BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Demokrasi
telah di kenal sejak abad ke-5 masehi sebagai respons terhadap pengalaman buruk
monarki dan kediktatoran di negara-negara kota Yunani kuno, namun ide-ide
demokrasi modern baru berkembang pada abad ke-16 Masehi, yakni tentang
kedaulatan rakyat dan kontrak sosial yang di perkenalkan oleh Jean-Jacques
Rousseau (1712-1778). ide-ide tersebut merupakan respons terhadap monarki
absolut akhir abad pertengahan dalam sejarah Eropa, yang menggantikan kekuasaan
gereja (teokrasi).[1]
Demokrasi sebagaimana didefinisikan
oleh Lincoln, adalah pemerintahan dari rakyat, melalui rakyat, dan untuk
kepentingan rakyat. Demokrasi mengandaikan masyarakat secara langsung menempati
posisi pemerintahan. Mereka berperan dalam seluruh aktivitas politik,
legislatif, ekskutif, dan yudikatif. Dalam konsep politik, demokrasi adalah apa
yang sering dikaitkan dengan konsep politik, atau konsep sosial tertentu,
seperti konsep persamaan di hadapan di undang-undang, kebebasan berkepercayaan
dan akidah, keadilan sosial, jaminan atas hak-hak tertentu, seperti hak hidup,
berkebebasan, dan bekerja, serta sejenisnya.
Bila difahami secara tekstual maka demokrasi adalah
kekuasaan yang tidak terbatas, karena rakyat yang punya kepentingan dan rakyat
pulalah yang akan melaksanakan di tengah-tengah mereka. Oleh karena itu filsuf
kenamaan seperti Jean Jacques Rousseau menyempurnakan konsep demokrasi ini
dengan teori demokrasi perwakilan, di mana rakyat menitipkan hak dan
kewajibannya melalui wakil-wakilnya yang duduk baik di legislatif, eksekutif,
dan yudikatif. Sistem perwakilan inilah yang kemudian dikembangkan menjadi
norma berharga dan prinsip yang diterima dalam dunia politik kontemporer.
Pemikiran demokrasi
ini merupakan reaksi dan perlawanan terhadap pemikiran penyerahan diri kepada
Tuhan yang berkembang di Eropa pada saat itu. Pemikiran penyerahan diri ini
menyatakan bahwa para raja menjalankan hukum atas pilihan dan penyerahan dari
Tuhan. Dengan demikian, para raja mempunyai kekuasaan mutlak dalam kehidupan
politik, bahan sampai kekuasaan yang tidak terbatas. Wajarlah bila paham
kedaulatan rakyat saat itu menjadi alternatif untuk keluar dari kekuasaan
mutlak para raja atas dasar perwakilan Tuhan.
Umat
Islam seringkali kebingungan dengan istilah demokrasi. Di saat yang sama,
demokrasi bagi sebagian umat Islam sampai dengan hari ini masih belum diterima
secara bulat. Sebagian kalangan memang bisa menerima tanpa reserve,
sementara yang lain, justru bersikap ekstrem. Menolak bahkan
mengharamkannya sama sekali. Tak sedikit sebenarnya yang tidak bersikap
sebagaimana keduanya. Artinya, banyak yang tidak mau bersikap apapun.
Kondisi ini dipicu dari kalangan umat Islam sendiri yang kurang memahami bagaimana
Islam memandang demokrasi.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas, maka
kami penulis mencoba merumuskan beberapa masalah, diantaranya:
·
Apakah Al Qur’an
berbicara tentang demokrasi?
·
Apakah
demokrasi memiliki kelemahan dalam perspektif Al-Qur’an?
·
Bagaimana
oposisi dalam perspektif demokrasi (Qur’ani)?
BAB II
PEMBAHASAN
DEMOKRASI DALAM SUDUT PANDANG AL QUR’AN
A.
Memaknai Demokrasi Dalam Islam
Bagi Islam, secara umum
demokrasi adalah konsepsi netral yang bisa berarti positif dan negatif. kenegatifannya
manakala konsep tersebut mengabdi pada imperialisme barat dan disatu sisi
dipaksakan pada dunia timur. Sementara aspek positifnya, konsep demokrasi mampu
menumbangkan rezim-rezim diktator di berbagai belahan negara komunis di
penghujung abad yang lampau. Para pakar politik, terutama di kalangan
negara-negara islam, melihat adanya persamaan dan kemiripan antara islam dan
demokrasi. Demokrasi adalah sebuah sistem politik yang menekankan pada hak-hak
dan kewajiban rakyat, dan keseimbangan antara rakyat dan negara. Sementara Islam
sangat menghargai esistensi kemanusiaan.
Praktek demokrasi sesungguhnya
telah berlangsung sejak zaman Rasulullah hidup bersama masyarakat kota Madinah.
Peristiwa Baitul Aqabah I dan II, Nabi Muhammad diangkat menjadi imam oleh
utusan dari Madinah.
Begitu juga tentang ketaatan rakyat kepada
pemerintahannya secara prinsip diatur dalam Al Qur'an dan Al Hadits. Dalam QS.
Annisa: 59, menyatakan “Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah swt,
tatatilah Rasul-Nya, dan para pemimpin di antara kamu”. Ayat ini memberikan
konsep ketaatan rakyat kepada pemerintah sejajar dengan ketaatan dalam
beribadah. Begitu pentingnya ayat-ayat politik ini sehingga dibutuhkan
penalaran yang jernih dalam menangkap makna yang tersirat dalam berbagai teks
Al Qur'an di kalangan umat islam, terdapat 3 pola pemahaman relasi islam dan
politik;
Ø Pola integralistik, di mana kelompok ini memahami bahwa
islam mengatur secara detail persoalan sosial kemasyarakatan, termasuk
persoalan politik kenegaraan.
Ø Pola sekularistik di mana islam dan politik adalah
sesuatu yang berbeda, sehingga agama mengurusi hal-hal yang ukhrowi, sementafa
politik hany berdimensi transcendental.
Ø Pola fakultatif, yakni pemahaman yang sangat moderat dan
realistik. Faham ini menyadari bahwa Islam adalah agama yang sempurna (kaffah),
namun Al Qur'an tidak memberikan aturan detail perihal suatu macam ibadah. Konsekwensinya,
urusan detail tentang persoalan muamalah termasuk politik diserahkan secara teknis
sesuai dengan situasi dan kondisi.
Demokrasi adalah sebuah tema yang banyak dibahas oleh para ulama
dan intelektual Islam. Untuk menjawab dan memposisikan demokrasi secara tepat
kita harus terlebih dahulu mengetahui prinsip demokrasi berikut pandangan para
ulama tentangnya.
1.
Prinsip
Demokrasi
Menurut Sadek, J. Sulaymân, dalam demokrasi terdapat sejumlah
prinsip yang menjadi standar baku, di antaranya:
• Kebebasan berbicara setiap warga negara.
• Pelaksanaan pemilu untuk menilai apakah pemerintah yang berkuasa
layak didukung kembali atau harus diganti.
• Kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan kontrol
minoritas
• Peranan partai politik yang sangat penting sebagai wadah aspirasi
politik rakyat.
• Pemisahan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
• Supremasi hukum (semua harus tunduk pada hukum).
• Semua individu bebas melakukan apa saja tanpa boleh dibelenggu.
2.
Pandangan
Ulama tentang Demokrasi:
Dalam hal ini ada pro dan kontra dari kalangan ulama’ dalam
memandang demokrasi apakah sejalan dengan Al Qur’an ataukah malah haram karena
tidak sesuai dengan syari’at.
a.
Demokrasi
Tidak Menyalahi Syari’at
Adapun yang berpendapat bahwa demokrasi tidak menyalahi syari’at,
diantaranya sebagai berikut:
1. Al-Maududi
Dalam hal ini al-Maududi secara tegas menolak demokrasi.
Menurutnya, Islam tidak mengenal paham demokrasi yang memberikan kekuasaan
besar kepada rakyat untuk menetapkan segala hal. Demokrasi adalah buatan
manusia sekaligus produk dari pertentangan Barat terhadap agama sehingga
cenderung sekuler. Karenanya, al-Maududi menganggap demokrasi modern (Barat)
merupakan sesuatu yang berssifat syirik. Menurutnya, Islam menganut paham
teokrasi (berdasarkan hukum Tuhan). Tentu saja bukan teokrasi yang diterapkan
di Barat pada abad pertengahan yang telah memberikan kekuasaan tak terbatas
pada para pendeta.
2. Muhammad Iqbal
Menurut Iqbal, sejalan dengan kemenangan sekularisme atas agama,
demokrasi modern menjadi kehilangan sisi spiritualnya sehingga jauh dari etika.
Demokrasi yang merupakan kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat
telah mengabaikan keberadaan agama. Parlemen sebagai salah satu pilar demokrasi
dapat saja menetapkan hukum yang bertentangan dengan nilai agama kalau
anggotanya menghendaki. Karenanya, menurut Iqbal Islam tidak dapat menerima
model demokrasi Barat yang telah kehilangan basis moral dan spiritual. Atas
dasar itu, Iqbal menawarkan sebuah konsep demokrasi spiritual yang dilandasi
oleh etik dan moral ketuhanan. Jadi yang ditolak oleh Iqbal bukan demokrasi an
sich. Melainkan, prakteknya yang berkembang di Barat. Lalu, Iqbal menawarkan
sebuah model demokrasi sebagai berikut:
- Tauhid sebagai landasan asasi.
- Tauhid sebagai landasan asasi.
- Kepatuhan pada hukum.
- Toleransi sesama warga.
- Tidak dibatasi wilayah, ras, dan warna kulit.
- Penafsiran hukum Tuhan melalui ijtihad Muhammad Imarah
Menurut beliau Islam tidak menerima demokrasi secara mutlak dan
juga tidak menolaknya secara mutlak. Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif
(membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di tangan rakyat.
Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut merupakan wewenang
Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang manusia hanyalah
menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan
serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh ketentuan Allah.
Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh (yang memahami dan menjabarkan) hukum-Nya.
Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh (yang memahami dan menjabarkan) hukum-Nya.
Demokrasi Barat berpulang pada pandangan mereka tentang batas
kewenangan Tuhan. Menurut Aristoteles, setelah Tuhan menciptakan alam, Diia
membiarkannya. Dalam filsafat Barat, manusia memiliki kewenangan legislatif dan
eksekutif. Sementara, dalam pandangan Islam, Allah-lah pemegang otoritas
tersebut. Allah befirman. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak
Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam. (al-A’râf: 54).
Inilah batas yang membedakan antara sistem syariah Islam dan
Demokrasi Barat. Adapun hal lainnya seperti membangun hukum atas persetujuan
umat, pandangan mayoritas, serta orientasi pandangan umum, dan sebagainya
adalah sejalan dengan Islam.
3. Yusuf al-Qardhawi
Menurut beliau, substasi demokrasi sejalan dengan Islam. Hal ini
bisa dilihat dari beberapa hal, misalnya:
v Dalam demokrasi proses pemilihan melibatkkan banyak orang untuk
mengangkat seorang kandidat yang berhak memimpin dan mengurus keadaan mereka.
Tentu saja, mereka tidak boleh akan memilih sesuatu yang tidak mereka sukai.
Demikian juga dengan Islam. Islam menolak seseorang menjadi imam shalat yang
tidak disukai oleh makmum di belakangnya.
v Usaha setiap rakyat untuk meluruskan penguasa yang tiran juga
sejalan dengan Islam. Bahkan amar makruf dan nahi mungkar serta memberikan
nasihat kepada pemimpin adalah bagian dari ajaran Islam.
v Pemilihan umum termasuk
jenis pemberian saksi. Karena itu, barangsiapa yang tidak menggunakan hak
pilihnya sehingga kandidat yang mestinya layak dipilih menjadi kalah dan suara
mayoritas jatuh kepada kandidat yang sebenarnya tidak layak, berarti ia telah
menyalahi perintah Allah untuk memberikan kesaksian pada saat dibutuhkan.
v Penetapan hukum yang berdasarkan suara mayoritas juga tidak bertentangan
dengan prinsip Islam. Contohnya dalam sikap Umar yang tergabung dalam syura.
Mereka ditunjuk Umar sebagai kandidat khalifah dan sekaligus memilih salah
seorang di antara mereka untuk menjadi khalifah berdasarkan suara terbanyak.
Sementara, lainnya yang tidak terpilih harus tunduk dan patuh. Jika suara yang
keluar tiga lawan tiga, mereka harus memilih seseorang yang diunggulkan dari
luar mereka. Yaitu Abdullah ibn Umar. Juga kebebasan pers dan kebebasan
mengeluarkan pendapat, serta otoritas pengadilan merupakan sejumlah hal dalam
demokrasi yang sejalan dengan Islam.
4. Salim Ali al-Bahnasawi
Menurutnya, demokrasi mengandung sisi yang baik yang tidak
bertentangan dengan Islam dan memuat sisi negatif yang bertentangan dengan
Islam. Sisi baik demokrasi adalah adanya kedaulatan rakyat selama tidak
bertentangan dengan Islam. Sementara, sisi buruknya adalah penggunaan hak
legislatif secara bebas yang bisa mengarah pada sikap menghalalkan yang haram
dan menghalalkan yang haram. Karena itu, ia menawarkan adanya Islamisasi demokrasi
sebagai berikut:
·
Menetapkan
tanggung jawab setiap individu di hadapan Allah.
·
Wakil
rakyat harus berakhlak Islam dalam musyawarah dan tugas-tugas lainnya.
·
Mayoritas
bukan ukuran mutlak dalam kasus yang hukumnya tidak ditemukan dalam Alquran dan
Sunnah (al-Nisa 59) dan (al-Ahzab: 36).
·
Komitmen
terhadap islam terkait dengan persyaratan jabatan sehingga hanya yang bermoral
yang duduk di parlemen.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep demokrasi tidak
sepenuhnya bertentangan dan tidak sepenuhnya sejalan dengan Islam. Prinsip dan
konsep demokrasi yang sejalan dengan islam adalah keikutsertaan rakyat dalam
mengontrol, mengangkat, dan menurunkan pemerintah, serta dalam menentukan
sejumlah kebijakan lewat wakilnya.
Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu illahi. Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu di antaranya:
Adapun yang tidak sejalan adalah ketika suara rakyat diberikan kebebasan secara mutlak sehingga bisa mengarah kepada sikap, tindakan, dan kebijakan yang keluar dari rambu-rambu illahi. Karena itu, maka perlu dirumuskan sebuah sistem demokrasi yang sesuai dengan ajaran Islam. Yaitu di antaranya:
1. Demokrasi tersebut harus berada di bawah payung agama.
2. Rakyat diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya
3. Pengambilan keputusan senantiasa dilakukan dengan musyawarah.
4. Suara mayoritas tidaklah bersifat mutlak meskipun tetap menjadi
pertimbangan utama dalam musyawarah. Contohnya kasus Abu Bakr ketika mengambil
suara minoritas yang menghendaki untuk memerangi kaum yang tidak mau membayar
zakat. Juga ketika Umar tidak mau membagi-bagikan tanah hasil rampasan perang
dengan mengambil pendapat minoritas agar tanah itu dibiarkan kepada pemiliknya
dengan cukup mengambil pajaknya.
5. Musyawarah atau voting hanya berlaku pada persoalan ijtihadi;
bukan pada persoalan yang sudah ditetapkan secara jelas oleh Alquran dan Sunah.
6. Produk hukum dan kebijakan yang diambil tidak boleh keluar dari
nilai-nilai agama.
7. Hukum dan kebijakan tersebut harus dipatuhi oleh semua warga
Akhirnya, agar sistem atau konsep demokrasi
yang islami di atas terwujud, langkah yang harus dilakukan:
- Seluruh warga atau sebagian besarnya harus
diberi pemahaman yang benar tentang Islam sehingga aspirasi yang mereka sampaikan
tidak keluar dari ajarannya.
- Parlemen atau lembaga perwakilan rakyat
harus diisi dan didominasi oleh orang-orang Islam yang memahami dan mengamalkan
Islam secara baik.
- Komitmen terhadap islam terkait dengan persyaratan
jabatan sehingga hanya yang bermoral yang duduk di parlemen.
b. Demokrasi Sistem Kufur
Sesungguhnya demokrasi saat ini mengalami
deviasi makna. Tiap negara memiliki pemahaman sendiri. Demokratis di sebuah
negara belum tentu demokratis di negara lain. Kaum muslimin yang mengharamkan
demokrasi memahaminya sebagai bentuk pemerintahan rakyat dengan kedaulatan
tertinggi di tangan rakyat. Adapun di dalam Islam, kedaulatan tertinggi di
tangan Allah Swt, bukan manusia.
1. Memahami Demokrasi Dalam Pembuatan Hukum
Demokrasi adalah sebuah tatanan
pemerintahan yang bersumber dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Demikian slogan yang sangat terkenal dari Benjamin Franklin tentang definisi
demokrasi. Walhasil, demokrasi memberikan kepada manusia dua hal :
1. Hak Membuat Hukum (legislasi).
2. Hak Memilih Penguasa.
Untuk lebih mudahnya, kami akan jelaskan
diawal bahwa kewenangan rakyat untuk ‘Membuat Hukum’ yang bertentangan dengan
islam adalah haram dan besifat ushul (mendasar). Sedangkan dalam sistem memilih
penguasa/ kepala negara hal tersebut masih dapat didiskusikan…. dan bersifat
furu’ (cabang). Karena juga banyak dalil yang membolehkan untuk masuk dan
mengelola pemerintahan untuk menjalankan syariat islam.
Mengapa demokrasi kufur? Demokrasi itu
kufur bukan karena konsepnya bahwa rakyat menjadi sumber kekuasaan, melainkan
karena konsepnya bahwa manusia berhak membuat hukum (kedaulatan di tangan
rakyat) yang boleh jadi itu bertentangan dengan hukum Allah. Kekufuran
demokrasi dari segi konsep kedaulatan rakyat tersebut sangat jelas, sebab
menurut Aqidah Islam, yang berhak membuat hukum hanya Allah SWT, bukan manusia.
Firman Allah SWT (artinya) : “Menetapkan hukum hanyalah hak Allah.” (QS
Al-An’aam : 57). Walaupun ayat tersebut bersifat umum, tapi itulah titik kritis
dalam demokrasi yang sungguh bertentangan secara frontal dengan Islam. Pada
titik itulah, demokrasi disebut sebagai sistem kufur. Sebab sudah jelas,
memberi hak kepada manusia untuk membuat hukum yang bertentangan dengan hukum
syara’ adalah suatu kekufuran. Firman Allah SWT (artinya) : “Barangsiapa
yang tidak menetapkan hukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang kafir.” (QS Al-Maa`idah : 44)
Dalam demokrasi,
kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) secara mutlak berada di
tangan rakyat. Sementara, dalam sistem syura (Islam) kekuasaan tersebut
merupakan wewenang Allah. Dialah pemegang kekuasaan hukum tertinggi. Wewenang
manusia hanyalah menjabarkan dan merumuskan hukum sesuai dengan prinsip yang
digariskan Tuhan serta berijtihad untuk sesuatu yang tidak diatur oleh
ketentuan Allah. Jadi, Allah berposisi sebagai al-Syâri’ (legislator) sementara
manusia berposisi sebagai faqîh (yang memahami dan menjabarkan) hukum-Nya.
Jadi kita sebagai
muslim yang beriman hendaknya sami’na wa ‘atha’na
pada perintah Allah dan Rasul-Nya, kita tidak boleh berhukum pada hukum selain Allah SWT .
QS. Ali Imron ( 3
): 85
, QS. An Nisa ( 4 ): 60,65,
QS. Al Maidah ( 5
): 44,47,48,50, QS. Al-Hasyr: 7 . Demokrasi
Haram untuk: diambil, diterapkan, dan di dakwahkan.
2. Tidak Ada
Demokrasi Islam
Banyak orang apalagi masyarakat
awam, beranggapan bahwa agama Islam adalah agama demokrasi. Dan Islam
mengajarkan kepada umatnya agar bermasyarakat dan bernegara dengan asas
demokrasi Islam, dengan alasan Islam mengajarkan syura/permusyawaratan.
Anggapan ini adalah anggapan yang
amat salah dan tidak berdasar, sebab antara kedua istilah ini terdapat
perbedaan yang amat mendasar. Berikut beberapa prinsip utama syura, yang merupakan
pembeda dari demokrasi. Semoga dengan mengetahui beberapa perbedaan antara
keduanya ini, kita dapat meluruskan kesalah pahaman mengenai sama tidaknya
antara demokrasi dengan syura.
Prinsip-prinsip Musyawarah
1. Musyawarah hanyalah disyariatkan dalam permasalahan
yang tidak ada dalilnya. Sebagaimana telah jelas bagi setiap muslim bahwa
tujuan musyawarah ialah untuk mencapai kebenaran, bukan hanya sekedar untuk
membuktikan banyak atau sedikitnya pendukung suatu pendapat atau gagasan. Hal
ini berdasarkan firman Allah :
”Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak
(pula) bagi perempuan yang mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan lain tentang urusan
mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka
sesungguhnya dia telah tersesat, sesat yang nyata.”
(QS. Al Ahzab: 36)
Musyawarah
hanyalah disyari’atkan dalam permasalahan-permasalahan yang tidak ada satupun dalil
tentangnya, baik dari Al Qurfan atau As Sunnah. Adapun bila permasalahan
tersebut telah diputuskan dalam Al Qurfan atau hadits shahih, maka tidak ada
alasan untuk bermusyawarah, karena kebenaran telah jelas dan nyata, yaitu hukum
yang dikandung dalam ayat atau hadits tersebut. Adapun sistim demokrasi
senantiasa membenarkan pembahasan bahkan penetapan undang-undang yang
nyata-nyata menentang dalil, sebagaimana yang diketahui oleh setiap orang,
bahkan sampaipun masalah pornografi, rumah perjudian, komplek prostitusi,
pemilihan orang non muslim sebagai pemimpin dll.
2. Kebenaran tidak di ukur
dengan jumlah yang menyuarakannya. Oleh karena itu walaupun suatu pendapat
didukung oleh kebanyakan anggota musyawarah, akan tetapi bila terbukti bahwa
mereka menyelisihi dalil, maka pendapat mereka tidak boleh diamalkan. Dan
walaupun suatu pendapat hanya didukung atau disampaikan oleh satu orang, akan
tetapi terbukti bahwa pendapat itu selaras dengan dalil, maka pendapat itulah
yang harus di amalkan.
Begitu
juga halnya yang terjadi ketika Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu tetap
mempertahankan pengiriman pasukan di bawah kepemimpinan Usamah bin Zaid
radhiyallahu ‘anhu yang sebelumnya telah direncanakan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Salam sebelum beliau wafat. Kebanyakan shahabat merasa
keberatan dengan keputusan Abu Bakar ini, melihat kebanyakan kabilah Arab telah
murtad dari Islam.
Abu
Bakar berkata kepada seluruh sahabat yang menentang keputusan beliau: “Sungguh
demi Allah, aku tidak akan membatalkan keputusan yang telah diputuskan oleh
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, walaupun burung menyambar kita,
binatang buas mengepung kota Madinah, dan walaupun anjing-anjing telah
menggigiti kaki-kaki Ummahat Al Muslimin (istri-istri Nabi), aku tetap akan
meneruskan pengiriman pasukan di bawah kepemimpinan Usamah, dan aku akan
perintahkan sebagian pasukan untuk berjaga-jaga di sekitar kota Madinah.”
[Sebagaimana dikisahkan dalam kitab-kitab sirah dan tarikh Islam, misalnya
dalam kitab Al Bidayah wa An Nihayah, oleh Ibnu Katsir 6/308].
Imam As
Syafi’i berkata: “Sesungguhnya seorang hakim diperintahkan untuk bermusyawarah
karena orang-orang yang ia ajak bermusyawarah mungkin saja mengingatkannya
suatu dalil yang terlupakan olehnya, atau yang tidak ia ketahui, bukan untuk
bertaqlid kepada mereka dalam segala yang mereka katakan. Karena sesungguhnya
Allah Ta’ala tidak pernah mengizinkan untuk bertaqlid kepada seseorang selain
(taklid kepada) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam.”[2]
Penjelasan Imam As Syafi’i ini merupakan penerapan nyata dari firman Allah Ta’ala:
“Dan apa yang kalian perselisihkan tentang sesuatu maka
hukumnya kepada Allah.”
(QS. Asy-Syura: 10)
Ayat-ayat
yang mulia ini dan kandungannya, semuanya menunjukkan akan kewajiban
mengembalikan hal yang diperselisihkan diantara manusia kepada Allah ‘Azza wa
Jalla, dan kepada Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Salam, yang demikian itu
dengan mengembalikan kepada hukum Allah ‘Azza wa Jalla, serta menjauhi setiap
hal yang menyelisihinya. Dengan memahami prinsip ini kita dapat membedakan
antara musyawarah yang diajarkan dalam Islam dengan demokrasi, sebab demokrasi
akan senantiasa mengikuti suara terbanyak, walaupun menyelisihi dalil. Adapun
dalam musyawarah, kebenaran senantiasa didahulukan, walau yang menyuarakannya
hanya satu orang. Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa Islam tidak pernah
mengajarkan demokrasi, dan Islam bukan agama demokrasi.
3. Yang berhak menjadi anggota Majlis Syura’ ialah para pemuka masyarakat, ulama’ dan pakar di setiap bidang
keilmuan.
Karena musyawarah bertujuan mencari kebenaran,
maka yang berhak untuk menjadi anggota majlis syura ialah orang-orang yang
berkompeten dalam bidangnya masing-masing, dan mereka ditunjuk oleh khalifah.
Merekalah yang memahami setiap permasalahan beserta solusinya dalam bidangnya
masing-masing.
Dalam menentukan sebuah
kesepakatan (Musyawarah) ada 2 hal yang keduanya harus dibedakan:
1. Bila yang dimusyawarahkan
itu berkaitan dengan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukum / nash syara’nya,
maka dalam hal ini pendapat manusia adalah dilarang. Tidak boleh dikurangi dan
tidak boleh ada bid’ah sedikitpun. Manusia hanya boleh bermusyawarah tentang
teknis pelaksanaanya saja. Sebagai contoh bila dalam musyawarah itu akan
dibahas masalah status minuman kemaksiatan, maka dalam hal ini tidak boleh ada
pendapat manusia yang mendukung. Sebab statusnya sudah jelas Haram, yang perlu
dimusyawarakan adalah masalah uslub (teknis) pelarangannya dilapangan, misalnya
siapa bagian operasi sweping di toko-toko minuman, siapa bagian memburu
produsennya, siapa yang menghukum pelakunya dll.
2. Bila yang
dimusyawarahkan itu berkaitan dengan masalah Uslub (Teknis) maka boleh pendapat
manusia diminta. Dalam hal ini ada 2 macam
a. Uslub (Teknis) yang mencakup bidang keahlian
khusus, maka yang diambil pendapat (yang diajak musyawarah) hanya pendapat
orang yang ahli tentang masalah itu. Hal ini pernah dicontohkan oleh Rasulullah
saw pada waktu menentukan strategi di Perang Badar Al Kubra, Beliau berpendapat
untuk memenangkan pertempuran pasukan harus menguasai tempat tertentu, tetapi
kemudian ada seorang shahabat (Khubab bin Mundhir) yang menanyakan kepada
beliau apakah hal ini pendapat beliau ataukah wahyu dari Allah. Bila wahyu maka
tidak akan dibantah, tetapi bila hal ini pendapat nabi, maka Khubab mengusulkan
untuk menempati sebuah wadi (oase) di medan Badar. Rasulullah kemudian
menjelaskan ini bahwa hal ini adalah pendapat beliau pribadi, dan kemudian
beliau menarik pendapatnya dan kemudian menerima pendapat Khubab sebab Khubab
adalah orang yang tinggal di daerah tersebut dan merupakan orang yang paling
kenal dengan medan pertempuran, seraya mengabaikan pendapat pribadi dan
pendapat shahabat-shahabat yang lain.
b. Teknis yang mencakup hal-hal yang diketahui oleh
orang banyak, maka dalam hal ini pendapat mayoritas-lah yang dipakai. Kita
dapat mengambil ibroh dari kisah terjadinya perang Uhud. Rasulullah sebenarnya
menginginkan pasukan bertahan di dalam kota, akan tetapi mayoritas shahabat
(terutama shahabat-shahabat yang usianya masih muda) memilih menunggu musuh di
luar kota Madinah. Karena suara mayoritas menghendaki menunggu musuh di luar
kota, maka Rasulpun memutuskan untuk menunggu musuh di luar kota, walaupun
beliau sendiri menginginkan di dalam kota. Bertahan dalam kota atau menunggu
musuh di luar kota adalah masalah-masalah teknis (strategi) pertempuran yang
diketahui oleh banyak orang, karena semua shahabat adalah penduduk kota
Medinah,yang mengerti seluk beluk kota Medinah. Jadi masalah betahan di dalam
kota atau menunggu musuh di luar kota bukan masalah wahyu yang sudah dinash.
Maka dari sinilah kita bisa mengambil ibroh bahwa dalam masalah-masalah urusan
teknis yang telah diketahui banyak orang, maka boleh diambil suara terbanyak.
Rasul tidak pernah
menentukan secara jelas bagaimanakah teknis memilih khalifah/pemimpin negara.
Begitu juga peralihan kekuasaan dari satu khalifah ke khalifah yang lain semasa
banyak sahabat masih hidup, sehingga menjadi Ijma’ shahabat bahwa boleh
menggunakan beberapa uslub untuk memilih khalifah atau kepala negara. Dengan
demikian dalam memilih siapakah calon kepala negara/Khalifah boleh dengan
banyak teknis dalam hal ini mengambil suara mayoritas juga dapat dilakukan dan
menggunakan Ahlul hali wal aqdi (parlemen) juga dapat dilakukan.
Di dalam istilah Islam,
ada ahli syura yang tergabung dalam ahlul halli wal aqdi sebagai lembaga
perwakilan rakyat. Kepada merekalah aspirasi umat disalurkan, lalu
dimusyawarahkan untuk dijalankan penguasa. Imam Ibnu Katsir mengemukakan di
dalam tafsirnya dengan mengutip riwayat dari Ibnu Mardawaih dari Ali Ra bahwa
ia pernah ditanya tentang maksud azam pada ayat, ”Bermusyawarahlah dengan
mereka dalam urusan itu, kemudian jika kamu telah ber-azam, bertawakkal-lah
kepada Allah”. (QS Ali Imran:159).
Beda halnya
dengan demokrasi, anggotanya dipilih oleh rakyat, merekalah yang mencalonkan
para perwakilan mereka. Setiap anggota masyarakat, siapapun dia –tidak ada bedanya antara peminum khamer, pezina, dukun, perampok, orang
kafir dengan orang muslim yang bertaqwa-, orang waras dan orang gendeng atau
bahkan gurunya orang gendeng memiliki hak yang sama untuk dicalonkan dan
mencalonkan. Oleh karena itu tidak heran bila di negara demokrasi, para
pelacur, pemabuk, waria dan yang serupa menjadi anggota parlemen, atau
berdemonstrasi menuntut kebebasan dalam menjalankan praktek kemaksiatannya.
Dalam
sistem demokrasi yang meyakini bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan, maka
rakyat akan memilih pemimpin sesuai dengan seleranya. Jika rakyat suka berjudi,
maka mereka akan memilih pemimpin yang mendukung hobi mereka. Jika rakyat suka
dangdut, maka ia akan memilih partai yang mendukung dangdut. Jika rakyat hobi
pengajian, maka mereka akan memilih partai yang menggalakkan pengajian. Karena
ingin meraih suara rakyat itulah, ada partai yang mempunyai program seperti
“tong sampah”. Apa saja diadakan, yang penting dapat dukungan.
Slogan demokratisasi
ternyata mengandung muatan kepentingan negara besar pengemban ideologi kufur
sekulerisme kapitalisme. Banyak sekali slogan dan wajah manis yang disajikan di
hadapan kita. Sekilas nampak baik, tapi sebenarnya hanyalah tipuan belaka.
Karenanya, waspadalah dalam mensikapi berbagai slogan dan propaganda serta
aktivitas kaum imperialis di dunia Islam. Allah SWT mengingatkan kita dalam
firman-Nya:
“Telah
nampak kebencian dari mulut-mulut mereka, dan apa yang disembunyikan dada
mereka lebih besar” (QS. Ali Imran[3]:118)
Samakah demokrasi dengan syura (musyawarah)?
Jawab: Sama sekali tidak sama karena beberapa sebab:
1. Syura adalah hukum Allah .Sedangkan demokrasi
adalah ciptaan manusia kafir,musyrik dan jahil.
2. Syura ditegakkan demi kemaslahatan umat yang
diputuskan oleh ahlul hilli wal aqdi, yang terdiri daripada para ulama pewaris
para Nabi. Sedangkan demokrasi
ditegakkan demi kekuasaan dan kefanatikan terhadap golongan yang diputuskan
oleh orang-orang kafir, musyrikin, ahli maksiat, laki-laki maupun perempuan
meskipun di parlemen itu terdapat kaum muslimin bahkan ahli agama.
3. Ahli syura didalam Islam tidak menghalalkan yang
haram atau mengharamkan yang halal, dan tidak mengatakan yang haq itu batil
atau yang batil itu haq. Keadaan ini 100% menyalahi para pengikut demokrasi
yang telah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, dan mengatakan
yang haq itu batil atau mengatakan yang batil itu haq. (buktinya di indonesia
para pezina tidak dihukum, begitu juga pemabuk, dll, karena para anggota DPR
sebagai pembuat hukum telah mengizinkan berbagai kemaksiatan itu)
4. Syura didalam Islam jarang terjadi dan hanya
didalam beberapa urusan yang musykil (sukar diputuskan atau dipahami). Adapun
didalam perkara-perkara yang telah ada ketetapannya dari Allah dan rasulnya,
maka tidak diadakan Syura, sedangkan demokrasi diletakkan sebagai kuasa yang
mengatur seluruh kehidupan berdasarkan undang-undang yang telah dibuat,
sehingga manusia yang hidup disatu negeri dengan sistem demokrasi tidak boleh
keluar atau bertentangan dengan undang-undang tersebut.
Maka, kenapa kita harus Golput? Diantara
alasannya adalah sebagai berikut:
1. Tidak boleh semajelis dengan kaum kuffar (QS. 4:140)
2. Tidak boleh
bermusyawarah dengan yang tidak seidiologi islam (QS. 42;38, 3;159)
3. Tidak boleh mengikuti /
memilih kepemimpinan yang kufur (QS.
5:55, 5:50, 9:23, 60:1)
4. Harus mencontoh
Rasulullah (QS. 33:21), sementara
Rasulullah tidak mencontohkan masuk berparlemen dalam darun nadwah Quraisy
5. Harus berbaro’ah (berlepas diri) dari sistem kuffur (QS. 60: 4)
6. Tidak boleh Ta’awun dalam ismun dan udwan
7. Tidak boleh tasyabbuh
pada kaum kuffar
Kesimpulan:
Ada beberapa pola dalam pemahaman tentang demokrasi.
Pola pertama memberikan penekanan pada makna skripturalistik (tektualis),
sehingga banyak menimbulkan gagasan formalisasi politik Islam seperti khilafah
dan imamah. Sedangkan pola kedua lebih menitik beratkan pada kekuatan makna
substantif sehingga muncul pemisahan diametral antara Islam dan politik.
Sementara pola ketiga inilah yang banyak dianut umat Islam Indonesia, sehingga
ketika memaknai demokrasi secara formal tidak ada dalam Islam, namun
nilai-nilai demokrasi dapat difahami dari ayat-ayat politik dalam al-Qur'an.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdillah,
Masykuri. Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Muslim Indonesia terhadap
Konsep Demokrasi. Yogyakarta: Tiara Wacana, Intelektual 1999.
Madjid,
Nurcholish. “Kata Pengantar” dalam bukunya Islam Doktrin dan Peradaban,
Jakarta: Paramadina, 1992.
Setiawan,
Nur Kholis. Akar-akar Pemikiran progresif dalam kajian Al Qur’an, Yogyakarta:
SUKSES Offset, 2008.
…..Pendidikan
Kewarganegaraan, Pokja UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
“http://muslim.or.id”
"http://dear.to/abusalma"
"http://www.abusalma.wordpress.com
"http://dear.to/abusalma"
"http://www.abusalma.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar