MAKALAH PENGANTAR STUDI ISLAM
KAJIAN BAYANI DALAM STUDI ISLAM,STUDI TERHADAP KURIKULUM PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
Dosen Pengampu: Suwadi
Di susun oleh:
·
Guntur Satria Jati (11410058)
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA 2011
BAB1
PENDAHULUAN
Latar belakang
Pada dasarnya ilmu pengetahuan
manusia secara umum hanya dapat dikategorikan menjadi tiga wilayah pokok :
Natural science, Sosial dan Humanities. Namun dalam makalah kali ini akan
dibahas tentang rancang bangun akademik ilmu -
ilmu keislaman yang dikotomis-atotismis, yaitu Bayani, Burhani dan
Irfani. Dalam makalah ini akan mengedepankan kajian Bayani terhadap kurikulum
PAI. Menurut Al-Jabiry, corak epistemologi Bayani didukung oleh pola pikir fiqh
dan kalam.Dalam tradisi keilmuan dalam agama islam di IAIN dan STAIN besar
kemungkinan juga pengajaran agama islam di sekolah-sekolah, PT umum negeri atau
swasta dan lebih – lebih dipesantren – pesantren corak pemikiran keislaman
model Bayani sangatlah mendorninasi dan bersifat hegemonik sehingga sulit
berdialog dengan epistemologi Irfani dan Burhani. Oleh karenanya disebut
sebagai model Dikotomis – Atomistik.
Sebenarnya ketiga kluster sistem
Epistemologi Ulumuddin ini masih berada dalam satu rumpun, tetapi dalam
praktiknya hampir – hampir tidak pernah mau akur. Bahkan tidak jarang saling
kafir mengkafirkan, murtad memurtadkan dan sekuler mengsekulerkan antar masing
– masing penganur tradisi epistemologi tersebut.Oleh karena itu, pola pikir
tekstual Bayani lebih dominan secara politik dan membentuk main-stream
pemikiran keislaman yang hegemonik.Sebagai akibatnya pola, pemikiran keagamaan
islam model bayani menjadi kaku dan rigid.Otoritas teks dan otoritas salaf yang
dibakukan dalam kaidah-kaidah metodologi ushul fiqh klasik lebih diunggulkan
daripada sumber otoritas keilmuan yang lain seperti ilmu-ilmu kealaman
(kauniyyah), akal (aqliyyah), dan intuisi (wijdaniyyah).Dominasi pola pikir
tekstual ijtihadiyah menjadikan sistem epistemologi keagamaan islam kurang
begitu peduli terhadap isu-isu keagamaan yang bersifat kontekstual.
Rumusan masalah
1.
Apa
yang dimaksud kajian bayani?
2.
Bagaimana
hubungan kajian bayani terhadap studi islam?
3.
Bagaimana
hubungan antara kajian bayani dengan kurikulum pendidikan agama islam?
Tujuan Makalah
·
Memahami
pengertian luas tentang kajian bayani dalam studi islam
·
Mengetahui
hubungan kajian bayani dengan kurikulum pendidikan agama islam
BAB
II
PEMBAHASAN
Bayani
secara etimologis mempunyai pengertian penjelasan, pernyataan dan
ketetapan.Sedangkan secara terminology bayani berarti pola pikir yang bersumber
pada nash, ijma’, dan ijtihad.Epistemologi bayani adalah pendekatan dengan cara
menganilisis teks.Maka sumber epitimologi bayani adalah teks. Sumberteks dalam
studi islam dapat di kelompokkan menjadi 2 yakni:
1. Teks
nash (alquran dan sunnah nabi SAW)
2. Teks
non nash berupa karya para ulama
Objek
kajian yang umum dengan pendekatan bayani adalah:
1. Gramatika
dan sastra (nahwu dan balaghah)
2. Hukum
3. Filologi
4. Teologi
5. Dalam
beberapa kasus dibidang ilmu-ilmu alquran dan hadist
Artinya metode bayani
adalah sebentuk epistemology yang menjadikan teks tertulis seperti alquran,
hadist, pendapat atau fatwa ulama, sebagai bentuk basis utama untuk membentuk
pengetahuan.Pola bayani (kajian semantik), pola ini lebih menitik beratkan pada
kajian bahasa dalam bentuk penafsiran
gramatikal, seperti kapan suatu kata itu berarti hakiki atau majazi. Bagaimana
cara memilih salah satu arti kata musytarak, mana yang qath’I serta mana ayat
yang zanni dan sebagainya.
Kemudia secara garis
besar epistemologi bayani merupakan suatu cara mendapatkan pengetahuan dengan
berpijak pada teks, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung
dalam arti menganggap teks sebagai pengetahuan jadi, dan secara tidak langsung
yaitu dengan melakukan penalaran yang berpijak pada teks ini. Dengan kata
lain sumber pengetahuan menurut epistemologi
ini adalah teks atau penalaran yang berpijak pada teks. Bagi al-jabiri, istilah
nalar bayani dimaksudkan sebagai sistem berpikiratau episteme yang menjadikan
bahasa arab sebagai basis bagi sitem penalarannya, serta menjadikan qiyas
(analogi) sebagai metode berpikirnya.Untuk itu perlu adanya terobosan
ppendekatan pemikiran yang konstruktif agar teks yang ada dapat dipahami secara
tepat dan komperehensif sehingga sesuai dengan konteks ujuan permasalahan yang
ada.
A. Tujuan
Pendekatan Bayani
Metode
bayani yang telah lama digunakan dan diterapkan oleh para ulama (fuqaha,
mutakallimun dan ushuliyun) ini bertujuan untuk:
1. Memahami
dan menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung
dalam lafadz.
2. Mengambil
istinbath hukum- hukum dari al nushush ‘an diniyyah dan alquran khususnya.
Makna lafadz yang terkandung dalam
nash (alquran dan hadits), dikehendaki oleh dan diekspresikan melalui teks dapat diketahui dengan
mencermati hubungan makna dan lafadz.Al jabiri menyatakan bahwa metode bayani
yang digunakan dalam pemikiran arab baik dalam fiqh, nahwu atau teologi
didasarkan pada mekanisme yang menjadi landasan bagi metode fuqaha. Hal ini
dikarenakan para ulama ushul fiqh merangkum berbagai cabang ilmu yang sesuai
dengan tujuan mereka dan menjadikannya sebuah ilmu.
Sedangkan dalam
pandangan syafi’I , bayan adalah ungkapan yang mencakup berbagai macam makna
yaaang mempunyai prinsip- prinsip yang sama namun cabangnya berbeda- beda,
sebagian percabangan tersebut mempunyai bayan yang lebih kuat dibanding yang
lain. Selanjutnya syafi’I mengklasifikasikan dan menetapkan aspek- aspek bayan
dalam wacana alquran dan membaginya mejadi 5(lima) yaitu:
1. Teks
yang tidak membutuhkan ta’wil atau penjelasan dikarenakantelah jelas dengan
sendirinya.
2. Teks
yang membutuhkan penyempurnaan dan penjelasan.
3. Teks
yang ditetapkan Allah dan teks tersebut dijelaskan oleh nabi.
4. Teks
yang tidak disebutkan al quran namun dijelaskan oleh nabi sehingga memiliki
kekuatan sebagaimana teks alquran.
5. Teks
yang diwajibkan oleh Allah kepada hamba-Nya untuk berijtihad Aljabiri menukilkan pendapat imam syafi’I
yang mengarahkan pola pemikiran secara horizontal dengan menghubungkan furu’
dengan ashl (qiyas) dan secara vertikal dengan mengaitkan atu kata dengan
beragam kata dalam kajian- kajian fiqh, bahasa dan teologi.
B. Hubungan Kajian Bayani terhadap Studi Islam
Metode
klasifikasi dan penyusunan leksikografi bahasa arab ini kemudian berpengaruh
kepada disiplin- disiplin seperti studi islam. Menurut al jabiri metode qiyas
bayani ini tampak dalam satu bentuk metodologi yang umum berlaku, baik di
kalangan mutakalimin, kalangan hanbali, maupun mu’tazilah, yakni: istidlal bi
al syahid (penalaran yang berangkat dari yang nyata ( dunia riil) untuk mwngukuhkan
yang ghaib ( masalah- masalah ketuhanan).Ini pula yang berlaku dalam studi- studi balaghah dan
nahwu seperti diungkapkan dalam salah satu pernyataan al jurjani, bahwa “al
tasybih qiyas” (mulasi atau perumpamaan merupakan salah satu bentuk analogi).
Kajian
Bayani Dominasi pola pikir
tekstual Ijtihadiyah menjadikan sisten
Epistemologi keagamaan islam kurang
begitu peduli terhadap isu – isu
keagamaan yang bersifat kontekstual
bahtsiyyah. Pengembangan pola pikir Bayani hanya dapat dilakukan jika ia mampu
memahami, berdialog dan mengambil manfaat sisi – sisi fundamental yang dimiliki
oleh pola pikir burhani maupun irfani dan begitu pula sebaliknya.
Kelemahan yang paling mencolok dari tradisi nalar epistemologi bayani atau
tradisi berpikir tekstual keagamaan adalah ketika ia harus berhadapan dengan
teks – teks keagamaan yang dimiliki oleh komunitas, kultur, bangsa / masyarakat
yang beragama lain. Dalam berhadapan dengan komunitas lain agama, corak argumen
berpikir keagamaan model tekstual bayani biasanya mengambil sifat mental yang
bersifat dogmatif, defenisif, apologis dan polemis dengan semboyan kurang lebih
semakna dengan “right or wrong is my country”. Hal demikian dapat saja terjadi
karena fungsi dan peran akal pikiran manusia yang tidal lain hanyalah digunakan
untuk mengukuhkan dan membenarkan otoritas teks.
Sebagaimana dimaklumi bahwa
kebenaran teks yang dipahami dan diakui oleh aliran, kelompok atau orang
tertentu belum tentu dapat dipahami dan diakui secara sama dan sebangun oleh
aliran, kelompok atau orang lain yang menganut agama yang sama. Apalagi dengan
penganut agama yang berbeda.
Dengan demikian peran akal pikiran
manusia dalam memahami dan menafsirkan hal – hal yang terkait dengan soal –
soal keberagaman atau religiositas manusia memang sangatlah terbatas. Sejak
dahulu pola pikir bayani lebih mendahulukan dan mengutamakan Qiyas dan bukannya
Mantiq lewat silogisme dan premis – premis logika. Di samping itu, nalar
epistemologi bayani selalu mencurigai akal pikiran, karena dianggap akan
menjauhi kebenaran tekstual. Sampai – sampai pada kesimpulan bahwa wilayah
kerja akal pikiran perlu dibatasi sedemikian rupa dan perannya dialihkan
menjadi pengatur dan pengekangm hawa nafsu, bukannya untuk mencari sebab dan
akibat lewat analisis keilmuan yang akurat.
Menyatunya “teks” dan “akal” rupanya memunculkan kekakuan dan ketegangan –
ketegangan tertentu, bahkan tidak jarang konflik dan kekerasan yang bersumber
dari pola pikir ini. Untuk menghindari konflik tersebut epistemologi ini telah
mempunyai mekanisme kontrol perimbangan pemikiran dari dalam ( internal control
) lewat epistemologi Irfani, yaitu pola pikir yang lebih bersumber pada intuisi
bukannya teks.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar