Minggu, 04 Januari 2015

MAKALAH PENDIDIKAN KARAKTER



MAKALAH PENDIDIKAN KARAKTER
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Perbandingan Pendidikan
Dosen Pengampu : Zulkipli Lessy, M.Ag., M.S.W., Ph.D.
Description: Description: Logo UIN












Disusun :
Kelas
PAI VI B
Guntur Satria Jati                       11410058
Iryawan                                      114100
Rohanna Desy K.                       11410083
Zahratul Arafah                         11410144
Nurul Aeni                                 11410180

Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga
Yogyakarta
Tahun Akademik 2013/2014

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kemelut Indonesia yang makin carut marut ini diyakini karena ketiadaan karakter. Memang banyak yang merasa bahwa bangsa ini telah kehilangan karakter. Namun ketika ditanya apa itu karakter, kita tergagap. Karakter, sesuatu yang seharusnya diketahui tapi sebagian besar kita tidak tahu menahu. Sesuatu yang teramat penting, tapi sebagian kita menganggap aneh. Sesuatu yang amat diperlukan, tapi justru sebagian kita malah menertawai.
Karakter memang penting. Tidak kalah pentingnya dengan matematika dan bahasa Inggris yang dipelajari anak- anak. Malah karakter lebih penting karakter karena posisinya menjadi fondasi. Dengan karakter, apapun kompetensi yang dibangun di atas fondasi itu akan berdiri tegak dengan baik dan benar. Dengan karakter, orang berilmu akan tebar keilmuannya. Dengan karakter orang kaya tidak akan menikmati kekayaannya hanya untuk diri dan keluarganya saja. Dengan karakter pejabat negara akan menyejahterakan rakyat. Dengan karakter pengusaha tidak akan serakah.
Karena begitu pentingya, karakter perlu untuk ditanamkan kepada semua manusia. Salah satunya adalah melalui pendidikan. Oleh karenanya, kemudian muncul istilah pendidikan karakter. Di dalam makalah ini, akan dipaparkan hal- hal yang terkait dengan pendidikan karakter termasuk pendidikan karakter di negara lain maupun di Indonesia.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan pendidikan karakter?
2.      Bagaimana sejarah pendidikan karakter?
3.      Bagaimana pendidikan karakter yang ada negara lain?
4.      Bagaimana pendidikan karakter di Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter  terdiri dari dua kata yaitu “pendidikan” dan “karakter”. Untuk dapat memahami definisi pendidikan karakter terlebih dahulu harus mengerti definisi pendidikan dan juga karakter.
Pendidikan dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu definisi pendidikan secara luas dan definisi pendidikan secara sempit. Definisi pendidikan secara luas yaitu pendidikan yang berlaku untuk semua orang dan dapat dilakukan oleh semua orang bahkan lingkungan. Sedangkan definisi pendidikan secara sempit yaitu yang mengkhususkan pendidikan hanya untuk anak dan hanya dilakukan oleh lembaga atau institusi khusus dalam rangka mengantarkan pada masa kedewasaan. Namun, dari definisi luas maupun sempit tersebut ada persamaan tujuan dari pendidikan, yaitu untuk mencapai kebahagiaan dan nilai yang tinggi.[1]
Sedangkan menurut UU no 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[2]
Selanjutnya definisi karakter secara bahasa yaitu karakter berasal dari istilah Yunani, character dari kata charassein yang berarti membuat tajam atau membuat dalam. Karakter juga dapat diartikan mengukir. Sementara definisi secara istilah karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Paduan dari setiap tabiat manusia yang bersifat tetap sehingga menjadi tanda yang khusus untuk membedakan orang yang satu dengan lainnya.
Secara linguistik, ada beberapa pengertian tentang karakter, yaitu sebagai berikut. Karakter berasal bahasa Yunani, yang berarti to mark atau menandai dengan fokus mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Arti karakter yang antara lain:
1.      Karakter adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, dan watak.
2.      Karakter mengacu pada rangkaian sikap (attitudes), perilaku(behaviours), motivasi(motivation), dan keterampilan.
3.      Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak.
4.      Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusan yang ia buat.[3]
Karakter seseorang terbentuk dari kebiasaan yang dilakukan, sikap yang diambil dalam menanggapi keadaan, dan kata-kata yang diucapkan kepada orang lain. Kebiasaan seseorang terbentuk dari tindakan yang dilakukan berulang-ulang setiap hari, yang pada awalnya dilakukan dengan sengaja, namun karena begitu seringnya tindakan tersebut dilakukan akhirnya menjadi refleks yang tidak disadari oleh yang bersangkutan. Orang melakukan tindakan karena dia menginginkan untuk melakukan tindakan tersebut. Dari keinginan yang terus menerus akhirnya apa yang diinginkan tersebut dilakukan. Timbulnya keinginan pada seseorang didorong oleh pemikiran atas sesuatu hal. Dan pemikiran ini muncul karena ada informasi yang datang dari pancaindra.
Pendidikan karakter menurut Zubaedi, merupakan pendidikan budi pekerti plus, yang intinya merupakan program pengajaran yang bertujuan mengembangkan watak dan tabiat peserta didik dengan cara menghayati nilai-nilai dan keyakinan masyarakat sebagai kekuatan moral dalam hidupnya melalui kujujuran, dapat dipercaya, disiplin, dan kerja sama yang menekankan ranah afektif (perasaan/sikap) tanpa meninggalkan ranah kognitif (berpikir rasional), dan ranah skill (keterampilan, terampil mengolah data, mengemukakan pendapat, dan kerja sama).[4]
Pendidikan karakter memiliki dua nilai substansial, yakni.
1.      Upaya berencana untuk membantu orang untuk memahami, peduli, dan bertindak atas nilai-nilai etika atau moral.
2.      Mengajarkan kebiasaan berfikir dan berbuat yang membantu orang hidup dan bekerja bersama-sama sebagai keluarga, teman, tetangga, masyarakat, dan bangsa.[5]
B.     Sejarah Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter ada melalui sebuah proses panjang. Pendidikan karakter berawal dari sebuah masalah yang timbul, khususnya mengenai karakter/ moral yang rusak di kalangan sebuah bangsa. Pendidikan karakter pertama kali dicetuskan oleh F. W. Foerster dari Jerman. Tujuan pendidikan menurut Foerster adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial antara subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Kekuatan karakter seseorang menurut Foerster terlihat dalam empat ciri fundamental yang mesti dimiliki :
a.         Keteraturan Interior
Setiap tindakan diukur berdasarkan hirarki nilai. Bukan berarti karakter yang terbentuk dengan baik tidak mengenal konflik, tetapi sebuah kesediaan dan keterbukaan untuk mengubah dari ketidakteraturan menuju keteraturan nilai.
b.        Koherensi
Merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain.
c.         Otonomi
Kemampuan seseorang untuk menginternalisasikan aturan sehingga menjadi nilai-nilai bagi pribadi.
d.        Keteguhan dan kesetiaan
Keteguhan merupakan daya tahan seseorang untuk mengingini apa yang dipandang baik, sedangkan kesetiaan adalah dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Pendidikan karakter menawarkan sebuah konteks pendidikan yang lebih integral, namun sekaligus ingin meletakkan manusia pada kodratnya yang mampu mengatasi kepentingan dan keterbatasan dirinya. Nilai adalah motor penggerak sejarah dan perubahan sosial. Situasi bhineka yang menjadi kekhasan bangsa Indonesia menjadikan pendidikan karakter relevan dan sentral dengan kerangka visi pendidikan.[6]
C.    Pendidikan Karakter di Beberapa Negara
1.      Pendidikan Karakter di Romawi
Pendidikan karakter di Roma dibentuk melalui keluarga dengan cara menghormati yang disebut dengan mos malorum dan pater familias. Mos Malorum merupakan sebuah rasa hormat atas tradisi yang telah diberikan oleh leluhur. Pendidikan karakter harus mempertimbangkan unsur tradisi, sehingga tradisi yang baik tetap dapat dihayati dan dihormati sebagai norma tingkah laku dan cara berpikir.
Unsur-unsur elemen peradaban Roma yang menjadi materi dasar pembentukan karakter, seperti :
a.         Nilai Kebaikan Tanah Air
Bentuk rasa hormat dan runduk bagi setiap warga negara demi kepentingan yang lebih luas, yaitu kepentingan negara.
b.         Devosi
Rasa hormat terhadap para dewa, negara dan pada orang tua. La pietas dan lustitia (keadilan) menurut Cicero, merupakan sebuah kewajiban yang harus diberikan terhadap negara dan orang tua serta dengan orang lain, melaluinya kita memiliki ikatan darah.
c.         Kesetiaan
Kesediaan untuk menepati janji yang telah diucapkan. Dasar keadilan adalah kesetiaan, yang berarti menjaga sungguh-sungguh komitmen yang dimiliki yang telah disampaikan melalui kata-kata dan dengan perjanjian. Roma tetap akn berdiri kokoh apabila para pemimpinnya tidak omong kosong dan ingkar janji.
d.        Perilaku bermutu (gravitas)
Sebuah tindakan dan perilaku yang keras, penuh percaya diri, dan mampu menjadi tolok ukur. Perilaku ini terbentuk dalam diri manusia yang telah memiliki pengalaman dan umur dalam mengurus kehidupan politik,
e.         Stabilitas
Suatu koherensi antara apa yang dipikirkan dengan dirinya sendiri. Ini mengacu pada pribadi tetap konsisten dan setia serta taat dalam melaksanakan dan menempa diri melalui mos malorum Romawi.
Sistem Pater Familias, yaitu keluarga menjadi tempat utama dalam proses pendidikan anak. Karakter anak terutama terbentuk dalam keluarga. Sejak kecil anak-anak di Roma dikenalkan dengan dinamika kehidupan publik dengan mengikuti dan mencontoh perilaku ayah. Rasa hormat dan respek terhadap anak-anak di Roma sangat besar, karena mereka percaya bahwa anak-anak itulah yang akan meneruskan kelanggengan dan kejayaan Romawi. Rasa hormat dan respek pada anak-anak bukan hanya memiliki makna pedagogis berupa hormat dan respek terhadap murid, tetapi juga menjadi paradigma pendidikan karakter bagi setiap kinerja pendidikan.[7]
2.      Pendidikan Karakter di Negara Amerika Serikat
a.       Konsep pendidikan karakter di Negara Amerika Serikat
Pendidikan karakter di negara-negara barat di Amerika Serikat, Kanada dan Inggris khususnya amat dipengaruhi oleh konsep pendidikan karakter yang dikembangkan oleh thomas Lickona (1991). Menurut Lickona nilai-nilai penting yang harus dikembangkan dalam pendidikan karakter antara lain meliputi nilai amanah, dapat dipercaya (trustworthiness), rasa harmat (respect), sikap bertanggung jawab (responsibility), berlaku adil dan jujur baik kepada diri sendiri maupun orang lain (fairness), kepedulian (caring), kejujuran (honesty), keberanian (courage), kerajinan (dilligent), berintegritas (integrity), dan kewargaan (citizenship).
Kali ini akan dibahas mengenai pendidikan karakter di Amerika Serikat. Di sana mengajarkan kepada para siswa agar memahami, mau berkomitmen, dan berbuat dengan saling berbagi nilai-nilai etik. Dengan kata lain “mereka paham yang baik-baik”. Dalam pendidikan karakter juga dikembangkan nilai-nilai inti dari menghormati dan menghargai orang lain (respect), tanggung jawab, kejujuran, fairness, keadilan, pemberian perhatian, dan partisipasi dalam masyarakat.
Di pihak lain, Susan J. Kovalik dan sejumlah ahli lain memasukkan pendidikan karakter sebagai bagian dari pendidikan kecakapan hidup (life skills). Dalam kaitan ini, Kagan (2003) telah menyarankan 4 subjek yang paling penting yang harus diberikan kepada siswa, yaitu: (i) kecerdasan emosi, (ii) pendidikan karakter, (iii) kebiasaan untuk sukses (habits for succes), dan kecerdasan majemuk (multiple intelligences). Dalam kaitan pendidikan karakter fokusnya diharapkan pada pengembangan hal-hal yang terkait kebajikan tradisional (tradisional virtues) seperti kejujuran, rasa hormat dan tanggung jawab.
Program pendidikan karakter telah menjadi kepedulian tinggi bagi masyarakat amerika Serikat. Implementasinya ditangani oleh berbagai lembaga, baik lembaga swasta mauupun pemerintah federal. Banyak lembaga swasta yang bersifat non profit, dan memberikan pelatihan pendidikan karakter. Salah satunya adalah Character Counts, yang mewajibkan 6 kebajikan yang harus diberikan kepada siswa, lainnya adalah The School for Ethical Education (SEE), Character Education Partnership (CEP), Institute for Global Ethics dan masih banyak lagi lainnya. Institusi yang menjual program pelatihannya antara lain adalah Character development Group. Disamping memberikan pelatihan yang dijual, institusi ini juga mengadakan berbagai lokakarya dan konferensi, penerbitan buku-buku dan jurnal-jurnal tentang pendidikan karakter. Lembaga yang didirikan oleh pemerintah federal misalnya adalah CETAC (Character Education & Civic Education Technical Assistance Center).
Sementara itu program Integrated Thematic Instruction (ITI) mencatat ada 15 kebajikan dan disebutnya sebagai kecakapan hidup (life skills), serta lima kebajikan tambahan dan kecakapan sosial yang seluruhnya itu disebut dengan Pedoman Sepanjang Hayat (LifeLong Guidelines) yang dikembangkan oleh Susan J.Kovalik.
Lifelong guidelines dijadikan sebagai landasan bagi pendidikan karakter dengan cara membangun budaya sekolah melalui  model pembelajaran yang sangat Efektif (HET, Highly Effective Teaching Model). Lifelong guidelines adalah tuntunan untuk sukses dalam hidup dan tidak sekedar aturan-aturan yang harus ditaati di ruang kelas. Butir-butir penjelasan dari lifelong Guidelines adalah sebagai berikut:[8]
Kecakapan Hidup
Maknanya
Peduli (caring)
Merasa dan menunjukkan kepedulian kepada orang lain.
Akal Sehat (common sense)
Menggunakan pertimbangan-pertimbangan yang baik dan matang.
Kerjasama (coorperation)
Bekerja sama menuju tujuan bersama.
Keberanian (courage)
Bertindak berlandaskan kepercayaan yang benar tanpa merasa takut terhadap akibat perbuatannya.
Kreativitas (creativity)
Membangkitkan gagasan, menciptakan sesuatu yang asli/orisinal atau mendesain ulang melalui keterampilan yang imajinatif.
Rasa ingin tahu (curiosity)
Keinginan untuk menyelidiki dan mencari pemahaman terhadap rahasia alam.
Daya upaya (effort)
Bertindak sebaik-baiknya, melakukan yang terbaik
Keluwesan (Flexibility)
Mau dan mampu merubah rencana bilamana diperlukan.
Persahabatan (friendship)
Menjalin dan memelihara persahabatan melalui saling percaya dan saling peduli.
Berinisiatif (initiative)
Melihat sesuatu karena kebebasan keinginan sendiri, karena itu harus dilakukan.
Berintegritas (integrity)
Bertindak berdasarkan pertimbangan tentang apa yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk.
Organisaasi (organisation)
Merencanakan, menyusun dan melaksanakan sesuatu dengan cara runtut, menjaga agar segala sesuatu tersimpan rapi dan siap untuk digunakan.
Kesabaran (patience)
Menunggu dengan sabar seseorang atau sesuatu kejadian, suatu proses
Ketabahan, daya tahan (perseverance)
Tetap berpegang teguh pada keyakinan, kepercayaan, dan aturan. Berprinsip harus menyelesaikan pekerjaan apa saja yang telah yang telah dimulai.
Kebanggaan (pride)
Rasa puas karena telah berbuat sesuatu yang paling baik
Pemecahan masalah (problem solving)
Menciptakan pemecahan masalah dari suatu situasi sulit dan masalah sehari-hari.
Banyak akal (resourcefulness)
Menanggapi tantangan atau kesempatan dengan cara inovatif dan kreatif.
Tanggung jawab (responsibility)
Menanggapi dengan cara yang panras dan layak, bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukan.
Memiliki rasa humor (sense of humor)
Tertawa dan bermain-main tanpa mengganggu orang lain.

b.      Model pendidikan karakter di negara Amerika Serikat.
Sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Elkind dan Sweet (2004) praktik persekolahan di Amerika Serikat pendidikan karakter dilaksanakan dengan pendekatan holistik (holistic approach). Artinya seluruh warga sekolah mulai dari guru, karyawan dan para murid harus terlibat dan bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan karakter. Hal yang paling penting disini adalah bahwa pengembangan karakter harus terintegrasi ke dalam setiap aspek kehidupan sekolah. Pendekatan semacam ini disebut juga reformasi sekolah menyeluruh.
Berikut beberapa gambaran bagaimana penerapan model holistik dalam pendidikan karakter tersebut:[9]
a.       Segala sesuatu yang ada di sekolah terorganisasikan di seputar hubungan antar siswa dan antara siswa dan guru beserta staf dan komunitas di sekitarnya.
b.      Sekolah merupakan komunitas yang peduli (caring community) dimana terdapat ikatan yang kuat dan menghubungkan siswa dengan guru, staf dan sekolah.
c.       Pembelajaran sosial dan emosi juga dikembangkan sebagai mana pembelajaran akademik.
d.      Koorperasi dan kolaborasi antar siswa lebih ditekankan pengembangannya daripada kompetisi.
e.       Nilai-nilai seperti fairness, saling menghormati dan kejujuran adalah bagian dari pembelajaran setiap hari, baik di dalam maupun diluar kelas.
f.       Para siswa diberi keleluasaan untuk mempraktikkan perilaku moral melalui kegiatan pembelajaran untuk melayani (service learning).
g.      Disiplin kelas dan pengelolaan kelas dipusatkan pada pemecahan masalah dari pada dipusatkan pada penghargaan dan hukuman.
h.      Model lama berupa pendekatan berbasis guru yang otoriter tidak pernah lagi diterapkan di dalam kelas, tetapi lebih dikembangkanm suasana kelas yang demokratis dimana para guru dan para siswa melaksanakan semacam pertemuan kelas untuk membangun kebersamaan, menegakkan norma-norma yang disepakati bersama, serta memecahkan persoalan bersama-sama.
Beberapa metode yang sesuai dengan pendidikan karakter, Lickona (1991) menyarankan agar pendidikan karakter berlangsung efektif maka guru dapat mengusahakan implementasi berbagai metode seperti bercerita tentang berbagai kisah, cerita atau dongeng yang sesuai, menugasi siswa membaca literatur, melaksanakan studi kasus, bermain operan diskusi, debat tentang moral dan juga penerapan pembelajaran kooperatif. Pada prinsipnya guru dan seluruh warga sekolah tidak dapat mengelak dan berkewajiban untuk selalu mengajarkan nilai-nilai yang baik yang harus dilakukan, serta nilai-nilai buruk yang seharusnya dicegah dan tidak dilakukan pada setiap program sekolah.
Hal yang perlu diingat bahwa penggunaan berbagai metode pembelajaran dibawah ini tentu akan lebih leluasa pada mata pelajaran yang mengandung instuctional effect maupun nurturant effect yaitu mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan. Sedangkan mata pelajaran yang lain hanya berdampak pada nurturant effect penggunaan metode pemebelajaran disesuaikan dengan bahan ajar. Sejumlah metode pembelajaran berikut ini berasal dari best practices di negara-negara maju, khususnya di negara amerika Serikat, tetapi tentu saja guru dapat secara leluasa menggunakan metode yang lain.[10] Demikianlah pendidikan karakter yang terdapat di Amerika Serikat.
D.    Pendidikan Karakter di Indonesia
Pendidikan karakter bukan hal baru dalam tradisi pendidikan di Indonesia, beberapa pendidik seperti R.A. Kartini, Ki Hadjar Dewantara, Soekarno, Hatta, dan lainnya telah menerapkan semangat pendidikan karakter sebagai pembentuk kepribadian dan identitas bangsa sesuai konteks dan situasi yang dialami.
Pemahaman tentang Pancasila merupakan sesuatu yang fundamental bagi kehidupan bangsa. Dalam pendidikan, misalnya, pada masa Orde Lama, untuk membantu pembentukan karakter bangsa Pendidikan Budi Pekerti menjadi salah satu pelajaran dalam Kurikulum SD 1947, kemudian digabung dengan Pendidikan Agama Islam dalam kurikulum 1964 dengan nama Agama/Budi Pekerti dan ada mata pelajaran khusus tentang kewarganegaraan yang disebut civics.
Pada masa Orde Baru, Pancasila sebagai ideologi bangsa dan dasar negara dibudayakan dengan lebih sistematis dengan mewajibkan mengikuti Penataran Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), dan diadakannya sebuah mata pelajaran khusus yaitu Kewarganegaraan Negara Indonesi, Pendidikan Moral Pancasila (PMP).
Pendidikan budi pekerti timbul tenggelam dalam kurikulum pendidikan di Indonesia. Terkadang pendidikan budi pekerti dianggap mata pelajaran khusus, atau terintegrasi dengan mata pelajaran lain, hal ini menunjukkan bahwa bangsa ini memiliki keprihatinan mendalam tentang pembentukan karakter bangsa. [11]
Belakangan ini, pendidikan karakter di Indonesia kembali muncul ke permukaan. Melihat semakin rusaknya  moral yang terjadi Indonesia para stake holder pendidikan berupaya mencari solusi untuk menangani masalah moral ini. Jika dilihat, banyak sekali orang yang tidak bermoral seperti melakukan korupsi adalah para orang yang berintelektual. Jadi, dalam pendidikan seharusnya tidak hanya mengedepankan aspek kognitif yang hanya menjadikan orang pandai melainkan pendidikan harus mampu mencetak orang yang bermoral. Oleh karena itu pendidikan karakter dipandang sangatlah penting.
Menurut Kemnediknas (2010), nilai-nilai luhur sebagai pondasi karakter bangsa yang dimiliki oleh setiap suku di Indonesia ini, di antaranya sebagai berikut:
1.      Religius, yaitu sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleransi terhadap pelaksanaan ibadah, agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2.      Jujur, yaitu perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan
3.      Toleransi, yaitu sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4.      Disiplin, yaitu tindakan yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam berbagai ketentuan dan peraturan
5.      Kerja keras, yaitu perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas,serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
6.      Kreatif, yaitu berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki
7.      Mandiri, yaitu sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugasnya
8.      Demokratis, yaitu cara berfikir, bersikap, dan bertindak ysng menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain
9.      Rasa ingin tahu, yaitu sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lenih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengarkan.
10.  Semangat kebangsaan, yaitu cara berfikir, bertindak, berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa, dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11.  Cinta tanah air, yaitu cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bangsa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
12.  Menghargai prestasi, yaitu sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuat yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui serta menghormati keberhasilan orang lain.
13.  Bersahabat atau komunikatif, yaitu tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14.  Cinta damai, yaitu sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15.  Gemar membaca, yaitu kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16.  Peduli lingkungan, yaitu sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17.  Peduli sosial, yaitu sikap dan tindakan yang selalu memberikan bantuan orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18.  Tanggung jawab, yaitu sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan(alam, sosial, dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.[12]
Desain pendidikan karakter berdasarkan desain utama yang dikembangkan oleh kemendiknas (2010) secara psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu itu merupakan fungsi dari seluruh potensi individu manusia, baik dalam aspek kognitif, afektif, konatif, dan psikomatorik, dalam konteks interkasi soasial kultural dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat dan sifatnya berlangsung sepanjang hayat.
Membuat peserta didik berkarakter adalah tugas pendidikan, yang esensinya adalah membangun manusia seutuhnya, yaitu manusia yang baik dan  berkarakter. Pengertian baik dan berkarakter mengacu pada norma yang dianutnya, yaitu nilai-nilai luhur Pancasila.
Hal ini sesuai dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional Indonesia yang termuat dalam UU no 20 tahun 2003 yaitu pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[13] Artinya bahwa pemerintah Indonesia telah mencanangkan untuk mengutamakan pendidikan karakter pada setiap jenjang pendidikan yang dilangsungkan. Setidaknya ada sepuluh aspek yang diharapkan berkembang dalam diri peserta didik, yaitu beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, menjadi warga negara yang demokratis, dan bertanggung jawab. Terdapat tujuh dari sepuluh aspek tersebut lebih dekat dengan pembentukan karakter. Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan bahwa pembentukan karakter siswa jauh lebih penting dari pada menyehatkan badannya, mengisi otaknya dan membuatnya menjadi manusia yang cakap.

Agama dapat dijadikan nilai dasar dalam pendidikan, termasuk pendidikan karakter. Pendidikan karakter berbasis agama merupakan pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai berdasarkan agama yang membentuk kepribadian, sikap, dan tingkah laku yang utama dan luhur dalam kehidupan. Dalam agama Islam pendidikan karakter memiliki kesamaan dengan pendidikan akhlak.[14]

BAB III
PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

A, Doni Koesoema. Pendidikan Karakter (Strategi Mendidik Anak di Zaman Global). Jakarta: Grasindo
Hariyanto, & Muchlas Saman. 2012. ”Konsep dan Model Pendidikan Karakter”. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Kurniawan, Syamsul. 2013. Pendidikan Karakter (Konsepsi dan Implementasinya secara Terpadu di Lingkungan Keluarga, Sekolah, Perguruan Tinggi, dan MasyarakatSS. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media 
Nashir, Haeder. 2003. Pendidikan Karakter Brbasisis Agama & Budaya. Yogyakarat:Multi Presindo
Salahudin,Anas. 2013. Pendidikan Karakter-Pendidikan Berbasis Agama dan Budaya Bangsa Bandung: CV Pustaka Setia
Sudewo, Erie. 2011. Best Practice Character Building :Menuju Indonesia Lebih Baik. Jakarta: Republika
UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1
UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3
Wibowo, Agus. 2012. Pendidikan Karakter-Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban Yogyakarta: Pustaka Pelajar





[1] Syamsul Kurniawan, Pendidikan Karakter (Konsepsi dan Implementasinya secara Terpadu di Lingkungan Keluarga, Sekolah, Perguruan Tinggi, dan Masyarakat, (Yogyakarta:Ar-Ruzz Media, 2013), hal. 27
[2] UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1
[3] Anas salahudin, Pendidikan Karakter-pendidikan berbasis agama dan budaya bangsa (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2013), hal. 43-45.
[4] Syamsul Kurniawan, Pendidikan Karakter (Konsepsi dan Implementasinya secara Terpadu di Lingkungan Keluarga, Sekolah, Perguruan Tinggi, dan Masyarakat , (Yogyakarta:Ar-Ruzz Media, 2013), hal. 28 - 29
[5] Anas salahudin, Pendidikan Karakter-pendidikan berbasis agama dan budaya bangsa (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2013), hal. 43-45.
[6] Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter (Strategi Mendidik Anak di Zaman Global), (Jakarta: Grasindo, 2010), hlm. 42-44.
[7] Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter (Strategi Mendidik Anak di Zaman Global), (Jakarta: Grasindo, 2010), hlm.30-34.
[8] Muchlas Samani, Hariyanto.2012.”Konsep dan model Pendidikan Karakter”. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hal 100-105
[9] Muchlas Samani, Hariyanto.2012.”Konsep dan model Pendidikan Karakter”. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hal 139-140
[10] Muchlas Samani, Hariyanto.2012.”Konsep dan model Pendidikan Karakter”. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hal 147-148
[11] Doni Koesoema A., Pendidikan Karakter (Strategi Mendidik Anak di Zaman Global), (Jakarta: Grasindo, 2010), hlm. 44-51
[12] Agus Wibowo, Pendidikan Karakter-Strategi Membangun karakter bangsa berperadaban (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2012), hal. 43-44.
[13] UU no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3
[14] Haeder Nashir, Pendidikan Karakter Brbasisis Agama & Budaya, (Yogyakarat:Multi Presindo, 2003), hal. 23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar