Minggu, 04 Januari 2015

jender dan wacana keagamaan



                                Jender dan Wacana Keagamaan



                                           Munawwar Khalil
                    


Memerangi ketidakadilan – termasuk ketidakadilan jender – sepanjang sejarah kemanusiaan selalu menjadi tema menarik dan tetap akan menjadi tema penting dalam setiap pemikiran dan konsepsi tentang kemasyarakatan di masa yang akan datang. Sejarah manusia dalam memerangi ketidakadilan sosial telah melahirkan analisis dan teori sosial yang hingga saat ini masih berpengaruh dalam membentuk sistem kemasyarakatan umat manusia.
Dari berbagai gugatan terhadap ketidakadilan tersebut,terdapat satu analisis yang mempertanyakan ketidakadilan sosial dari aspek hubungan antar jenis kelamin. Analisis yang dimaksud adalah analisis jender.
Tugas utama analisis jender  adalah memberi makna, konsepsi, asumsi, ideologi, dan praktik relasi baru antara kaum perempuan dan laki-laki serta implikasinya terhadap aspek kehidupan lainnya yang lebih luas.Wacana keadilan jender[1] atau pola relasi yang adil dan demokratis terutama yang berkaitan dengan hak-hak perempuan telah muncul sebagai masalah yang penting untuk diperbincangkan, termasuk dalam diskursus agama.
Dengan analisis jender ini, para mufassir feminis "mengutak-atik " ayat-ayat yang berkaitan dengan relasi jender melalui pra-konsepsi tertentu yang memposisikan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Pra-konsepsi ini bukannya muncul begitu saja, melainkan dirunut dari berbagai ayat al-Qur'an sendiri yang memang dinilai tidak membedakan posisi laki-laki dan perempuan . Para mufassir feminis sepakat bahwa al-Qur'an diwahyukan sebagai sarana Islam untuk menempatkan perempuan sebagai makhluk yang bermartabat.
Bagi ahli tafsir feminis, sangat perlu dilakukan kajian kritis dan reinterpretasi kembali terhadap teks-teks al-Qur'an dan hadits. Sebab teks-teks itu kebanyakan hanya ditafsirkan oleh kaum laki-laki, sehingga sangat mungkin akan terjadi bias patriarkhi. Posisi laki-laki dan perempuan dalam al-Qur'an adalah setara (al-musâwah), bukan subordinat di bawah laki-laki. Al-Qur'an tidak hanya menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan benar-benar setara dalam pandangan Allah tapi juga bahwa mereka merupakan anggota-anggota dan pelindung satu sama lain. Dengan kata lain, al-Qur'an  tidak menciptakan hirarki yang menempatkan laki-laki di atas perempuan.
Menurut Engineer, ada beberapa alasan untuk menunjukkan bahwa posisi laki-laki dan perempuan dalam agama adalah setara. Pertama, al-Qur'an memberikan tempat yang sangat terhormat kepada seluruh manusia baik laki-laki maupun perempuan. Banyak ayat al-Qur'an yang mempertegas hal ini, seperti pernyataan bahwa perbedaan setiap individu adalah ketaqwaan (QS. Al-Hujurat [49]: 13), pahala seseorang tergantung amal baiknya (QS. Al-Mu'min [40]: 39-40); (QS. An-Nisa[4] : 124) dan lain-lain. Kedua, sebagai masalah norma, al-Qur'an membela prinsip-prinsip kesetaraan laki-laki dan perempuan. Al-Qur'an memberikan bagian harta warisan kepada mereka, dari yang sebelumnya tidak memperoleh bagian, bahkan menjadi harta yang diwariskan (QS.an-Nisa'[4]:23); membenci tradisi masyarakat Arab saat pewahyuan yang tidak menghargai kelahiran anak perempuan, atau bahkan membakar mereka hidup-hidup (QS.at-Takwir[81]:9) dan melarang praktek-praktek semacam itu, baik melalui janji pahala bagi yang memperlakukan perempuan dengan baik dan mengancam dengan siksa bagi yang memperlakukan mereka secara tidak adil maupun dengan memberikan hak-hak kepada perempuan yang sebelumnya diabaikan dalam masyarakat jahiliyah.
Salah satu ayat al-Qur'an yang  sering dikutip para feminis untuk menguatkan pandangan tentang kesetaraan laki-laki dan perempuan ini adalah :

إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا (الاحزاب :  35 )

" Sesungguhnya laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dengan ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu', laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. "

Ayat di atas merupakan salah satu dalil yang dipergunakan sebagai keyakinan bahwa Islam mengajarkan prinsip persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Namun dalam ranah yang lain, beberapa keterangan dari al-Qur'an maupun hadits sebagai sumber hukum Islam melahirkan ragam penafsiran yang bias terhadap keadilan jender. Berikut ini kami kemukakan beberapa persoalan krusial yang sampai saat ini masih menjadi perbincangan kalangan umat Islam tentang persoalan jender :

Hawa Tercipta dari Tulang Rusuk Adam (?)

            Dalam surah al-Nisa' ayat 1, Allah berfirman bahwa asal muasal manusia baik lelaki maupun perempuan tidaklah berbeda yakni dari nafs yang satu (min nafs wâhidah ).

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

" Wahai manusia bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari nafs yang satu, juga yang darinya diciptakan pasangannya[2], lalu dari keduanyalah menyebar manusia lelaki maupun perempuan yang sangat banyak"

Umumnya ahli tafsir seperti al-Suyuti, al-Baidhawi, Ibnu katsir dan al-Qurtubi mengartikan nafs dengan Adam. Bahkan seorang mufassir dari kalangan Syiah mengklaim pendapat itu sebagai ijma' seluruh ulama.[3] Dengan demikian  maka menjadi kokohlah pandangan yang mensubordinasikan perempuan di bawah laki-laki. Namun kalau kita perhatikan sekali lagi ayat di atas menggunakan bentuk nakirah/indefinitif "dari satu diri" (min nafsin), bukan dalam bentuk ma'rifah/definitif (min al-nafs), berarti menunjukkan kekhususan (yufîd al-takhshîsh) lalu diperkuat dengan kata "yang satu" (wâhidah) sebagai sifat dari min nafsin. Semuanya itu menunjukkan  kepada substansi utama ( the first resources ), yakni asal (unsur) kejadian Adam, bukan Adam-nya sendiri sebagai secondary resources. Disamping itu, seandainya yang dimaksud kata nafs ialah Adam, mengapa tidak digunakan kata wâhidin dengan bentuk jender laki-laki (mudzakkar), tetapi yang digunakan kata wâhidah dalam bentuk perempuan (mu'annats). Walaupun kita tahu bahwa kata nafs[4]  masuk kategori mu'annats sebagaimana beberapa ism' alam lainnya tetapi dalam al-Qur'an sering dijumpai shifat itu menyalahi bentuk maushuf-nya kemudian merujuk ke hakekat yang di-shifat-i, jika yang di-shifat-i itu hendak ditekankan oleh si pembicara (mukhâtab)[5]. Sedangkan ulama mutakhir seperti Muhammad Abduh dan juga al-Qasimi berpendapat lain, bahwa yang dimaksud nafs dalam ayat ini bukan Adam, melainkan berarti jenis.[6] Implikasinya, karena manusia lelaki dan perempuan diciptakan dari jenis  (bahan baku) yang sama, maka kedudukan mereka pun setara; tidak ada keunggulan apriori yang satu atas lainnya.
Telah menjadi 'mitos' pula bahwa Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam. Hal itu bermula dari sebuah cerita yang tercantum dalam Kitab Perjanjian Lama. Dan di kalangan umat Islam beredar sebuah hadits riwayat Abu Hurairah dengan isi yang senada :
استوصوا بالنساء فاء نهن خلقن من ضلع ا عوج

" Saling berpesanlah kalian untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusak yang bengkok "

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim ini oleh para ulama terdahulu selalu dipahami secara harfiah. Namun, tidak sedikit ulama mutakhir yang memahaminya secara metaforis (majâzi), bahkan ada yang menolak kesahihan hadits tersebut, dengan alasan tidak sesuai dengan ayat al-Nisa' yang menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan diciptakan dari bahan ( nafs, jenis ) yang sama. Rasyid Ridha mengomentari hal ini, " seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Kitab Perjanjian Lama ( Kejadian II:21), dengan redaksi yang mengarah pada pemahaman hadits secara harfiah, niscaya pendapat yang salah itu tidak akan pernah terlintas dalam benak orang-orang Islam."[7]
Sementara itu yang memahaminya secara metaforis (majazi) berpendapat bahwa pada dasarnya hadits itu memesankan kepada kita untuk selalu bertindak sebaik dan sebijaksana mungkin terhadap perempuan. Karena (entah sebab kodrati atau akibat konstruksi sosial),  perempuan tidak begitu saja bisa diperlakukan atau dipikuli beban, terutama fisik, yang sama beratnya dengan laki-laki.

Perempuan Tak Boleh Jadi Pemimpin

Dalam surah al-Nisa' ayat 34 Allah Swt. berfirman :

 الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِم

" Kaum pria adalah pemimpin dari kaum perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (pria) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (pria) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka."

Dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut, yang mengisyaratkan kelebihan pria atas wanita, Muhammad Rasyid Ridhâ (1865-1935) cenderung berpendapat bahwa ayat-ayat itu terutama dimaksudkan sebagai pengaturan hubungan antara pria dan wanita dalam kehidupan keluarga, hubungan antara pria sebagai suami dan wanita sebagai isteri serta ibu rumah tangga. Keluarga adalah unit masyarakat terkecil yang sudah barang tentu memerlukan pimpinan; dan suami,  dengan beberapa kelebihan atas perempuan, termasuk kelebihan fisik dan pencari nafkah untuk keluarga lebih berhak memegang kepemimpinan keluarga. ( Tetapi tidak berarti bahwa wanita tidak mempunyai hak sama sekali atas kepemimpinan ). Juga tidak dapat ditafsirkan bahwa kelebihan pria atas peempuan berakibat bahwa pria dan perempuan tidak terdapat persamaan, baik kedudukan maupun hak dan kewajiban.
Tetapi tidak demikian pendapat banyak ilmuan Islam yang lain. Misalnya, Abû'l A'lâ al-Maûdûdi (1903-1979). Menurutnya, perempuan tidak boleh mendudukijabatan-jabatan kunci pemerintahan, bahkan termasuk keanggotaan Majelis Syura atau DPR. Tetapi, pada tahun 1964, sewaktu Fatimah Jinnah,saudara perempuan Pendiri Pakistan, Mohammad Ali Jannah, mencalonkan diri sebagai Presiden Pakistan, Al-Maududi tidak hanya memberikan fatwa agar rakyat Pakistan memilih Fatimah Jinnah, tetapi turut aktif berkampanye untuk adik perempuan pendiri Pakistan itu. Sikap politik yang tidak sesuai dengan pandangannya terhadapa perempuan itu kiranya terdorong oleh obsesi al-Maududi menentang Jenderal Muhammad Ayub Khan,calon lain untuk jabatan Presiden Pakistan. Disinilah letak kebangkrutan teori politik al-Maududi.
Dalam Tafsîr Jalâlain, kata qawwâm(ûn) dalam ayat di atas ditafsirkan sebagai musallith(ûn), yang berarti menguasai atau mensultani. Dengan tafsir itulah dilahirkan (dibenarkan) pandangan masyarakat bahwa perempuan (istri) adalah konco wingking, atau sekedar lampiran bagi suaminya. Semua keputusan ada di tangan lelaki sedangkan perempuan hanya tinggal mengikuti,melaksanakan-suka atau tidak suka -. Secara bahasa barangkali bisa saja kata qawwâm diartikan sebagai menguasai. Akan tetapi mengapakah dua kata yang sama di tempat lain yang tidak bicara soal hubungan suami-istri - dan memang hanya ada di dua tempat – diartikan qâim(în) yang berarti penguat atau penopang. Yakni dalam  surah al-Nisa'(4) :135 dan al-Ma'idah(5) : 8.[8] Kita bisa bertanya, kenapa kata qawwâm(ûn) dalam al-Nisa' : 34 tidak diartikan dengan penopang atau penguat ? sehingga ayat itu artinya " Kaum lelaki adalah  penguat / penopang kaum perempuan.."  Dengan pengertian seperti ini , maka secara normatif sikap suami kepada istri bukanlah 'menguasai atau mendominasi dan cenderung memaksa ' ' melainkan mendukung dan mengayomi. Bukankah pengertian ini yang lebih  sesuai dengan prinsip mu'âsyarah bil ma'rûf (QS. Al-Nisa'(4): 19 ) dan prinsip saling melindungi ( QS. Al-Baqarah (2) : 187) ?

                Poligami

                Agama seringkali juga jadi legitimasi terhadap dibolehkannya poligami. Bahkan ada yang menganggap hal itu bagian dari sunnah, karena Nabi sendiri konon memiliki isteri sampai sembilan orang. Ayat yang dipakai sebagai dasar berpoligami ini adalah surah An-Nisa' ayat 3 :

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلا تَعُولُوا
               
" Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu sukai: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian adalah itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya."

Ayat tersebut di atas sering ditafsirkan secara "keliru" oleh kebanyakan mufassir, untuk tidak mengatakan semuanya. Dalam al-Qur'an maupun dalam keseharian Nabi Saw. memelihara anak yatim atau anak yang terlantar selalu mendapat perhatian besar dan dianggap sangat penting. Izin poligami dalam al-Qur'an sesungguhnya berkaitan erat dengan masalah tersebut. Jika kita mau membaca tentang ayat poligami tersebut, sebetulnya fokus utamanya adalah menyantuni ayat yatim. Jadi, yang dimaksud "pernikahan" dalam ayat itu adalah menikahi ibu anak yatim. Penafsiran ini tidak bisa diragukan lagi, karena ayat ini turun ketika banyak laki-laki meninggal sehingga banyak janda dan anak-anak yatim. Oleh sebab itu sebenarnya pesan moral al-Qur'an tentang masalah ini adalah : 1) agar anak yatim ini dipelihara dan disantuni,2) ayat ini bicara tentang keadilan, sehingga dapat disimpulkan bahwa poligami sebenarnya hanya dibolehkan dalam kondisi sulit seperti itu (darurat)[9]. Hal senada juga pernah disampaikan oleh Muhammad Syahrur, seorang pemikir Islam kontemporer dari Syiria yang cukup kontraversial. tentang poligami ( ta'addudu az-zawjât ) beliau menyatakan …ta'addudu az-zawjat durûfun idtirâriyyah wa anna asasa al-'adad fi az-zawâj huwa al-wahdah ( sesungguhnya poligami itu terkait dengan konteks yang sangat darurat dan pada dasarnya Islam menganut prinsip monogami ). Syahrur memasukkan persoalan poligami pada wilayah ayat-ayat hudud. Lebih lanjut, menurut Syahrur meskipun poligami itu boleh, tapi ada syarat yang sangat penting untuk dipenuhi yaitu sifat adil. Demikian pula tujuan poligami yang diidealkan al-Qur'an adalah limusâ'adatil arâmil wa aitam, yaitu untuk membantu para janda dan anak-anak yatim.[10]
                Berkaitan dengan poligami Nabi, menurut Riffat Hassan sebenarnya juga demikian kondisinya. Beliau pertama menikah dengan Khadijah ketika beliau  usia 25 tahun dan itulah perkawinan yang terpenting bagi beliau. Nabi tidak menikah lagi sampai umur 50 tahun. Jadi, selama masa suburnya beliau monogami dan menikah hanya sekali.[11] Kalau demikian, secara tegas dapat dikatakan bahwa pernikahan Nabi yang poligami tersebut bukan untuk memperturutkan nafsu seksnya, tapi lebih pada penyantunan  janda-janda dan anak-anak yatim. Di samping itu, dalam poligami Nabi ada hikmah yang bersifat edukatif, psikologis, ekonomis dan bahkan politis.[12] Sebab, secara logika, jika Nabi lebih menginginkan tuntutan seksnya, mestinya beliau menikah menikahi gadis-gadis  yang masih muda atau perawan. Tetapi mengapa hal itu tidak dilakukan oleh beliau ?

Kebolehan Memukul Istri

Bagi umat Islam al-Qur'an merupakan kitab petunjuk yang menjelaskan bagaimana seharusnya kita hidup, termasuk dalam hal ini hubungan keluarga. Apa yang dikatakan al-Qur'an itulah aturan agama. Namun, seringkali karena persoalan tafsir hingga tercetuslah berbagai pemahaman yang seolah-olah meletakkan Islam sebagai agama yang membenarkan tindak kekerasan dalam hubungan berumah-tangga.
Salah satu ayat yang sering distir sebagai petunjuk kebolehan melakukan tindak kekerasan, khususnya kepada isteri/perempuan adalah surah al-Nisa' ayat 34 :

 وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا

Amina Wadud dengan merujuk kamus Lisanul 'Arab , kata dharaba dalam ayat tentang kasus nusyuz ( pembangkangan istri kepada suami ) yang berbunyi fadhribuhunna, tidak harus berarti " memukul " yang merujuk pada penggunaan paksaan atau kekerasan, sebab kata tersebut memiliki banyak arti. Kata dharaba, dapat pula berarti " membuat " atau " memberi contoh ", seperti ayat : Wadharaba Allahu matsalan ( artinya : Dan Allah memberi suatu perumpamaan atau contoh ). Kata dharaba juga digunakan untuk pengertian meninggalkan atau menghentikan suatu perjalanan. Bahkan lebih dari itu kata dharaba ada yang bermakna a'radha 'anhu wan sharafa ( berpaling dan meninggalkan untuk pergi), adapula yang berarti mana'a anhuat-tasharruf bi malihi (mencegahnya untuk tidak memberikan harta kepadanya ).[13]
                Oleh sebab itu, berdasarkan makna semantik tersebut, masih ada banyak kemungkinan penafsiran mengenai kata fadhribuhunna dalam Q.S. an-Nisa' (4) : 34 . Kata fadhribuhunna dapat ditafsirkan dengan berpalinglah dan tinggalkanlah mereka, janganlah mereka (para istri) dikasih nafkah atau biaya hidup ( jika mereka terus melakukan nusyuz ). Inilah salah satu aliran tafsir feminis yang oleh sebagian orang  dipandang lebih dapat menghindarkan kekerasan ( fisik atau pemukulan ) dalam keluarga, ketika terjadi disharmoni atau percekcokan antara suani-istri. Bahkan ada yang  memaknai potongan ayat tersebut dengan, " jika isterimu membangkang (nusyuz)ajaklah ia jalan-jalan pergi untuk berekreasi, sehingga pikirannya menjadi cerah dan segar kembali. Setelah itu, niscaya ia akan taat kepadamu dan kehidupan keluargapun akan  lebih harmonis dan romantis kembali".
               
Warisan

Tanpa mengurangi rasa hormat kita kepada para fuqaha, memang ada beberapa hal dalam kitab fikh dinilai telah selesai memenuhi tugas historisnya. Jika kita konsisiten terhadap kaedah al-hukmu yaduur ma'a al-illah ( hukum mengikuti perkembangan zamannya ) maka fikih Islam sudah semestinya diadakan berbagai penyesuaian.
Satu lagi contoh yang membawa kita pada soal aplikasi hukum Islam terhadap 'eksistensi perempuan' yaitu soal waris. Porsi seorang anak perempuan dari harta warisan yang sebagaimana ditentukan islam adalah sepertiga (tsuluts). Seperti yang tercantum dalam ayat 11 surah al-Nisa' :

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ                                  
                   
                                     "..porsi laki-laki adalah seperti porsi dua perempuan.."

Bagaimana kita membaca hukum ayat  ini agar bisa relevan dengan dirinya dan sekaligus relevan dengan kondisi kekinian kita ?
Dalam rangka menjadikannya relevan dengan dirinya, pertama kita harus meletakkan ayat tersebut dalam konteks sosialnya yang lebih spesifik, yaitu konteks masyarakat tempat dimana ayat tersebut turun. Membandingkan dengan realitas sebelumnya, dimana perempuan pada waktu itu tidak diberi hak mewarisi, bahkan menjadi bagian  dari harta yang diwaris. Dari kenyataan itu, kita tahu bahwa penetapan syariat yang memberikan hak waris kepada kaum perempuan jelas merupakan suatu keputusan yang sangat revolusioner dan radikal. Dengan memberikan hak waris kepada keluarga perempuan yang sebelumnya justru merupakan objek warisan, Islam telah menetapkan sebuah norma bahwa perempuan dan lelaki, sama-sama sebagai subyek yang mewarisi. Mengenai kuantitas (jumlah) bagian waris perempuan hanya separo bagian lelaki, kita perlu melihat setting sosial ekonomi terutama dalam keluarga ketika itu. Yaitu, bahwa beban nafkah keluarga sepenuhnya merupakan tanggung jawab lelaki. Inilah latar sosial ekonomi yang di atasnya sistem pewarisan 2:1 diletakkan oleh  al-Qur'an di tengah-tengah masyarakat Arab lima belas abad yang lalu. Namun, masalahnya apakah struktur ekonomi keluarga dalam masyarakat kita hari ini masih seperti itu ? Pertanyaan ini memerlukan kajian atau pengamatan sosiologis yang teliti.
Bila pun perubahan struktur sosial ekonomi dalam sebuah masyarakat telah berubah dan formasi 2:1 tadi dianggap kurang adil , maka tidak ada halangan bagi kita untuk mengubah ketentuan pewarisan tersebut. Yang penting, ajaran prinsip (hal yang bersifat qath'i) dalam Islam tentang 'kemitraan' dan ' keadilan' tetap kita tegakkan. Kerangka analisis ini berlaku untuk memahami dan memetakan ajaran-ajaran Islam lainnya. Dengan kata lain, pembagian warisan buat perempuan (yang semula tidak kebagian bahkan jadi barang warisan)  sebanyak separo bagian lelaki adalah minimal. Artinya, jika dalam kasus-kasus tertentu tuntutan keadilan menghendaki pembagian lelaki-perempuan bisa sama banyak, atau bahkan perempuan yang lebih banyak. Sekali lagi yang sangat digaris bawahi oleh Allah bukanlah angkanya, tetapi semangat keadilan dan kesetaraannya sebagi subyek yang sama-sama mewarisi, setelah sebelumnya diperlakukan hanya sebagai obyek yang diwariskan.  

Jender yang Berkeadilan

Dari semua uraian di atas, akan membawa kita kepada pertanyaan sesungguhnya 'perubahan' ini kemana hendak kita arahkan ? Khususnya dalam kehidupan berkeluarga ? Apakah sekedar untuk membalik posisi; jika selama ini yang berkuasa dan dominan adalah lelaki ( suami ) lalu dengan gerakan sadar jender ini kita hendak menjadikan perempuan (istri) sebagai penguasa yang mendominasi lelaki (suami) ?
Sama sekali tidak. Persoalan kita sejak awal bukan  pada 'siapa yang harus mendominasi dan siapa yang didominasi' .Pada tahap analisis kenyataan barangkali hal itu penting untuk dilihat. Tapi goal (ghayah) kita bukan itu. Tujuan fundamental kita adalah menghilangkan dominasi itu sendiri;siapapun pelakunya, apakah lelaki atau perempuan, di dalam rumah tangga atau masyarakat. Alasannya sederhana, di dalam dominasi itu ada pengangkangan hak, ada pengingkaran eksistensi, yakni hak dan eksistensi yang didominasi. Sementara itu, lelaki maupun perempuan sebagai manusia adalah setara; yang satu tidak lebih manusia dibanding yang lain. Jika ada perbedaan, bukan karena jenis kelamin, melainkan karena amalnya. Dengan kata lain 'hubungan yang berkeadilan ' itulah sasaran kita.
Namun banyak orang rancu dan merancukan antara adil dan sama-serupa. Jika yang satu mencuci, yang lain juga harus mencuci;jika yang satu bekerja  di luar rumah, yang satunya juga harus demikian. Dan … kalau diteruskan, jika yang satu menjadi penyerang di depan, yang lainnya juga begitu. Apakah kalau begini bukannya justeru dapat merusak tatanan itu sendiri. Kalau semua jadi penyerang tidak ada yang jadi bek atau penjaga gawang, bagaimana jadinya ?
Keadilan seperti dirumuskan oleh Rasulullah Saw. adalah  terpenuhi hak bagi memilikinya secara sah. Dan hak pada saat yang sama, jika dilihat dari sudut pandang orang lain, adalah kewajiban. Oleh sebab itu, siapapun yang lebih banyak menunaikan kewajiban, atau yang memikul kewajiban lebih besar, dialah yang memiliki hak dibanding yang lain. Akan tetapi, sebagai manusia pada dasarnya bobot hak mereka tentu sama, dengan demikian bobot kewajibannya pun sama. Dan sebagai suami istri pun tidak ada  pihak yang secara apriori bisa dibilang lebih berat kewajiban/haknya dari yang lain. Anggapan bahwa  beban suami lebih berat ( beban produksi atau mencari mencari nafkah ) dibandingkan dengan beban isteri (beban reproduksi : mengandung, melahirkan dan menyusui ) tidak serta merta bisa kita terima. Anggapan seperti itu sama saja dengan mengatakan 'uang' lebih berharga ketiombang 'anak/manusia'.
Oleh karena tidak yang bisa dibilang lebih berbobot hak/kewajibannya dibanding yang lain, maka dalam mengatur dan menentukan  kehidupan mereka berdua prinsip musyawarah yang harus  dijadikan pegangan. Tidak ada satu keputusan yang secara apriori merupakan merupakan monopoli salah satu pihak, misalnya suami saja atau istri saja. Partisipasi kedua belah pihak dalam proses pengambilan keputusan itulah inti dari kehidupan adil yang kita coba ikhtiarkan. Kesepakatan dalam urusan keluaraga yang diambil melalui musyawarah yang bebas dan jujur inilah landasan esensial untuk apa yang kita sebut dengan hubungan/relasi yang berkeadilan , yang satu tidak akan merendahkan apalagi menafikan keberadaan/eksistensi pihak lain.
Akhirul kalam, tolak-ukur kriteria jender yang berkeadilan dapat dijelaskan sebagai berikut : a). Tidak ada jenis kelamin yang tersubordinasi dari yang lain, b). Tidak ada marginalisasi terhadap jenis kelamin dengan mengurangi atau menutup kesempatan, c). Bebas dari stereotype yang sebenarnya hanya mitos, d). Tidak ada yang menanggung beban lebih berat dari yang lain. Wallahu a'lam bissawâb.



[2]Terjemahan Departemen Agama RI mengartikan kata zauj dengan " isterinya " padahal kata zauj dalam bahasa Arab tidak mesti berarti isteri dan tidak mesti  memakai huruf ta marbutah ( zaujah )sebagai simbol perempuan ( muannats) untuk menunjukkan makna isteri , karena yang ditekankan pada ayat ini adalah pasangan (pair ), seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan yang berpasang-pasangan (QS. Thâhâ/20:53 dan al-Syûrâ/42:11). Lagipula kata ganti (dhamîr) yang merujuk ke Adam semuanya menggunakan dhamîr mudzakkar;di antaranya paling tegas ialah uskun anta wa zaujukal jannah (QS.al-Baqarah/2:35). Kata uskun sudah cukup mengisyaratkan Adam sebagai mudzakkar tetapi diperkuat (ta'kîd) dengan kata anta, kata ganti untuk orang pertama tunggal laki-laki.
[3] Lihat, Dr. Quraish Shihab, " Konsep Wanita menurut al-Qur'an, Hadits, dan Sumber-Sumber Ajaran Islam", dalam Lies Marcos dan J.H. Meulleman (ed.), Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual, INIS, Jakarta, 1993,hal.4.
[4] Menarik untuk dicermati, mengapa bahasa Arab, bahasa yang digunakan dalam al-Qur'an, beberapa benda alam atau nama-nama benda yang menakjubkan seperti matahari (al-syams), langit (al-samâ'), angin (al-rîh) tanah, bumi (al-ardl) jiwa  (al-nafs), dan lain sebagainya dikategorikan dalam bentuk (bahasa) perempuan (mu'annats) ? Boleh jadi ini berkaitan dengan  mitologi Mesir Kuno dan Asia Tengah pada umumnya yang menganut faham The Mother God. Bulan (al-qomar) misalnya, dianggap sebagai " Ibu Alam Semesta  "  ( The Mother of Universe ) karena mempunyai cahaya yang membawa kesuburan dan sangat penting dalam pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup. Bangsa Arab sebelum datangnya Islam, masih banyak menganggap bulan sebagai dewi yang sangat berpengaruh, dan menurut Owen, dari sinilah sebabnya mengapa umat Islam sejak awal sampai sekarang menjadikan bulan sebagai simbol dan sabit menjadi semacam lambang " Palang Merah " dunia Islam. ( Lihat Barbara Walker, The Women's Eincyclopedia of Myths and Sacrets, San fransisco, Harper & Row, 1983,h.669. Lihat pula Lara Owen, Her Blood is gold, Celebrating the power of Menstruation, San Fransisco: Harper San Fransisco, 1993,h. 30-31.
[5] Misalnya dalam QS. Al-A'râf/7:56 (In-na rahmat-a-'l-Lâh-i-qarîb-un minal-muhsinîn), mestinya dikatakan qarîbah sebagai sifat dari rahmah yang berbentuk mu'annats, akan tetapi karena shifat men-shifat-i hakekat maushûf yakni al-ihsân yang berbentuk mudzakkar maka shifat pun harus mudzakkar lalu digunakan kata qarîb.
[6]  Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manâr, Dâr Al-Manâr,Al-Qâhirah, 1367,Vol.IV,hal.323.
[7] Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manâr, op.cit.33
[8] Jalal al-Din al-Mahalli dan Jalal al-Din al-Suyuthi, Tafsîr al-Qur'an al-Azhîm,Dâr al-Fikr, Beirut, 1981. hal. 96 dan 89.
[9]  Riffat Hassan dalam Ulumul Qur'an Vol II, Feminisme dan Al - Qur'an, Percakapan dengan Riffat Hassan, hal. 86-87.
[10]  Muhammad Syahrur, al-Qur'an wal Kitaab Qira'ah Mu'âsirah ( Damaskus : al-Ahalili ath-Thibaa'h wa an-Nasyr 1993), hal. 597-599.
[11] Ibid
[12] Lihat uraian selanjutnya Muhammad Ali as-Shabuni, Rawâi'u al-Bayân Tafsir Ayat al-Ahkâm min al-Qur'an, jilid II ( Beirut : Dâr al-Fikr,tth), hal. 316-324.
[13]  Louis Ma'luf, al-Munjid fi al-Lughat al-'Arabiyah, cet. I ( Beirut : tp tth ) hal. 463

Tidak ada komentar:

Posting Komentar