Minggu, 04 Januari 2015

MAKALAH PENGANTAR STUDI ISLAM KAJIAN BAYANI DALAM STUDI ISLAM,STUDI TERHADAP KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM



MAKALAH PENGANTAR STUDI ISLAM
KAJIAN BAYANI DALAM STUDI ISLAM,STUDI TERHADAP KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
Dosen Pengampu: Suwadi



 










Di susun oleh:
·                     Guntur Satria Jati                                (11410058)








JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA 2011

BAB1
PENDAHULUAN
Latar belakang
Pada dasarnya ilmu pengetahuan manusia secara umum hanya dapat dikategorikan menjadi tiga wilayah pokok : Natural science, Sosial dan Humanities. Namun dalam makalah kali ini akan dibahas tentang rancang bangun akademik ilmu -  ilmu keislaman yang dikotomis-atotismis, yaitu Bayani, Burhani dan Irfani. Dalam makalah ini akan mengedepankan kajian Bayani terhadap kurikulum PAI. Menurut Al-Jabiry, corak epistemologi Bayani didukung oleh pola pikir fiqh dan kalam.Dalam tradisi keilmuan dalam agama islam di IAIN dan STAIN besar kemungkinan juga pengajaran agama islam di sekolah-sekolah, PT umum negeri atau swasta dan lebih – lebih dipesantren – pesantren corak pemikiran keislaman model Bayani sangatlah mendorninasi dan bersifat hegemonik sehingga sulit berdialog dengan epistemologi Irfani dan Burhani. Oleh karenanya disebut sebagai model Dikotomis – Atomistik.
Sebenarnya ketiga kluster sistem Epistemologi Ulumuddin ini masih berada dalam satu rumpun, tetapi dalam praktiknya hampir – hampir tidak pernah mau akur. Bahkan tidak jarang saling kafir mengkafirkan, murtad memurtadkan dan sekuler mengsekulerkan antar masing – masing penganur tradisi epistemologi tersebut.Oleh karena itu, pola pikir tekstual Bayani lebih dominan secara politik dan membentuk main-stream pemikiran keislaman yang hegemonik.Sebagai akibatnya pola, pemikiran keagamaan islam model bayani menjadi kaku dan rigid.Otoritas teks dan otoritas salaf yang dibakukan dalam kaidah-kaidah metodologi ushul fiqh klasik lebih diunggulkan daripada sumber otoritas keilmuan yang lain seperti ilmu-ilmu kealaman (kauniyyah), akal (aqliyyah), dan intuisi (wijdaniyyah).Dominasi pola pikir tekstual ijtihadiyah menjadikan sistem epistemologi keagamaan islam kurang begitu peduli terhadap isu-isu keagamaan yang bersifat kontekstual.




Rumusan masalah
1.      Apa yang dimaksud kajian bayani?
2.      Bagaimana hubungan kajian bayani terhadap studi islam?
3.      Bagaimana hubungan antara kajian bayani dengan kurikulum pendidikan agama islam?
Tujuan Makalah
·         Memahami pengertian luas tentang kajian bayani dalam studi islam
·         Mengetahui hubungan kajian bayani dengan kurikulum pendidikan agama islam















BAB II
PEMBAHASAN
Bayani secara etimologis mempunyai pengertian penjelasan, pernyataan dan ketetapan.Sedangkan secara terminology bayani berarti pola pikir yang bersumber pada nash, ijma’, dan ijtihad.Epistemologi bayani adalah pendekatan dengan cara menganilisis teks.Maka sumber epitimologi bayani adalah teks. Sumberteks dalam studi islam dapat di kelompokkan menjadi 2 yakni:
1.      Teks nash (alquran dan sunnah nabi SAW)
2.      Teks non nash berupa karya para ulama
Objek kajian yang umum dengan pendekatan bayani adalah:
1.      Gramatika dan sastra (nahwu dan balaghah)
2.      Hukum
3.      Filologi
4.      Teologi
5.      Dalam beberapa kasus dibidang ilmu-ilmu alquran dan hadist
Artinya metode bayani adalah sebentuk epistemology yang menjadikan teks tertulis seperti alquran, hadist, pendapat atau fatwa ulama, sebagai bentuk basis utama untuk membentuk pengetahuan.Pola bayani (kajian semantik), pola ini lebih menitik beratkan pada kajian bahasa  dalam bentuk penafsiran gramatikal, seperti kapan suatu kata itu berarti hakiki atau majazi. Bagaimana cara memilih salah satu arti kata musytarak, mana yang qath’I serta mana ayat yang zanni dan sebagainya.
Kemudia secara garis besar epistemologi bayani merupakan suatu cara mendapatkan pengetahuan dengan berpijak pada teks, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dalam arti menganggap teks sebagai pengetahuan jadi, dan secara tidak langsung yaitu dengan melakukan penalaran yang berpijak pada teks ini. Dengan kata lain  sumber pengetahuan menurut epistemologi ini adalah teks atau penalaran yang berpijak pada teks. Bagi al-jabiri, istilah nalar bayani dimaksudkan sebagai sistem berpikiratau episteme yang menjadikan bahasa arab sebagai basis bagi sitem penalarannya, serta menjadikan qiyas (analogi) sebagai metode berpikirnya.Untuk itu perlu adanya terobosan ppendekatan pemikiran yang konstruktif agar teks yang ada dapat dipahami secara tepat dan komperehensif sehingga sesuai dengan konteks ujuan permasalahan yang ada.
A.    Tujuan Pendekatan Bayani
Metode bayani yang telah lama digunakan dan diterapkan oleh para ulama (fuqaha, mutakallimun dan ushuliyun) ini bertujuan untuk:
1.      Memahami dan menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam lafadz.
2.      Mengambil istinbath hukum- hukum dari al nushush ‘an diniyyah dan alquran khususnya.
Makna lafadz yang terkandung dalam nash (alquran dan hadits), dikehendaki oleh dan diekspresikan  melalui teks dapat diketahui dengan mencermati hubungan makna dan lafadz.Al jabiri menyatakan bahwa metode bayani yang digunakan dalam pemikiran arab baik dalam fiqh, nahwu atau teologi didasarkan pada mekanisme yang menjadi landasan bagi metode fuqaha. Hal ini dikarenakan para ulama ushul fiqh merangkum berbagai cabang ilmu yang sesuai dengan tujuan mereka dan menjadikannya sebuah ilmu.
Sedangkan dalam pandangan syafi’I , bayan adalah ungkapan yang mencakup berbagai macam makna yaaang mempunyai prinsip- prinsip yang sama namun cabangnya berbeda- beda, sebagian percabangan tersebut mempunyai bayan yang lebih kuat dibanding yang lain. Selanjutnya syafi’I mengklasifikasikan dan menetapkan aspek- aspek bayan dalam wacana alquran dan membaginya mejadi 5(lima) yaitu:
1.      Teks yang tidak membutuhkan ta’wil atau penjelasan dikarenakantelah jelas dengan sendirinya.
2.      Teks yang membutuhkan penyempurnaan dan penjelasan.
3.      Teks yang ditetapkan Allah dan teks tersebut dijelaskan oleh nabi.
4.      Teks yang tidak disebutkan al quran namun dijelaskan oleh nabi sehingga memiliki kekuatan sebagaimana teks alquran.
5.      Teks yang diwajibkan oleh Allah kepada hamba-Nya untuk berijtihad  Aljabiri menukilkan pendapat imam syafi’I yang mengarahkan pola pemikiran secara horizontal dengan menghubungkan furu’ dengan ashl (qiyas) dan secara vertikal dengan mengaitkan atu kata dengan beragam kata dalam kajian- kajian fiqh, bahasa dan teologi.
B.      Hubungan Kajian Bayani terhadap Studi Islam
Metode klasifikasi dan penyusunan leksikografi bahasa arab ini kemudian berpengaruh kepada disiplin- disiplin seperti studi islam. Menurut al jabiri metode qiyas bayani ini tampak dalam satu bentuk metodologi yang umum berlaku, baik di kalangan mutakalimin, kalangan hanbali, maupun mu’tazilah, yakni: istidlal bi al syahid (penalaran yang berangkat dari yang nyata ( dunia riil) untuk mwngukuhkan yang ghaib ( masalah- masalah ketuhanan).Ini pula  yang berlaku dalam studi- studi balaghah dan nahwu seperti diungkapkan dalam salah satu pernyataan al jurjani, bahwa “al tasybih qiyas” (mulasi atau perumpamaan merupakan salah satu bentuk analogi).
Kajian Bayani Dominasi pola pikir tekstual  Ijtihadiyah menjadikan sisten Epistemologi  keagamaan islam kurang begitu  peduli terhadap isu – isu keagamaan  yang bersifat kontekstual bahtsiyyah. Pengembangan pola pikir Bayani hanya dapat dilakukan jika ia mampu memahami, berdialog dan mengambil manfaat sisi – sisi fundamental yang dimiliki oleh pola pikir burhani maupun irfani dan begitu pula sebaliknya.
            Kelemahan yang paling mencolok  dari tradisi nalar epistemologi bayani atau tradisi berpikir tekstual keagamaan adalah ketika ia harus berhadapan dengan teks – teks keagamaan yang dimiliki oleh komunitas, kultur, bangsa / masyarakat yang beragama lain. Dalam berhadapan dengan komunitas lain agama, corak argumen berpikir keagamaan model tekstual bayani biasanya mengambil sifat mental yang bersifat dogmatif, defenisif, apologis dan polemis dengan semboyan kurang lebih semakna dengan “right or wrong is my country”. Hal demikian dapat saja terjadi karena fungsi dan peran akal pikiran manusia yang tidal lain hanyalah digunakan untuk mengukuhkan dan membenarkan otoritas teks.
            Sebagaimana dimaklumi bahwa kebenaran teks yang dipahami dan diakui oleh aliran, kelompok atau orang tertentu belum tentu dapat dipahami dan diakui secara sama dan sebangun oleh aliran, kelompok atau orang lain yang menganut agama yang sama. Apalagi dengan penganut agama yang berbeda.
            Dengan demikian peran akal pikiran manusia dalam memahami dan menafsirkan hal – hal yang terkait dengan soal – soal keberagaman atau religiositas manusia memang sangatlah terbatas. Sejak dahulu pola pikir bayani lebih mendahulukan dan mengutamakan Qiyas dan bukannya Mantiq lewat silogisme dan premis – premis logika. Di samping itu, nalar epistemologi bayani selalu mencurigai akal pikiran, karena dianggap akan menjauhi kebenaran tekstual. Sampai – sampai pada kesimpulan bahwa wilayah kerja akal pikiran perlu dibatasi sedemikian rupa dan perannya dialihkan menjadi pengatur dan pengekangm hawa nafsu, bukannya untuk mencari sebab dan akibat lewat analisis keilmuan yang akurat.
            Menyatunya “teks” dan “akal”  rupanya memunculkan kekakuan dan ketegangan – ketegangan tertentu, bahkan tidak jarang konflik dan kekerasan yang bersumber dari pola pikir ini. Untuk menghindari konflik tersebut epistemologi ini telah mempunyai mekanisme kontrol perimbangan pemikiran dari dalam ( internal control ) lewat epistemologi Irfani, yaitu pola pikir yang lebih bersumber pada intuisi bukannya teks.














DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar