus. 2012. Pendidikan
Karakter-Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[1] Syamsul Kurniawan, Pendidikan Karakter (Konsepsi dan
Implementasinya secara Terpadu di Lingkungan Keluarga, Sekolah, Perguruan
Tinggi, dan Masyarakat, (Yogyakarta:Ar-Ruzz Media, 2013), hal. 27
[2] UU no 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1
[3] Anas salahudin, Pendidikan Karakter-pendidikan berbasis agama
dan budaya bangsa (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2013), hal. 43-45.
[4] Syamsul Kurniawan, Pendidikan Karakter (Konsepsi dan
Implementasinya secara Terpadu di Lingkungan Keluarga, Sekolah, Perguruan
Tinggi, dan Masyarakat , (Yogyakarta:Ar-Ruzz Media, 2013), hal. 28 - 29
[5] Anas salahudin, Pendidikan Karakter-pendidikan berbasis agama
dan budaya bangsa (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2013), hal. 43-45.
[6] Doni Koesoema A., Pendidikan
Karakter (Strategi Mendidik Anak di Zaman Global), (Jakarta: Grasindo,
2010), hlm. 42-44.
[7] Doni Koesoema A., Pendidikan
Karakter (Strategi Mendidik Anak di Zaman Global), (Jakarta: Grasindo,
2010), hlm.30-34.
[8] Muchlas Samani, Hariyanto.2012.”Konsep dan model Pendidikan
Karakter”. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hal 100-105
[9] Muchlas Samani, Hariyanto.2012.”Konsep dan model Pendidikan
Karakter”. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hal 139-140
[10] Muchlas Samani, Hariyanto.2012.”Konsep dan model Pendidikan
Karakter”. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hal 147-148
[11] Doni Koesoema A., Pendidikan
Karakter (Strategi Mendidik Anak di Zaman Global), (Jakarta: Grasindo,
2010), hlm. 44-51
[12] Agus Wibowo, Pendidikan Karakter-Strategi Membangun karakter
bangsa berperadaban (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2012), hal. 43-44.
[13] UU no 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3
[14] Haeder Nashir, Pendidikan Karakter Brbasisis Agama &
Budaya, (Yogyakarat:Multi Presindo, 2003), hal. 23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar